Sudah 3 hari Joko membolos kerja, dia tidak sanggup untuk bangkit dari keterpurukan ini. Begitu juga Atun, tak ada semangat maupun nafsu lagi yang biasanya menggebu. Dia hanya ingin mati agar bisa lepas dari semua masalah. Atun tak pernah tahu, bahwa 'kehidupan' yang sesungguhnya adalah justru setelah kita mati.
Pagi itu, seperti biasa anak-anak berangkat sekolah. Rumah terasa sepi, hanya ada Joko dan Atun yang larut dalam lamunan mereka masing-masing. 4 hari lagi mereka harus pindah dari rumah itu jika tidak sanggup membayar hutang + bunganya. Bahkan saat ini mereka harus membayar dengan tambahan denda 1juta karena keterlambatan mereka. Begitulah riba, tidak ada pinjaman berbunga riba yang tidak semakin memberatkan. Tiada keberkahan, yang ada kesusahan. Namun Joko dan Atun tak pernah tahu tentang itu, mereka hanya tahu bahwa mereka telah mendapat pinjaman.
"Mas, bagaimana ini? Kita harus tinggal dimana nanti?" tanya Atun sambil terus terisak.
Joko masih terdiam, otaknya sedang mencari cara. Bagaimanapun caranya harus ketemu solusi hari ini juga. Rumah ini miliknya, Joko akan mempertahankannya sampai mati.
Tiba-tiba muncul suatu ide di pikiran Joko."Tun, ayo sekarang ikut Mas!" Joko bergegas berdiri dan mengambil kunci motor bututnya.
"Mau kemana Mas??" Atun keheranan
"Sudah, jangan cerewet! Ayo, buruan ikut saja!" Joko mulai emosi.
Atun lalu menghapus air matanya dan mengikuti langkah suaminya menuju motor mereka.
Atun dan Joko berboncengan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tak lama Joko memberhentikan kendaraannya lalu bergegas turun.
Atun keheranan, untuk apa dia dibawa ke rumah mertua? Apa Joko akan mengajaknya dan anak-anak untuk tinggal disini? Tidak, Atun tidak mau. Dia tidak rela rumahnya diambil orang.
"Pak...... Pak........ Bapak dimana?" teriak Joko sambil mencari-cari Bapaknya.
"Bapak di sawah, tumben kamu datang kesini pagi-pagi Ko? Ada apa teriak-teriak gitu panggil Bapak? Masuk rumah itu salam dulu." Emak Joko tergopoh-gopoh menemui Joko. Sayur yang sedang dimasaknya ditinggalkan begitu saja di atas tungku tanah. Bau khas asap kayu bakar menyerbak dari bajunya.
"Mak, Joko butuh bantuan. Penting sekali. Kalau tidak, Joko bisa mati, Mak.." Ujar Joko yang membuat Emaknya kebingungan.
"Ada apa Ko? Coba jelaskan pelan-pelan, kamu itu kenapa? Kamu butuh bantuan apa? Jangan bikin Emak bingung." Gurat keriput di wajahnya semakin nampak.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Mak. Pokoknya Joko saat ini butuh uang banyak untuk bayar hutang, kalau tidak rumah Joko akan disita. Joko bisa mati Mak kalau sampai rumah itu diambil orang." Joko mulai tidak sabar.
"Emak dan Bapak mana mungkin punya uang banyak, Ko. Hasil panen kemarin juga sudah mau habis. Tahun ini sepertinya hasil panen juga kurang memuaskan, padahal Bapakmu sudah berusaha keras dari pagi sampai petang mengurus sawah. Memangnya kamu hutang sama siapa? Bank? Hutang buat apa? Seberapa banyak hutangmu?" Mata Emak mulai berair.
"Joko pinjam sertifikat sawah itu saja, Mak. Sawahnya akan Joko gadaikan. Nanti Joko kembalikan lagi kalau sudah bisa menebusnya."
"Ko, itu sawah satu-satunya punya Bapak. Dari sawah itu kami bisa hidup, kamu juga mendapat jatah beras dari hasil sawah itu. Mana boleh digadaikan? Bapakmu mau kerja apa nanti?" Emak menangis. Hatinya teriris saat mengetahui anak lelakinya sedang kesusahan. Namun tidak mungkin juga sawah itu digadaikan.
"Mak, Joko mohon bantu Joko sekali ini." Joko mulai terisak memohon pada Emaknya.
Atun yang sedari tadi berdiri di ruang tamu, tak mampu berkata apa-apa menyaksikan semua ini. Hanya menangis dan menangis lagi. Tuhan, mengapa ujian hidup ini berat sekali dan tak pernah berhenti? Atun menjerit dalam hati.
"Tidak mungkin Bapakmu akan mengijinkan. Emak tidak berani, Ko. Maafkan Emak, Ko! Emak ingin sekali bisa membantumu, tapi Emak tidak bisa." Beberapa saat menjadi hening, tiada kata, hanya terdengar isak tangis mereka bertiga.
"Mak, biarkan Joko coba membujuk Bapak. Siapa tahu Bapak nanti bisa membantu Joko. Joko butuh sekali, Mak. Coba Emak tolong ambilkan sertifikatnya, biar Joko bawa ke sawah untuk ketemu Bapak sekarang juga. Joko tidak punya waktu lama." ucap Joko memecah keheningan.
Emaknya diam, berpikir sesaat. Tak berapa lama Emak masuk ke dalam kamar tidurnya lalu keluar lagi sambil membawa sebuah map berwarna biru.
"Ini sertifikatnya, coba kamu tanyakan sendiri sama Bapak." kata Emak sambil menyerahkan map itu.
"Terima kasih, Mak. Joko ke sawah sekarang juga." diterimanya map itu lalu segera keluar dengan Atun dan pergi dengan motor mereka.
Sore hari bapak Joko pulang. Baju dan badannya kotor semua. Bapak Joko segera menuju kamar mandi dan membersihkan semua badannya.
Ibu Joko membuatkan segelas kopi untuk suaminya.Tidak berapa lama bapak Joko selesai mandi. Dia lalu mengambil pakaiannya di kamar, kemudian duduk di kursi dapur sambil meminum kopi agar badannya jadi hangat. Beberapa teguk kopi telah dia minum. Saat hendak mengambil bakwan di piring, istrinya mendekatinya dan ikut duduk di kursi.
"Pak, sudah ketemu sama Joko? Bapak kasih ijin Joko ya?" Emak Joko memulai percakapan.
"Joko? Tadi Joko kemari? Ada perlu apa?" tanya bapak Joko sambil asyik mengunyah bakwan.
"Lho, tadi Joko ambil sertifikat sawah kita, katanya mau menyusul Bapak ke sawah. Joko butuh uang, dia mau pinjam sertifikat untuk digadaikan." Emaknya mulai heran.
"Apa????? Dari tadi Bapak di sawah, tidak ketemu Joko sama sekali." Bapak kaget dan mulai emosi.
"Joko tidak kesini lagi untuk mengembalikan sertifikat, jadi Emak pikir Bapak sudah kasih ijin." Emak Joko mulai gemetaran.
Bapak berdiri sambil meletakkan kembali sisa bakwan yang belum habis dia makan.
Dengan tergesa-gesa bapak Joko mengambil sepeda tuanya di samping rumah. Istrinya bergegas menutup pintu dan menyusul bapak Joko.Berdua orang tua Joko menuju rumah Joko. Hari yang semakin gelap tidak mereka hiraukan. Kaki tua bapak Joko berusaha sekuat tenaga mempercepat sepedanya.
"Joko, Bapak mau bicara sama kamu!" panggil bapak Joko dengan suara agak lantang setiba mereka di rumah Joko.
Joko dan Atun mempersilakan orangtua mereka masuk.
"Mana sertifikat Bapak?" Bapak Joko bertanya tanpa basa-basi.
"Maaf, Pak! Sudah Joko gadaikan tadi. Maaf, Joko sangat terpaksa." jawab Joko sambil menunduk.
"Aa-apaaaa???!!! Bagaimana mungkin kamu bisa berbuat seperti itu pada orangtuamu??" Bapak Joko gemetaran menahan amarah, tangannya mengepal kuat.
Emak Joko menangis. Atun pun ikut terisak.
"Joko terpaksa, Pak. Tidak ada cara lain, Joko harus segera membayar hutang yang banyak, kalau tidak, rumah Joko akan disita." Joko membela diri.
"Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Bapak?? Kamu tahu kalau cuma itu yang Bapak punya. Tega sekali kamu membohongi kami!" suara Bapak Joko mulai meninggi
"Kalau Joko bilang sama Bapak nanti pasti Bapak tidak akan memberi ijin." Joko pun mulai meninggikan suaranya juga.
"Anak durhaka kamu!!" teriak Bapak Joko sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Joko.
Emak dan Atun semakin terisak dan menjerit menyaksikan pertengkaran antara Joko dan bapaknya.
"Terserah Bapak mau bilang Joko apa. Joko terima. Sertifikat juga sudah Joko gadaikan, uangnya juga sudah Joko pakai untuk membayar hutang. Sudah terlanjur seperti ini, Joko bisa apa?" Joko berkata dengan emosi.
"K-k-k-kamuuu.................................." Bapak Joko tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Seketika kemudian bapak Joko terjatuh sambil memegangi dadanya yang nyeri.
"Bapaaaaaaaak!!!!!" Teriak Emak dan Atun bersama.
Apa yang terjadi pada bapak Joko?
Akankah Joko menjadi sadar?
Bagaimana Atun dan Joko melanjutkan hidup mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI YANG DIJUAL (TAMAT)
General FictionMenceritakan tentang Atun, seorang istri yang dijual oleh suaminya sendiri.