(Ina) 12.

1.7K 173 7
                                    

Arthit menatap punggungnya yang bergerak menjauh. Dengan langkah tegap dan cepat, Kongpob menjauh darinya, lagi. Matanya menatap sendu figur yang dirindukannya itu. Kongpob benar, ia takkan bertahan lama dengan semua omong kosongnya.

Sejak malam ia mengakhiri kisahnya dengan pemuda dua tahun dibawahnya itu, Arthit hidup uring-uringan. Ia selalu memikirkan sosok pemilik kamar seberangnya yang pada malam itu pergi meninggalkannya tanpa kendaraan. Ia tak tahu dengan apa atau bagaimana Kongpob bisa sampai ke kamarnya. Yang ia tahu, keesokan harinya ia melihat Kongpob sedang memungut pakaiannya yang jatuh di lantai balkon. Ia sampai dengan selamat semalam, syukurlah.

Kinipun sama, Kongpob kembali meninggalkannya setelah melontarkan kalimat yang menyayat hati. Ia sungguh tak ingin melukai Kongpob lebih dari malam itu. Ia tahu pasti, Kongpob belum siap akan hal semacam itu. Lihatlah wajahnya yang imut, pemikirannya yang lugu, perlakuannya yang childish, bagaimana bisa ia melukai seseorang seperti Kongpob? Dasar bajingan! Arthit kembali tertunduk lesu, melangkahkan kakinya berlawanan dengan arah perginya sang mantan. Knott melihatnya dari kejauhan, rencana semula mendatangi dosen pupus sudah melihat sahabatnya seperti habis dilanda badai.

"Thit!" Knott menepuk pundaknya. Arthit bahkan tidak sadar sepatu yang barusan ia lewati adalah milik sahabatnya sejak sekolah dasar. Kalau Knott tak menegurnya, mungkin ia akan jatuh karena menabrak pohon tak lama lagi. "Mau kemana?" Tanyanya sembari merangkul Arthit. Yang ditanya menggeleng lesu, tak tahu harus jawab apa. Knott menggiringnya duduk di bangku terdekat, tempat biasa kelimanya mengerjakan tugas kelompok.

"Arthit. Sudah mau cerita?" Limabelas menit Knott meninggalkan Arthit sendirian dibangku itu dengan tasnya, ia lari ke kantin membeli minum untuk keduanya. Sedang es kopi hitam ditaruh didepannya, es susu pink diletakkan di depan muka Arthit. Sedikit berbinar Arthit dibuatnya, namun kembali tertunduk lesu mengingat kembali kejadian tak berapa lama lalu.

"Hahh.. dia menghindariku. Aku tahu aku salah melakukannya, aku hanya tak ingin melukainya semakin jauh. Aku ini hanya seorang bajingan yang tak mampu menahan libido sendiri, dan dia adalah malaikat terindah yang turun ke bumi ini. Ia tak pantas diperlakukan hina seperti yang sudah kulakukan padanya. Ia bahkan tak sadarkan diri, Knott! hahh.. lagipula.. dia sudah memiliki pangeran impiannya kan? Tinggi, besar, gagah, tampan, yang bahkan aku sendiri mengakui kalau aku tak ada seujung jari kelingkingnya. Ia jauh lebih siap menjaga Kong daripada aku, jauh lebih layak, jauh lebih mencintai Kong, jauh lebih—"

"Stop, Arthit. Kau barusan bilang apa? Pangeran impian? Kongpob sudah punya yang baru? Apa kau yakin?" Knott heran, yang ia tahu, mantan lelaki satu-satunya dari sahabatnya ini bukanlah orang yang akan dengan mudah dan sembarang memilih pasangan. Terlebih melihat perlakuan keduanya selama ini. Apakah semudah itu bagi Kongpob melepas Arthit yang bahkan melepasnya tanpa tujuan dan alasan yang kuat?

"Lalu barusan kau bilang apa? Kau tak ingin menyakitinya lebih jauh? Kau pikir dengan muncul bak pahlawan kesiangan di depan wajahnya itu tak menyakitinya? Pikirkanlah lagi, Arthit. Kalau kau memang tak mau menyakitinya, berbaikan dengannya, atau jangan muncul sama sekali dihadapannya lagi."  Knott menepuk pundaknya, berjalan melaluinya, meninggalkannya sendiri untuk berpikir keras: apa yang harus dilakukannya?

...

Berminggu setelah terakhir kali ia membicarakan junior kesayangannya dengan Knott, Arthit memutuskan mengikuti perkataan Knott untuk tidak muncul sama sekali di hadapan Kongpob. Hal itu membuatnya sangat merindukan sosok culun berkacamata segi-delapan itu. Ia memang berhasil untuk tidak muncul dihadapan Kongpob, tetapi seperti karma berbalik menyerangnya, pemandangan yang menyulut emosi justru terus tersaji di depan matanya. Entah itu berjalan bergandengan, atau datang ke kampus dengan diantar, atau pulang belanja berdua dan memasuki gedung asrama, berminggu-minggu Arthit melihat Kongpob dan sang pangeran impian, Joss menempel bak perangko dan amplop.

Memang hal itu membuatnya sedikit lega pada awalnya, membuatnya berpikir bahwa syukurlah, Kongpob sudah menemukan bahagia dan sempurnanya. Tetapi di satu sisi, hal itu sungguh mengganggu bukan hanya pengelihatannya, tetapi juga kerja otak dan jantungnya. Dadanya seperti ditusuk setiap kali melihat Joss menyentuh kepala kesayangannya, jantungnya seperti diremas setiap ia melihat tangan keduanya bertautan, kepalanya seperti dipukul dengan palu raksasa setiap kali keduanya berpelukan atau berangkulan didepan matanya.

Belum lagi kedekatan Joss dengan Em yang membuatnya sangat iri. Dulu, ia tak semudah itu mendapat lampu hijau dari bodyguard pacar-, eh mantan pacarnya. Atau mungkin Em dan Joss sudah saling mengenal sebelumnya? Entahlah, yang jelas itu membuat api di hati Arthit menyala semakin besar.

Cara lainnya yang belum dicoba Arthit adalah berbaikan dengan Kongpob. Tapi bagaimana dirinya akan memulai satu pembicaraan kalau mereka berdua sibuk menghindar satu sama lain? Arthit mengusak kepalanya lebih brutal, menepuk-nepuk pelipisnya seakan mencoba menghilangkan raut sang mantan yang terus muncul. Ia menengadah, ada kalender di atasnya, sebuah tanggal dilingkari. Sial! Ulang tahun Kongpob sebentar lagi!

"Kalau kita sedang tidak bersama?"

"Contohnya?"

"Contohnya... hmm.. p'Arthit ke luar kota!"

"Aku akan pulang tengah malam, lalu belikan kamu kue, dan mengetuk pintu kamar kamu supaya kamu terkejut!"

"Ih, p'Arthit! Kenapa diberitahu detail? Nanti aku jadi tidak terkejut, tahu!"

"Kamu pasti tidak akan menyangka. Tunggu saja!"

Kemudian keduanya tertawa di bawah sinar lampu kamar, memeluk satu sama lain.

Arthit mengangkat kepalanya, aku ada ide!

✔️ (INA) INNOCENT [KONGPOB x ARTHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang