Kita pernah bersama mengukir sejuta rasa yang masih hadir di setiap penghujung doa. Menyebut sebuah nama yang harusnya sudah kulenyapkan dari ingatan. Membuatku mengarungi hidup hanya tentangmu. Menciptakan lembaran sesak yang setiap hari kian bertambah. Masih saja batinku bergulat antara menyerah dan bertahan. Padahal sudah jelas di depan mata, harusnya aku berhenti dari kamu yang sudah tak peduli lagi. Namun, hatiku menolak dan memilih menyayat hati.
Seandainya, kamu sedikit lebih peka. Kamu akan tahu betapa aku masih menjaga rasa yang sama. Rasa cinta yang dahulu dan sekarang masih sama. Masih setia melekat di dada. Dan aku tidak lupa menyapa namamu di sepertiga malam. Sebab aku masih mengharap bahagia denganmu. Berharap luka yang kau torehkan di lembaran hidupku hanyalah kalimat pembuka untuk kata bahagia selamanya.
Teman-temanku mengatakan aku terlalu bodoh. Mengharapkanmu yang jelas-jelas sudah tak pernah menyelipkan bayangku dalam hidupmu. Apalagi menyebut namaku di setiap doamu. Sepertinya itu hal yang mustahil. Setiap hari aku melihat potretmu di media sosial dengan seorang perempuan. Sebenarnya aku berharap, itu adalah aku. Namun, fakta berkata lain. Itu bukan aku. Dia pujaan hatimu yang baru.
Semua yang aku lakukan untuk meluluhkan hatimu kembali hanya menambah barisan luka. Menciptakan relung pilu dari tajamnya belatimu. Bahkan aku rela menolak ribuan lelaki hanya demi mempertahankan namamu di hatiku. Aku berjuang. Terus berjuang. Sendirian. Sungguh menyakitkan bukan? Coba saja sedikit lebih peka, kamu akan tahu, di sini ada aku yang memperjuangkanmu tanpa tahu rasanya diperjuangkan olehmu.
Aku ini manusia biasa. Ada kalanya aku lelah. Sehingga menuntunku untuk menyerah. Mungkin saat ini aku masih sama. Berjuang untukmu yang sudah bahagia bersama kekasih hatimu. Namun, aku tidak tahu besok, lusa, atau bahkan minggu depan. Barangkali hatiku sudah menyerah. Dan memilih menikmati senja tanpamu. Menikmati es kelapa seorang diri. Menikmati indahnya lautan hanya bersama burung camar. Tak apa. Aku tak marah. Hanya kecewa. Seiring berjalannya waktu, aku yakin, namamu akan tergantikan oleh yang baru.
Aku menyerah mengejarmu. Sebab meyakinkanmu hanya menyiram luka basah yang masih menganga. Sudah cukup. Cukup! Aku terluka. Aku berhak bahagia tanpamu. Aku akan meminta waktu untuk menghapus memori tentangmu. Karena, sepertinya selamanya kamu tak akan peka. Jadi, lebih baik aku pulang tanpa membawa hatimu. Untuk apa aku bertahan untuk orang yang tak mau dipertahankan? Lebih baik aku menyibukkan hati dengan memantaskan diri untuk menjemput jodoh yang sudah disiapkan Sang Pemberi Hati. Pesanku untukmu, coba sedikit lebih peka. Walaupun itu bukan lagi untukku.
Don't forget to vote and comment, guys! Meninggalkan jejak itu penting loh, supaya dia lebih peka. Wkwkwk 😅
Salam hangat,
Marhamah
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan Tinta di Ujung Senja
Non-FictionMenceritakan curahan hati lika-liku kehidupan seseorang yang pandai menyembunyikan kesedihannya melalui senyum palsunya. Semua terangkum dalam rangkaian kata sederhana yang penuh makna.