(Ina) 11.

1.8K 190 6
                                    

Joss mengangkat ransel hitamnya yang sedikit menggelembung. Senyum cerah terpatri di wajahnya yang tegas, matanya mengerling menatap sahabatnya. Em menepuk-nepuk gundukan tasnya, mengisyaratkan untuknya segera berkedip. Joss mengalihkan pandangannya, "aku titip adik kecil kita ini ya, Em. Kabari aku jika sesuatu terjadi." Tangannya terulur mengacak rambut Kongpob yang langsung mencebikkan bibirnya, mendorong tubuh Joss dengan kesal. "Dan kau, adik kecil! Pergilah ke kelas, kerjakan tugasmu, mandi dan makan dengan baik." Lagi, Kongpob memanyunkan bibirnya, menyedekap tangannya, namun tetap mengangguk mendengar nasihat 'kakak tertua'nya.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Em, Kong. Sampai jumpa!" Keduanya melambaikan tangan mengiringi motor Joss yang menjauhi gedung asrama Kongpob. Sedang Kong masih menatap ke arah perginya Joss, Em menatap Kongpob kemudian mengajaknya masuk.

Lagi, seperginya Joss dan Em, Kongpob sendiri lagi berada di kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya diatas kasur. Rasanya nyaman, dan ia merasa baikan setelah kedatangan Joss kemarin. Ia memeluk bantalnya, tak sengaja membalik tubuhnya menghadap balkon kamar yang berseberangan dengan milik sang mantan kekasih.

Dulu ia sangat suka spot ini. Dimana ia dapat dengan mudah dan leluasa mengamati pergerakan senior yang disukainya. Setiap hari Kongpob tak pernah absen untuk mengucapkan selamat pagi dan selamat malam untuknya dari kejauhan. Setelah jadian pun tak jauh berbeda, ia suka sekali jika saat mengangkat telepon Arthit, duduk di spot yang sama, seakan berbicara langsung dengan kekasihnya itu.

Dalam diam air matanya turun, membanjiri bantal yang dipeluknya. Berulang kali menghirup aromanya, masih wangi kepala p'Arthit. Alirannya semakin deras kala tatapannya seperti dibalas. Sebuah bayangan muncul dibalik tirai tipis kamar seberang, berdiri berkacak pinggang, tangannya kemudian turun melemas, dan ia berjalan menjauh dengan lunglai. Pakaian di balkon melambai-lambai, ciri khas Arthit yang selalu lupa mengambil pakaian keringnya. Biasanya di saat seperti ini Kongpob akan meneleponnya dan menyuruhnya untuk mengambil pakaian itu, dan Arthit akan mengambilnya dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Bayangan itu membuat Kongpob tersenyum, ya, tersenyum miris. Karena sekarang ia harus bisa membiasakan diri tak melakukannya.

...

Joss baru saja kembali lagi kepada kewajibannya setelah selama akhir pekan menginap lagi di kamar Kongpob. "Rindu," katanya. Em melambai ke arah Kongpob yang baru saja turun dari motor Joss dan berlari ke arahnya, langsung menempati kursi di sebelah Em.

"Sudah belajar?" Em bertanya sembari mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kongpob menggeleng sedikit keras, tangannya sibuk mencari buku catatan di dalam tas, entah ia membawanya atau tidak.

"Semalaman aku dan Joss bermain game baru yang kami beli di tempat biasa kita beli kaset PS, Em! Mau main tidak nanti?" Seketika Em tersadar akan lingkaran hitam yang terlihat samar di bawah mata sahabatnya. Ternyata selama akhir pekan dirinya dan Joss benar-benar menghabiskan waktu bersama. "Kemarin kau pulang, sih! Padahal seru, tahu!" Setelah Kongpob menemukan buku merahnya, ia menatap buku itu sendu sejenak, namun langsung menggelengkan kepala menghilangkan bayangannya.

"Ya mau bagaimana lagi? Aku juga maunya main bersama kalian berdua! Tapi tahu sendiri kalau pho-ku sudah meminta, tidak ada yang bisa membantah, kan?" Em lesu mendengar permainan baru yang seru tapi belum sempat dimainkannya itu. "Nanti sore ayo kita main, Kong! Tapi aku harus bertemu Prof Khan dulu sebelum ke kamarmu, bagaimana?"

Kongpob menoleh, "tentu! Kalau begitu aku pulang duluan, kau menyusul saja, oke?" Em mengangguk antusias. Kongpob beralih menatap fokus buku di depannya. Em membuka ponsel, dan teman-teman lainnya tak jauh berkegiatan sama seperti keduanya. Ada yang sibuk belajar, ada juga yang sibuk dengan sosial medianya. Ada juga yang sibuk dengan game, Oak contohnya.

...

Desas-desus kembali terdengar rendah di kiri-kanan Kongpob. Sore ini setelah kelas terakhir, sesuai janjinya pada Em, ia akan kembali ke kamar terlebih dulu, kemudian keduanya akan bermain game console bersama setelah Em selesai berurusan dengan Prof Khan.

Dengungan ejekan, makian, dan kalimat merendahkan sejenis yang dilontarkan padanya ternyata sampai langsung ke telinganya. Tak ada gunanya berbisik, pendengaran Kongpob tajam. Ia berdiri di tengah koridor, menyiapkan mental dan suara, "KALAU KALIAN PUNYA MASALAH DENGANKU, TAK PERLU BERBISIK, DASAR PENGECUT!" Seketika semua hening, menatap takut pada sosok yang selama ini dinilai culun dan tak ada 'tampang anak teknik'-nya. Selama ini semua orang beranggapan dirinya sangat beruntung karena tak lama setelah ospek, Kongpob langsung menjalin hubungan dengan Arthit, si ketua hazer. Sekarang, dengan tidak adanya lagi sosok itu, semua yang dulu takut menghampiri Kongpob, berbalik membullynya.

"Siapa yang baru saja kau sebut pengecut, hah?" Segerombol kakak tingkat Kongpob yang diyakini beberapa diantaranya adalah fans Arthit muncul tiba-tiba dihadapannya. Meski awalnya Kongpob sedikit ciut melihat 'ketua' dari geng itu, namun ia tetap tak goyah pendirian.

"Kalau kalian membicarakan aku dibelakang juga, berarti kalian termasuk pengecut yang aku maksud. Jika tidak, maka minggirlah, kalian menghalangi jalanku." Sejujurnya bukan takut, tapi Kongpob tidak terlalu suka berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Tidak penting.

"Kalau iya, kenapa? Kau mau melawan, hah? Dasar culun, tidak tahu diuntung! Sudah kuduga, Arthit pasti tidak akan puas dengan orang culun sepertimu! Cih, menjijikan." Wanita disamping si ketua menyusul, merendahkan Kongpob juga. Berlagak dirinyalah yang paling sempurna dibanding seisi kampus. Terlalu narsis.

Kongpob menyunggingkan senyum samping, bermaksud mengejek. Setidaknya orang yang dikatakan culun dan menjijikan ini sanggup menjinakkan singa beringas selama setahun, tidak seperti yang lain, yang kandas bahkan belum seumur jagung!

"Kau menantang, hah?!" Lelaki lain tersulut, padahal Kongpob tak bermaksud mengejeknya. Kerahnya ditarik ke atas, tanda sebentar lagi akan ada pertikaian. Atau pembantaian?

"CUKUP!" Sebuah suara mengejutkan seisi koridor, kecuali Kongpob. Ia justru berpikir, untuk apa lagi dia disini? "KALIAN SEMUA, BUBAR!" Seseorang itu mendelik menatap tajam seluruh mahasiswa di koridor yang menonton. "Dan, kau!" Tunjuknya pada lelaki yang menyentuh Kongpob tadi, "urusan kita belum selesai! BUBAR!" Teriaknya lagi yang langsung dituruti semua mahasiswa tanpa terkecuali.

Kongpob berbalik, hendak melarikan diri juga seperti yang lain. Langkahnya terhenti kala sebuah tangan mencekalnya. Ia terpaksa memutar balik tubuh demi kesopanan.

"Kamu gak apa-apa kan, Kong?" Maksud hati Arthit ingin bertanya tentang kejadian barusan, dimana segerombol fans-nya mendatangi Kongpob. Tapi jawaban Kongpob...

"Memangnya setelah semua yang terjadi aku masih bisa baik-baik saja?"

Kongpob menghempaskan tangannya, yang kembali ditahan Arthit. Bukan itu maksud Arthit.

"Kong, bukan—"

"Lagipula, untuk apa phi datang lagi?"

"Kong.. phi kan sudah bilang, kalau phi akan tetap menjaga kamu meski kita tidak bersama lagi."

Kongpob menyunggingkan lagi senyum sampingnya, "huh.. tidak perlu, aku bisa jaga diri sendiri. Kalau memang phi mau melepasku, lepaslah seluruhnya, jangan setengah-setengah!" Kembali ia menghempas tangannya dari Arthit.

Sekembalinya ia ke kamar, lututnya terasa lemas. Ia menjatuhkan dirinya tepat di depan ranjang, menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya dibalik lutut. Sedih, marah, kecewa, semua bercampur padu menjadi satu. Keheningan yang melingkupi pun tak membantunya membaik, ia justru makin terpuruk tersadar tak seorang pun disampingnya saat ini.

Beruntungnya, Em masuk disaat yang tepat. Kongpob tak terlalu lama berada di posisi menyedihkan itu, ia segera membersihkan diri saat tak sengaja teringat janjinya dengan Em. Belum sempat Kong menggantung handuk, Em sudah mengetuk pintu kamar. Langkah Kongpob yang sudah sampai di depan balkon harus terhenti dan berputar ke arah pintu kamar. Untung saja Em datang, karena diseberang sana, seseorang sedang menatap sendu ke arah kamar Kongpob dari balkon miliknya.

✔️ (INA) INNOCENT [KONGPOB x ARTHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang