(Special) Rose pov
✴️✴️✴️
Aku akan segera berusia 27 tahun ini. Mama bilang hampir tidak mempercayai waktu yang berlalu begitu cepat. Anak bungsu yang dikasihi dan dicintainya sudah hampir berkepala tiga.
Tapi memang seperti itulah hidup, 10 tahun dibaca terdengar sangat lama namun bila dijalani akan berlalu begitu saja, bagai hembusan angin dimusim panas, hanya membekas diingatan sebagai memori.
Aku mencapai banyak hal-hal yang tak akan bisa kudapatkan dimanapun selama 2 tahun tinggal tanpa keluarga disini. Pekerjaan tetap, Rose manja yang diubah mandiri, danpula isajangnim, suamiku.
Ada selalu sedikit rasa sesal dari setiap keputusan. Seperti keputusanku yang memilih berpisah dari keluarga demi pencapaian itu. Percayalah, aku yakin untuk kalian yang hidup diperantauan kalian akan memahamiku. Rindu itu sangat rumit dan sulit tak peduli secanggih apapun teknologi saat ini. Makan bersama, bergurau bersama, apapun itu yang mencakup kebersamaan bersama keluarga. Teknologi tak dapat membuat tangan saling menyentuh satu sama lain meski wajah dapat saling bertatap. Bukankah itu lebih menyakitkan? Bukankah itu membuat rindu akan semakin menggebu?
Waktu Ayah bilang tidak bisa berlama-lama menetap di Korea Selatan karena lagi-lagi terbentur jadwal sibuk pekerjaan nya, euforia dalam diriku menyambut hari baru hidup bersama sajangnim seakan runtuh. Sempat terpikir untuk membatalkan saja penerbangan, aku ingin lebih lama melihat mereka namun Disisi lain aku kini seorang istri, wanita yang juga dimiliki oleh suami yang mencintaiku, wanita yang kini harus sepenuhnya patuh hanya pada suamiku yang dengan berani berikrar suci dihadapan pendeta dan seluruh keluargaku.
"Aku akan segera membawamu kesana menemui mereka, segera. Aku berjanji"
Ucapan itu nyatanya membuat hatiku sedikit membaik, jika sajangnim sudah berjanji maka tidak ada yang perlu untuk aku khawatirkan. Aku tidak bisa berlarut-larut dalam sedihku mengesampingkan alasan kami berdua berada di Negara kelahiran Lisa saat ini.
..
Pukul 2 siang, aku keluar dari kamar dengan tawa kecil dibibirku. Aku sempat menatap kedua mata frustasi sajangnim sebelum menutup pintu kamar mencari dimana keberadaan dapur. Demi apapun itu sangat menghibur, dia pasti sangat malu didalam kamar sekarang.
Well, lebih dari itu. Aku menyentuh dadaku, mengatur nafas memburu yang pelan-pelan telah sedikit stabil sambil terus mengambil langkah. Jantungku hampir meletus menatap kemeja yang sedikit kusut dibeberapa bagian oleh ulahnya. Harusnya tidak boleh begini, tapi aku sangat gugup-sangat. Beginikah rasanya bulan madu? Rasanya seperti aku kembali menjadi anak remaja dalam masa puncaknya. Semua yang kulihat hanya tentang cinta, seperti ribuan kupu-kupu berterbangan dalam diriku, sangat menggelikan namun juga mendebarkan. Entahlah aku tidak bisa mendefinisikanya secara spesifik.
Dan untuk pertama kalinya kami meninggalkan perdebatan tentang pekerjaan dimeja makan. Kami berbicara banyak hal, saling melontarkan ejekan dan godaan, saling tarik ulur tentang perhatian. Sajangnim menjadi lebih banyak bicara.
Satu hal yang pasti, sajangnim telah berhasil berubah.
**
Matahari sore sudah separuh tenggelam. Tak ada dari kami berdua yang mau beranjak dari tempat kami tidur dikursi santai depan kolam renang. Sangat damai dan menyenangkan, dibawah langit biru pula dihadapan lautan biru, ditemani hembus angin semilir Thailand. Seluruh tubuhku menikmati mewahnya beristirahat dengan alam tanpa beban derita apapun dipundakku.
Meski pemandangan matahari terbenam terlihat sangat memukau, tak ada yang lebih membahagiakan selain menatap kedua kaki kami saling bersentuhan lurus tanpa alas kaki, merasakan lembut tangan suamiku yang suka rela menjadi bantal diatas kerasnya kursi panjang berbahan dasar kayu.