Sudah 2 hari berlalu, kegalauan Atun semakin menjadi-jadi. Entah apa yang harus Atun lakukan. Pikirannya berkecamuk, ingin rasanya dia menjerit dan menangis sekuat tenaga. Namun seakan ada tangan besar yang membekap mulutnya hingga lidahnya terasa kelu tak mampu mengucapkan apa-apa. Tak sedetikpun dia bisa terlupa apa yang suaminya bisikkan malam itu. Sore ini pun Atun kembali terbayang percakapannya dengan Joko.
"Tun, gimana kalau kamu bantu pak Tejo memuaskan nafsunya? Kasihan dia selalu cerita kalau dia tersiksa bertahun-tahun sejak istrinya berangkat." Joko berkata lirih di telinga Atun.
Jangan tanya bagaimana perasaan Atun mendengar ucapan suaminya. Bagai tersambar petir di siang hari yang cerah. Tidak mungkin, Atun bukan orang yang murahan.
"A-a-apaaa??? Apa yang barusan mas bilang?? Mana mungkin aku bisa Mas? Aku bukan pelacur, jiwa raga dan cintaku seutuhnya aku berikan untukmu, Mas. Aku tak akan bisa berbuat hal sehina itu!" Atun meninggikan suaranya menahan amarah dan tangis yang semakin menyesakkan dadanya. Tak pernah terbesit dalam pikirannya bahwa suaminya akan menjualnya seperti itu.
Tangisnya pun pecah tatkala Joko merengkuh Atun dalam pelukannya.
"Maafkan Mas, Atun! Mas tak tahu lagi harus bagaimana mencari uang. Kamu kan tahu sendiri hutang kita banyak dimana-mana. Kamu juga tahu sendiri Mas sudah bekerja nguli pagi sampai petang pun hasilnya tak nampak. Coba kamu lihat anak-anak kita, makan mereka sering hanya lauk kecap, baju mereka sudah kekecilan dan sobek dimana-mana. Ini kesempatan untuk kita dapat uang tanpa perlu kerja berat, Tun." bujuk Joko sambil memeluk dan mengusap punggung Atun.
Atun masih sesenggukan, tak mampu berkata apapun.
"Kita butuh uang, Tun. Pak Tejo juga butuh pemuas nafsunya. Kamu bukan melacur, Tun. Tapi anggap saja kita saling tolong menolong dengan pak Tejo agar sama-sama tercukupi dan sama-sama mendapat untung. Lagipula Mas tahu kalau pak Tejo menyukaimu, setiap pak Tejo mampir ke rumah kita, pasti matanya tak pernah berkedip memandang tubuhmu. Cobalah kamu pikirkan baik-baik Tun, pikirkan keluarga kita." Joko melanjutkan bujuk rayunya.
Atun terdiam, dia tenggelam dalam tangisnya. Hingga dia pun lupa akan hasratnya yang sudah menggebu sejak tadi sore.
*tok...tok....tok....
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Atun itu. Segera dia bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya.
Ternyata suaminya baru pulang. Dan ternyata juga di kursi teras sudah ada 2 orang tamu, pak Tejo dan Supri (sopirnya pak Tejo).
Jantung Atun serasa berhenti seketika. Entah karena dia teringat 'tugas' yang diberikan suaminya untuknya, atau karena memandang tubuh kekar pak Tejo yang membuat hasratnya bangkit kembali. Entah....
Joko membawa Atun masuk ke kamar, diajaknya Atun untuk duduk di pinggiran kasur kapuk mereka.
"Tun, Mas mohon sama Atun, sekali ini saja Atun bantu Mas. Mas sudah membuat kesepakatan dan janji dengan pak Tejo, karena Mas tadi ditagih hutang di tempat kerja Mas. Terpaksa Mas pinjam uang sama pak Tejo. Dan pak Tejo setuju dengan tawaran Mas."
"Tapi Mas,, apa kata tetangga nanti???" bisik Atun lirih disela tangisnya.
"Mas janji, Tun. Tidak akan ada tetangga yang tahu semua ini. Mas janji sama kamu, Mas akan selalu menjaga dan mendampingimu. Mas cinta sama Atun. Atun juga cinta kan sama Mas?" tanya Joko.
Atun mengangguk pelan. Dadanya bergemuruh, pikirannya melanglang buana tak tentu arah. "Oh, Tuhan... Apa yang harus aku lakukan?" gumam Atun dalam hatinya.
Joko menggenggam tangan Atun semakin erat, dan hal itu membuat hati Atun semakin tak menentu, perasaannya semakin tercabik-cabik.
Joko masih setia duduk di sisi Atun, menunggu-nunggu jawaban yang sangat dia harapkan dari mulut istri tercintanya.
*bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI YANG DIJUAL (TAMAT)
General FictionMenceritakan tentang Atun, seorang istri yang dijual oleh suaminya sendiri.