Dokter Rama

5.5K 284 3
                                    

Diantar Mas Rama berangkat ke kampus itu, rasanya seperti mimpi buruk. Kurasa, Allah telah mengujiku atas kesembronoanku ketika menanggapi ucapan Mami tadi malam. Ya, aku mengatakan dalam hati bahwa diantar odong-odong keliling itu lebih baik dari pada diantar laki-laki gondrong ini.

Lihatlah, wajahnya! Menjengkelkan, bukan? Ia tengah memainkan bibir seolah tak bersalah sama sekali. Lehernya ditekuk ke kanan dan ke kiri macam orang kelelahan.

Memang apa salahnya bertingkah begitu?

Mmm.... Memang tidak salah, tapi nampaknya, ia sedang memikirkan sesuatu. Kira-kira apa yang ia pikirkan? Menyusun rencana untuk mencelakaiku lagi?

Membuatmu celaka? Hei, bukankah dia yang mengobati lukamu tadi malam?

Iya dan itu sudah menjadi kewajibannya sebagai tersangka, bukan? Dia yang membawa ular itu ke rumah, lalu dia lalai hingga ular itu masuk ke kamarku tanpa permisi.

Itu kecelakaan, dia tidak sengaja.

Itu betul, kecelakaan. Soal sengaja atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas, dia hampir mengacaukan momen pentingku hari ini. Lihatlah kondisiku saat ini, ke kampus dengan perban melilit di kepala!

Sudahlah, ini ujian. Usah berburuk sangka. Hadapi saja dengan sabar, supaya dapat pahala dan menjadi penggugur dosa.

Aku menghela nafas. Oh, betul. Ini ... ujian. Ya ... ini ujian. Harusnya, aku bersabar dan bukan malah menyalahkan orang lain. Astaghfirullah. Bukankah memang sudah sunnatullah, bahwa kita akan menjadi ujian satu sama lain? Barangkali, keberadaanku juga menjadi ujian baginya.

"Ehhem!" Deheman Mas Rama memecah kebisuan di dalam mobil. "Grogi ya, mau sidang?" Ia menoleh padaku.

"Ha? Enggak," tepisku.

"Ada loh, tips jitu biar nggak grogi," cetusnya sambil fokus menatap jalanan yang mulai padat merayap. Sekitar 100 meter lagi ada perempatan lampu merah.

Aku enggan bertanya.

"Mau tahu?" Ia menoleh. Bagiku, tatapan matanya bak elang hendak menyambar anak ayam.

Aku masih diam lalu menoleh ke kiri memandang trotoar.

"Ya udah, kalau nggak mau tahu." Ia terkekeh.

"Apa?" tanyaku datar sambil menatap jalanan yang mulai macet.

"Tarik nafas, tahan satu jam. Eh, mati dong. Haha."

Lucu, hah? Jadi, pengen aku mati? Kini aku menatapnya dengan tajam.

"Bercanda. Biar kamunya nggak grogi." Ia tersenyum. "Tarik nafas, tahan lima detik, terus embuskan. Ulangi sampai tiga kali," tukasnya.

Aku terus menatap sosok menjengkelkan itu.

"Masuk kampusmu gratis, kan?" Tatapan kami bertemu.

Aku lekas berpaling. Ia bertanya atau bercanda? "Mana ada masuk kampus harus bayar?" ketusku.

Ia pun tergelak. Matanya menyipit. Pundaknya naik turun. Andai bukan karena kondisi yang sedang sakit, aku ingin turun dari mobil sekarang juga!

***

Sekitar lima menit setelah UAS selesai, Mas Rama menelepon. Dia sudah menungguku di depan gedung. Aku pamit kepada teman-teman bahwa aku harus segera pulang. Beberapa orang menawarkan untuk membantuku membawa barang-barang. Aku menolaknya karena aku berniat menyembunyikan Mas Rama. Aku tidak ingin mereka heboh lalu timbul fitnah dan menyebar ke mana-mana.

Aku berjalan pelan menuruni anak tangga dari lantai dua. Ouh, barang-barangku memang banyak. Bagai kurir COD saja aku ini. Dalam hati menyesal telah menolak bantuan teman-teman barusan. Nasi sudah terlanjur basi, mau bagaimana lagi? Kalau cuma menjadi bubur sih, masih bisa ditambah suwiran ayam, bawang goreng, dan kuahnya yang lezat.

Meniti Surga Bersamamu (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang