Empat

2K 126 15
                                    

Terkadang bagi orang yang pernah tersakiti
Untuk percaya terhadap sesuatu itu
Sesulit memindahkan gunung.

*
*
*

Seminggu ini hidup Ayra kembali berjalan seperti pada awal sebelum kejadian malam itu, di Bandung sini Ayra merasa semuanya serba mudah. Jika malas memasak, tukang-tukang apapun berjajar, hanya tinggal pilih saja, Ayra sudah bisa makan. Udaranya yang segar membuatnya lebih banyak berjalan kaki dibanding ojek online, dan itu membuatnya lebih hemat. Dan yang pasti disini, Ayra tidak harus bertemu dengan keluarga Arya.

Ayra merapikan buku-bukunya dan juga kertas ulangan milik murid 10 Mipa 5. Ayra disini mengajar pelajaran Bahasa Indonesia yang langsung saja jadi guru favorite, karena cara mengajarnya yang gampang dicerna, selain itu juga karena Ayra ini baik, tidak pernah marah, Ayra yang ramah membuat siswa laki-laki betah ada didalam kelas, dan juga karena Ayra cantik dan masih muda.

Ia berjalan dikoridor yang mulai ramai karena bel istirahat sudah berbunyi, Ayra tersenyum setiap kali ada yang menyapanya hingga tak fokus pada jalan dan akhirnya menabrak sesuatu hingga yang dipegangnya berjatuhan.

" Maaf Bu.. Saya lagi nunduk tadi" Ucap seorang laki-laki memakai snelli yang Ayra pastikan adalah seorang dokter. Laki-laki itu merapihkan kertas-kertas yang berserakan itu dengan cepat. Lalu memberikannya pada Ayra " Ini Bu.. Sekali lagi maaf ya, saya ga sengaja beneran. Bukan modus loh ini"

Ayra tertawa kecil sambil menerima buku dan kertas-kertasnya " Ahh iyaiyaa gapapa Pak Dokter, saya juga tadi agak meleng."

" Jodoh kali kita Bu hehe" Ucap si dokter laki-laki itu diiringi tawa kecil membuat Ayra tak henti-henti tersenyum. " Eh Bu, bisa sekalian ga anterin saya ke ruang Kepala Sekolah."

Ayra mengangguk lalu bangkit " Mari Pak"

" Eh kita belum kenalan, saya Ridho. Dokter baru di Bandung hehe" Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya, dan tentu saja Ayra langsung menjabatnya seraya menyebutkan namanya.

Ayra dan Ridho berjalan beriringan melewati beberapa koridor kelas yang tak lepas dari tatapan penasaran siswa-siswi disana, Bu Guru Ayra yang cantik berjalan berdua dengan Dokter ganteng. Keduanya berhenti didepan pintu kaca bertuliskan R.Kepala Sekolah, Ayra tersenyum.

" Makasih loh Bu.. Btw Ibu gatau ya kenapa saya kesini?" Ayra menggeleng " Besok katanya bakal ada Kelas Sehat gitu disini, makanya saya dipanggil Kepsek kemari. Tapi besok saya juga bawa temen saya, dia dokter kandungan sih hehe" Jelasnya dan Ayra hanya manggut-manggut mengerti.

Ayra tersenyum " Oke.. Makasih buat infonya, kalau gitu saya permisi dulu. Marii" Ucapnya sopan lalu meninggalkan Ridho yang masih memandanginya didepan pintu ruang kepala sekolah.

" Jantung gue perlu dibedah kayaknya.. " Ucap Ridho sambil memegangi dada kirinya dimana jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia bertabrakan dengan Ayra. Ridho menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, lalu memutuskan untuk membuka pintu kaca itu dan masuk kedalamnya.

Sedangkan Ayra berusaha mengenyahkan manis Ridho dengan menyibukkan diri mengoreksi ulangan murid-murid. Namun.. Ayra gagal, wajah Ridho terlalu manis untuk dilupakan.

" Astaghfirullah Mas Reno Ra.. " Ucapnya setelah melihat handphonenya yang bergetar karena telepon masuk dari Reno. Kenapa Ayra bisa melupakan Reno dan malah mengingat-ngingat senyum dokter Ridho yang menawan.

Sejenak Ayra merasa bebannya lepas setelah mendengar tawa dari orang diseberang sana, 5 tahun bersama Reno membuat hari-harinya lebih terasa berwarna. Walau kadang perdebatan kecil sering terjadi yang berakhir dengan Reno yang mengajaknya makan malam romantis.

A (Antara Arya, Ayra dan Anfal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang