(Ina) Sp. Part 2 ❌❌❌

2.6K 129 70
                                    

Mengejutkan untuk Joss ketika suatu malam seseorang mengetuk pintu rumahnya yang hanya dihuni dirinya sendiri untuk beberapa hari kedepan. Rintik yang datang ramai-ramai menjadi latar belakang yang menyedihkan saat Joss membuka pintunya.
Lelaki itu tersenyum sangat cerah meski sekucur tubuhnya bermandikan air hujan, dan kacamatanya yang menggantung di hidung kabur berembun. Joss dengan sigap menariknya masuk ke tempat yang lebih teduh dan hangat. Jika tak segera ditangani, orang yang berada di hadapannya kini bisa sakit!

"Kamu kenapa keluar rumah malam-malam begini?! Sudah tau hujan!" Lelaki dengan tinggi menjulang itu kembali dengan sebuah handuk kering, sedikit berlari, dengan seekor kucing mengekorinya. "Lihat, bajumu basah semua, kan!"

"Simbaaa!" Alih-alih menanggapi pemilik rumah yang sedang bicara padanya, lelaki ini justru mengajak kucing favoritnya mengobrol. Sejak dulu ia suka kucing, tapi tak pernah diberi kesempatan untuk memeliharanya. "Simba kenapa belum tidur? Apakah Joss membangunkanmu? Atau aku?" Binatang kaki empat dengan bulu abu-abu super lebat itu menjilat-jilat tangan orang yang menggendongnya. Entah rindu, atau sekedar ingin bermanja.

"Kamu masih basah, bulu simba bisa menempel semua padamu, tahu? Ini, cepat ganti baju!" Si pemilik rumah yang entah kapan perginya telah kembali dengan sepasang lengkap pakaian bersih, meletakkannya diatas meja, lalu mengambil alih kucing miliknya. Si pemuda yang diajak bicara cemberut, kemudian dengan kaki menghentak meninggalkan keduanya menuju kamar mandi.

Setelah keadaan lebih terkendali, kini kedua manusia itu berbaring di kasur milik Joss. Berlapis selimut tebal, meski pendingin ruangan tetap dinyalakan pada suhu rendah sebagaimana pemilik rumah menyukainya. Makhluk kaki empat berbulu lebat tertidur di ujung ruangan dengan damai.

"Sudah punya penjelasan kenapa hampir tengah malam begini kamu main hujan-hujanan?" Si pemilik rumah melipat kedua tangan di depan dada sambil bersandar pada headboard.

"Aku tidak main hujan, Joss!" Bibir lawan bicaranya maju dua centi, tangannya ikut terlipat di depan dada, dengan kedua alis menukik tajam kebawah. Joss menghela nafas, seperti biasa, jika ada argumen diantara keduanya ia akan selalu menjadi pihak yang mengalah.

"Oke, jadi ada apa, hm?" Raut wajahnya melunak, menatap lawan bicaranya lembut agar mau membuka suara. Meski belum tentu ia dapat memberi solusi, setidaknya ia bisa menjadi pendengar yang baik.

Setelah beberapa saat tertunduk, sang tamu akhirnya mengangkat kepala, kemudian tersenyum sangat manis kepada tuan rumah, "tidak ada! Aku hanya rindu pada Joss!" Serunya kemudian memeluk sahabat di depannya. Kepalanya mencari sudut nyaman dalam dada Joss yang bisa dibilang jauh lebih bidang dibanding miliknya. Rasanya nyaman bersandar disini. Degupan jantung Joss secara tak sopan berdendang kencang. Ia hanya takut remaja yang sedang memeluknya sekarang mendengarnya.

"Ta-tapi kau kan bisa menelepon, atau menyuruh aku saja yang datang ke rumahmu!" Kepala di dadanya menggeleng, "aku juga rindu simba, tahu! Memang kau mau membawa-bawa Simba di jok motormu yang tidak seberapa itu, hah?" Ia lebih sayang Simba ketimbang pemiliknya. Si pemilik rumah terkekeh mendengar motor sport mahal miliknya diejek. Keduanya hening setelah kekehan itu, beberapa menit hingga terjadi pergerakan dari kepala di dada Joss. Refleks dirinya menengok ke bawah, tatapan keduanya beradu, dari kosong, menyelami satu sama lain, semakin dalam, semakin dalam, semakin sayu, hingga yang ada di kepala Joss hanyalah bagaimana indahnya lekuk tubuh pemuda di hadapannya ini jika tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi. Tanpa sadar tangannya terulur ke depan, menjelajah garis luar wajah lawan tatapnya. Dengan berani, telapaknya ia sentuhkan di seluruh bagian pipi, ibu jarinya mengusap bawah mata, mengagumi indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya.

Bibirnya terbuka, memanggil nama sahabatnya dengan lirih, sarat akan cinta dan nafsu. Nama yang terpanggil hanya memberi gumaman, terlalu larut dalam kenyamanan dan kekaguman. Hasil pahatan maha pencipta yang paling sempurna menurutnya, namun sayang tak dapat berbagi rasa. Ia menutup pintu hati, meski diakuinya sosok ini sangat tersayang. Sekali lagi namanya terpanggil, seketika ia buta. Buta akan kabut nafsu yang juga melingkupinya. Ia memberanikan diri menutup mata saat dirasanya rahang tegas di depannya mulai maju. Kedua belah bibirnya seketika basah, seonggok daging memaksa masuk ke dalam, ke antara gigi-giginya. Ia mengizinkan, bahkan bergulat dengan hebatnya. Kakinya melemas. Meski sedari tadi hanya berbaring, ia merasa tak dapat menggerakkan kedua alat berjalannya itu sekarang. Kini hanya bisa pasrah dalam kungkungan tubuh besar di depannya.

Posisi mereka akhirnya berbalik. Joss mendominasi dengan berada di atas tubuh sahabatnya. Berkali-kali ia coba menyadarkan dirinya, dengan sengaja membenturkan kaki dan kepala, namun tarikan di rambutnya sungguh sangat terasa. Ia hanya takut, ini semua cuma mimpi! Karena rasanya begitu asli, begitu sempurna untuk sebuah kejadian nyata. Jarak yang selalu tercipta diantara keduanya, yang selalu dikutuk Joss sebagai penghalang, kini tak terlihat rimbanya. Berpuluh-puluh kali rasanya ia mengucapkan kalimat yang sama dalam hati, maafkan aku Em. Tak mengerti mengapa mengucapkannya, ia hanya merasa perlu. Keadaan memaksanya untuk tak dapat berbalik. Kakinya sudah terkena cipratan air, mengapa tak sekalian saja menyelam?

Hujan diluar semakin deras, pendingin ruangan pun berada pada suhu terendah. Namun keduanya tak dapat menutupi panas gairah yang tercipta dari kedua insan yang sedang bergelut di sebuah kamar. Dengan saksi bisu seekor kucing yang tak sengaja terbangun, dua adam saling menarik jiwa satu sama lain. Saling meraba dalam remang ruangan, meniupkan sihir di setiap sentuhan. Racau demi racau yang bersahutan menjadi musik pengiring. Dua nama yang tersebut dari bibir satu sama lain sesekali seakan meneriakkan siapa tersangka dibalik kejadian tak senonoh ini. Mereka bahkan belum berusia legal! Tak sepatutnya ada dalam situasi seperti ini.

Akhirnya apa yang Joss impikan sedari tadi terwujud. Tubuh lawan mainnya polos, tak bercela maupun bertutup. Sekali lagi ia menatap, menjelajah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mengagumi sekali lagi, kemudian matanya kembali ke atas, tepat ke lensa milik sahabatnya. Adu tatap terjadi lagi, namun kali ini dengan tangan seseorang yang menggerayang di pakaian Joss, berusaha melucutinya. Ia tersadar, kemudian bangun untuk membantu melaksanakannya. Keduanya kini seimbang, tanpa apapun diantaranya. Kulit kepada kulit kini bersentuhan, hanya sebatas dada. Bibir kepada bibir menyatu, melumat lawannya. Joss meraih sesuatu di samping kepala sahabatnya, laci yang terkunci; mengambil sesuatu di dalamnya. Botol kecil itu terambil, dilihatnya sebentar, benar atau tidaknya. Setelah dirasanya benar, ia membuka tutupnya, masih dengan posisi bercumbunya, membasahi kedua tangannya dengan cairan dalam botol. Dingin, itu yang dirasanya.

Setelahnya ia beralih memperkerjakan kedua tangan tersebut. Satu pada pedang panjang kebanggaannya, satu lagi pada lubang sempit yang berkedut milik seorang yang sangat ia kagumi. Desisan sakit keluar, disusul erangan juga desahan yang panjang dan kuat. Sebegitu besar efek jari-jari Joss pada lawannya, entah apa jadinya jika benda kebanggaannya yang masuk kedalam sana.

"Jo..ssss... pe-pelan pe-pelan y-ya.." bulir keringat sebesar jagung keluar dari pelipisnya. Saat namanya tepanggil, Joss menengadah ke arah sumber suara, mendengar dengan seksama permintaan yang terpatah-patah dibalik desahan itu. Ia tersenyum, sangat cerah, seakan mengisyaratkan kalau orang yang sangat dicintainya itu tak perlu takut, karena ia akan melakukannya penuh dengan perasaan dan jelas tak mungkin akan berkeinginan untuk menyakitinya. Ia berjanji akan melakukan yang paking lembut, hingga kenikmatannya bukan hanya dirinya sendiri yang mendapat, tapi lawan mainnya pun merasakannya juga.

Matanya memberi kode, jika sudah siap, ia akan mulai memasukkan alat reproduksinya, dan menyatukan tubuh keduanya. Lelaki yang berada dibawahnya memberi izin dengan menganggukkan kepala.

Setelahnya, hanya Simba yang tahu pasti bagaimana indah lekuk gerakan keduanya.

Hingga akhirnya mereka menyerah pada rasa lelah. Dengan tubuh lengket keringat, bercampur bau khas bercinta, mereka berbaring bersisian. Joss mengusap surai hitam yang menempel di dahi sahabatnya. Meniup-niup helai rambut lainnya hingga membuat keduanya terkekeh merasa lucu.

"Terimakasih sudah memberikanku kepercayaan."

Yang diajak bicara tersenyum, "sama-sama! Aku sayang Joss!" Kemudian memeluknya heboh.

"Aku juga sayang padamu, Kong—"




































































"PHI JOSS!! BISAKAH KAU BANGUN DAN BERGEGAS SEKARANG?! ATAU KITA AKAN TERLAMBAT KE SEKOLAHHH!!!!!" Teriakan dan gebrakan tiba-tiba membangunkannya. Joss memisahkan dirinya dengan bantal guling. Sialan, ini sangat lengket, ewh!

Begitulah jika kalian tanya, bagaimana Joss mendapat mimpi akil baligh-nya.
















Haruskah aku melanjutkan kisah kapal ini lain waktu?!

✔️ (INA) INNOCENT [KONGPOB x ARTHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang