(Ina) 7.

2.3K 199 9
                                    

"Em, aku tidak mau datang." Mata bengkak, wajah merah padam, tubuh lemas, dan kamar yang super berantakan menyambut Em sore itu. Sahabat sejak kecil yang ia kenal sangat rapi dan memperhatikan baik penampilannya itu kini terlihat sangat kacau dan memprihatinkan. Sejak menerima panggilan tadi siang saat jam makan siang berakhir, Em berkeputusan akan menemani —atau lebih tepatnya menguntit Kongpob dan Arthit yang akan pergi hari ini. Kongpob bilang, setelah sekian lama tidak bisa dihubungi, akhirnya p'Arthit mengajaknya pergi kencan ke tempat mie langganan mereka di dekat jembatan favorit mereka.

"Aku sudah tau apa tujuannya mengajakku kesana. Aku tidak mau mengakhirinya Em! Tidak mau!" Ternyata air mata Kongpob masih tersisa, dan kembali keluar dengan deras. Em mendekapnya dengan erat, memberi kekuatan pada salah seorang yang berarti di hidupnya itu. "Aku sayang dia. Aku cinta dia. Aku cuma mau dia. Aku gak mau kehilangan dia. Aku gak mau mengakhirinya, Em! Gak mau!!" Lelaki yang di depannya pun tak jauh berbeda. Kongpob mengeratkan lagi pelukannya pada Em, menyampaikan segala takut dan sakit yang ia rasakan.

Em bisa menilai sendiri. Sejak kejadian pahit yang dialami sahabatnya itu, Kongpob sangat menutup diri pada siapapun, termasuk dirinya. Semua hal dilakukan demi mengisolasi dirinya dari pertemanannya kala itu. Bisa berkuliah di kota yang sama dengannya saja menurut Em sudah kemajuan yang sangat pesat bagi Kongpob.

Ditambah lagi saat Kongpob dengan senyum merekah dan mata berbinar memandang senior yang paling ditakuti Em di seluruh penjuru fakultas dan mengatakan, "aku suka p'Arthit." Em bisa melihat sendiri perubahan pada teman baiknya itu. Ia jadi lebih terbuka dengan sekitar, lebih berani menunjukkan dirinya di muka publik, basically, kembali seperti Kongpob yang lama.

Apalagi sejak dengan bangganya ia menggandeng tangan seniornya itu di acara perpisahan senior saat mereka masih di tingkat pertama. Rasanya Em kembali melihat sahabatnya yang ia kenal baik selama ini. Kongpob yang ceria, ramah, murah senyum, terbuka, meski masih culun dan berpenampilan sedikit kuno, tapi Em senang bisa melihatnya bahagia dan tersenyum tulus seperti dulu.

"Mungkin ia ingin meluruskan semua yang terjadi bulan lalu, Kong. Kau harus datang! Bagaimana jika ia malah benar-benar memutuskanmu karena kau tidak datang? Bukankah kau sendiri juga bilang kalau kau rindu padanya? Hm?" Em membujuknya. Setelah pertemuannya dengan Arthit terakhir kali di kantin, ia yakin senior yang berhasil mengembalikan sahabatnya itu tak akan melepasnya begitu saja.

"Jadi... menurutmu aku harus datang, Em?" Em mengangguk brutal, melepas pelukannya.

"Ayo aku bantu kau membereskan semua ini dan bersiap."

...

"Kong mau makan apa?" Arthit bertanya dengan lembut seperti biasanya. "Mau phi pesankan yang biasanya, atau kamu mau coba yang lain?" Lagi, kelembutan dan perhatian yang tak pernah luput darinya itu membuat hati Kongpob menjerit.

"Hmm.. aku mau yang sama dengan p'Arthit saja!" Kong meletakkan menu yang sebenarnya tidak ia baca. Hanya saja ia canggung jika ketahuan memikirkan hal buruk yang sudah menumpuk di pikirannya. Wajah Arthit sedikit memelas, seperti tidak setuju dengan usulannya.

"Aku kan selalu makan yang pedas, Kong. Sedangkan lambung kamu lemah. Phi pesankan yang biasa saja, ya?" Hampir. Air matanya hampir saja jatuh jika tidak segera ia beralibi mengucek matanya yang gatal. Ia kemudian mengangguk hanya agar Arthit cepat beranjak dan tidak menyadari bahwa ia menangis. Setelah Arthit tak terlihat di sekitar meja, ia mengeluarkan beberapa tetes air mata, namun segera mengambil tissue untuk mengeringkannya saat dilihatnya Arthit kembali ke arahnya.

"Mata kamu gatal? Mau phi belikan obat tetes?" Arthit mendekat kearah Kongpob dengan cepat, menarik kacamatanya perlahan, kemudian memperhatikan matanya dengan seksama. Lelaki yang diperhatikan itu tak sanggup lagi menahan tangisnya. Arthit sekali lagi bertanya tentang obat tetes, ia hanya sanggup menggeleng tanpa mengucap sepatah kata pun, akhirnya lelaki yang memerhatikannya itu kembali duduk tanpa melepas tatapan ke arahnya.

Dua mangkuk mie akhirnya datang menyelamatkan keduanya dari keadaan canggung yang melingkupi. Arthit seperti biasa, memindahkan semua daging bulat yang ada di mangkuknya ke milik Kongpob, karena ia tahu Kongpob sangat suka bakso. Hal yang biasanya membuat Kongpob tersenyum lebar sambil mengucapkan terimakasih, kini justru membuatnya meneteskan air mata beberapa butir lagi.

Tanpa sadar, keduanya menghabiskan isi mangkuk di depan mereka. Setelah beberapa saat saling diam dan menatap, Arthit memecah keheningan. Menggenggam tangan kekasihnya, yang mungkin dalam beberapa jam lagi akan berubah status menjadi mantan kekasih.

"Ayo jalan-jalan!" Serunya bangkit berdiri. Kongpob pasrah mengikuti, terpaksa mengulas senyum tipis di bibirnya. Keduanya kemudian beranjak dari tempat itu setelah membayar. Menyusuri jalan malam yang sangat familiar, yang otomatis membawa mereka ke tempat paling penuh kenangan bersama. Tempat kencan rahasia mereka saat dulu keduanya belum seterbuka sekarang. Tempat pertama kali keduanya berbagi rasa, dan cinta. Di tempat yang sama, titik yang sama dimana keduanya mendeklarasikan keinginan untuk bersama, Arthit memulai kalimatnya.

"Kong, maaf." Satu kalimat singkat yang mampu meruntuhkan segala pertahanan Kongpob. Awal mula dari semua pemikiran buruk yang terus saja bertimpahan dalam otaknya. Ia masih bertahan, "maaf untuk apa p'Arthit?"

"Maaf, aku tidak bisa menjagamu. Kong, aku sudah melanggar janjiku padamu yang akan menunggu hingga kamu siap dan mau untuk melakukan 'itu' denganku. Kamu mabuk, tidak sadarkan diri, kalau saat itu aku yang mabuk, mungkin kamu akan lari dan bilang belum siap. Aku juga tidak bisa menahan diri, hingga melakukannya sesuka hatiku. Aku tak pernah mengharapkan yang pertama dengan kamu itu tertutup kabut nafsu begini, Kong. Jadi, aku merasa kalau aku tidak cukup dewasa untuk mengarahkan kamu, tidak cukup baik untuk membimbing kamu, dan tidak cukup tangguh untuk menjaga kamu. Aku mau memperbaiki diriku, Kong. Kamu... carilah yang cukup dewasa, baik, dan tangguh untuk mendampingi kamu ke depannya. Karena aku merasa sangat buruk untukmu yang terlalu baik. Maaf—"

"Tidak." Suara yang biasanya sedikit mengambang dan penuh kelembutan itu berganti menjadi berat, tegas, dan penuh amarah. "Aku tidak mau memaafkan phi. Aku tidak menerima permintaan maaf phi! AKU TIDAK MAU PUTUS DENGAN PHI!!" Pertahanannya runtuh, air matanya mungkin sudah menyatu dengan aliran sungai Chao Phraya, mulutnya bergetar, hendak mengatakan sesuatu lagi namun tak sempat.

"Aku tidak mau menyakiti kamu lebih lagi, Kong. Aku ini cuma orang mesum, yang bahkan tidak bisa mengatur nafsuku sendiri. Dengan orang mabuk saja aku kalah, bagaimana bisa menjaga kamu kedepannya? Aku minta ma—"

"Tidak mau, p'Arthit! Aku bilang aku tidak mau maafmu! Aku cuma mau phi!" Teriakan frustasinya kembali menggema, malam sudah larut, dan para pedagang pun sudah mulai membereskan dagangannya. Beberapa ada yang menatap heran kearah keduanya, menyaksikan drama picisan gratis tidak ada salahnya kan?

Arthit memandang sekeliling pemuh rasa bersalah. Memberikan wai sebagai permintaan maaf, setelah itu maju dua langkah. "Kong, aku mohon jangan begini. Aku sudah cukup merasa bersalah pada kamu, dan tidak ingin menambah rasa itu lagi. Sudah, ya? Kita cukup menjadi phi-nong saja. Dengan begitu, aku bisa tetap menjaga kamu tanpa menorehkan luka lagi. Ayo, aku antar kamu pulang, ini sudah larut." Kongpob menghempas tangannya yang berusaha diraih Arthit, mundur beberapa langkah dengan memberikan tatapan tajam menusuk dan penuh dendam.

"Baik kalau itu memang mau phi. Kita lihat saja seberapa lama phi akan bertahan dengan omong kosong itu!" Ia kemudian memutar balik, berlari secepat mungkin, mengabaikan teriakan panggilan dari sang mantan kekasih.

✔️ (INA) INNOCENT [KONGPOB x ARTHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang