part 5

30.5K 262 8
                                    

Kehidupan Atun dan Joko saat ini lebih stabil, bahkan bisa dibilang jauh lebih baik. Uang dari pak Tejo sungguh sangat mencukupi kebutuhan harian mereka tanpa perlu berhutang lagi. Anak-anak sudah sekolah semua, biaya pendidikan mereka gratis karena masuk dalam golongan keluarga miskin (ditinjau dari rumah bambu mereka yang lantainya masih dari tanah).

Namun banyaknya uang yang mereka dapatkan tidak dipergunakan dengan baik. Sisa uang belanja lari untuk belanja baju-baju Atun. Sedangkan anak-anak Atun dibelikan baju saat ada 'uang kaget' saja. Bahkan sepatu anak-anak pun sampai rusak masih juga dipakai. Entah karena agar orang-orang tetap menganggap mereka miskin atau karena Atun lebih mementingkan penampilannya untuk menunjang 'pekerjaannya'.

Uang yang dipegang oleh Joko tentu saja habis dia belikan rokok dan miras. Joko tetap bekerja sebagai kuli ikut pak Tejo. Hasil menjadi kuli dia pakai untuk judi (lagi).

Atun mengetahui semua itu, namun Atun tak pernah melarang suaminya karena Atun merasa kebutuhannya tidak kekurangan.

Hal yang membuat lebih miris lagi, Atun tak segan-segan merayu pak Tejo di hadapan anak-anaknya. Dan pak Tejo pun seperti sudah biasa saja memegang tubuh Atun di depan Joko dan anak-anak. Sungguh tak pantas, ibu macam apa Atun ini? Suami seperti apa Joko ini?

Suatu ketika, Atun mendengar berita mengejutkan dari suaminya bahwa pak Tejo mengalami kecelakaan di tempat kerja. Pak Tejo terjatuh dari lantai 2 saat sedang mengecek pembangunan suatu ruko siang tadi.

"Pak Tejo patah tulang, Tun." kata Joko dengan lesu.

"Trus sekarang dirawat dimana? Separah apa?" Atun merasakan kepanikan yang luar biasa.

"Katanya dibawa ke RS Sardjito, tadi info yang Mas dengar kakinya yang patah, terus tangan atau bahunya tadi retak. Mas kurang tahu." Joko menjelaskan sambil mengangkat bahu.

"Ayo mas kita jenguk pak Tejo!" Atun masih panik.

"Jangan Tun, besok katanya pak Tejo mau operasi. Dan tadi pagi pak Tejo sempat cerita kalau istrinya sudah habis masa kontrak kerjanya dan akan pulang besok. Kemungkinan saat ini pak Tejo sedang ditunggu anaknya dan besok bu Tejo sudah datang. Mas ga mau ada yang curiga." Joko berkata lirih.

Atun dan Joko sama-sama dirundung kegalauan. Joko merasa sumber uangnya tidak ada lagi, sedangkan Atun merasa kehilangan orang yang bisa memanjakan dan memuaskannya.

Sejak kecelakaan itu tak pernah lagi terdengar kabar tentang Pak Tejo karena sudah tidak bekerja lagi sebagai mandor. Joko pun tidak mungkin mencari-cari pak Tejo karena bu Tejo sudah pulang dari Malaysia.

Tak perlu menunggu lama, perekonomian keluarga Joko kembali kacau. Joko yang terlanjur kecanduan minuman keras dan judi tak bisa berhenti seketika.  Atun pun telah terbiasa hidup kecukupan selama 4 tahun ini. Atun merasa hidupnya terpuruk lagi. Sedih dan kecewa yang dia rasakan saat ini. Tak bisa lagi dia minta ini dan itu pada pak Tejo. Tak mungkin pula dia merengek-rengek pada suaminya.

Atun kembali menjalani hidupnya sebagai ibu rumah tangga biasa, meskipun penampilannya masih belum berubah. Joko bekerja semakin keras lagi agar tidak masuk ke lembah hutang seperti dulu.

Namun kesalahan gaya hidup yang mereka jalani kemarin ternyata tidak semudah itu mereka perbaiki. Atun terlanjur gila belanja. Uang santunan desa untuk keluarga miskin yang mereka terima setiap 3 bulan sekali habis dipakai untuk belanja baju Atun dan membeli miras untuk Joko. Jatah santunan untuk anak-anak mereka pun dipakai Joko untuk mencoba peruntungan judi. Sungguh keterlaluan, entah setan apa yang sudah sama-sama merasuki otak mereka. Kebiasaan buruk Joko malah semakin menjadi. Karena Joko merasa hanya dengan minum alkohol dan bermain judi dia akan lupa pada beratnya beban hidupnya.

Lingkaran hutang dan jerat rentenir tak bisa mereka hindari lagi. Bodoh! Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama. Ini bahkan lebih buruk daripada keledai. Jika dahulu mereka lebih banyak berhutang untuk biaya hidup sehari-hari, berbeda dengan sekarang banyak berhutang untuk gaya hidup mereka. Gali lubang tutup lubang menjadi prinsip mereka. Dulu anak yang menjadi alasan pembenaran perbuatan hina mereka, sekarang malah anak yang mereka terlantarkan, hanya memikirkan kebutuhan Atun dan Joko saja.

Belum ada setahun sejak 'lepas' dari pak Tejo, kehidupan Joko dan Atun bisa dibilang sudah sangat ruwet dan semrawut. Rentenir sering datang menagih ke rumah mereka. Seribu alasan mereka pakai agar bisa mengulur waktu lagi. Tak jarang pula mereka pura-pura tidak di rumah saat ada yang datang menagih hutang. Sembunyi, seakan mereka adalah buronan. Begitulah hidup Joko dan Atun dikejar-kejar hutang, namun hal itu ternyata belum cukup untuk menyadarkan mereka akan kesalahan gaya hidup mereka.

**tok....tok.....tok.....**

Minggu pagi pukul 8 ada seseorang yang bertamu ke rumah. Joko mengintip dari celah dinding bambu rumahnya. Khawatir jika yang datang adalah orang suruhan rentenir. Setelah yakin bukan penagih hutang yang datang maka Joko membukakan pintu dengan mata berat karena bangun tidur setelah semalaman mabuk-mabukan di rumah.

"Eh,, Budi.. Apa kabarmu? Sudah 5 tahun kita tak jumpa." Joko kaget sekaligus senang bisa berjumpa dengan teman SD nya dulu.

Dilihatnya penampilan Budi yang seperti orang kantoran. Rapi sekali. Sepertinya Budi telah sukses di perantauan. Tidak sia-sia Budi memutuskan transmigrasi ke Kalimantan 5 tahun lalu, pikir Joko.

"Hai Joko, iya. Lama sekali kita tak bertemu. Kabarku baik, yaaa seperti yang saat ini kamu lihat." ucap Budi sedikit sombong.

"Ayo, mari masuk. Duduk dan ngobrol dulu mumpung kamu sedang pulang kampung." ajak Joko.

Saat sedang asyik ngobrol, datanglah Atun mengantar 2 gelas kopi untuk mereka. Atun dan Budi telah saling mengenal, tentu saja karena mereka teman sepermainan sejak kecil. Atun ikut berbincang-bincang. Sesekali dia takjub dengan penampilan Budi yang sangat keren. Dan Budi pun curi-curi pandang pada Atun, tak menyangka tubuh Atun seseksi itu karena dulu Atun sehari-hari hanya memakai daster gombor-gombor (apa ya bahasanya, pokoknya daster gede yang tidak mengikuti bentuk badan).

"Kamu sejak kapan mudiknya, Bud?" tanya Joko.

"Baru seminggu ini aku datang, kebetulan aku ada kerjaan di Jogja jadi sekalian bisa jenguk orangtua." Budi menjelaskan.

"Owalah, enak sekali kamu sekarang. Masih kerja di perkebunan kelapa sawit ya? Aku dengar berita ini dari bapakmu. Kelihatannya kamu sudah sukses ya sekarang. Sudah kawin belum? Hahahaha..." Joko berkata lalu tertawa lebar.

"Belum ada yang mau sama aku Ko. Hahaha.. " tawa Budi tak kalah lebar.

"Wah, uang kamu utuh ya kalau gitu. Bebas bisa buat apa aja." ujar Joko bersemangat.

"Hahahaha...... Bisa aja kamu Ko." kata Budi

Atun ikut tertawa. Sesekali Atun curi-curi pandang pada Budi. Dan Budi pun sering melirik pada Atun. Atun tersenyum dalam hati, ada desir halus dia rasakan.

Hampir 1 jam mereka larut dalam perbincangan ringan. Yang akhirnya ada suatu perbincangan serius diantara mereka tepat pada tegukan terakhir kopi hitam itu.

Apakah yang akan mereka bicarakan?
Konflik apa lagi yang mereka hadapi?
Tunggu cerita selanjutnya ya yang akan mengaduk emosi kita lagi.

ISTRI YANG DIJUAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang