[17]

27 11 0
                                    

Ujian Mid Semester Pertama Sekolah Tinggi Dharma

Tidak, tidak. Aku tidak berbuat curang. Aku hanya ingin mengingat apa yang telah aku pelajari. Aku memang tidak pernah seperti ini, bahkan pelipisku dan pena yang sedari tadi aku genggam sudah basah akan keringat. Sekarang guru sedang membagikan kertas-kertas ujian yang masih aku benci sampai sekarang. Aku tak berani menatap siapapun, aku tak berani menegakkan punggung barang sejenak. Aku sibuk memperbaiki cara bernafasku.

"Waktu mengerjakan 90 menit di mulai dari sekarang. Saya harap tidak ada yang melakukan kecurangan."

Spontan, kelopak mataku tertutup. Suara pikiranku keluar seakan ingin menenangkanku. Aku tidak curang, aku tidak curang, aku tidak curang. Begitu katanya. Tapi, aku memang tidak curang kan. Aku hanya ingin mengingat. Setelah jam pasir itu dijatuhkan. Aku dan teman-teman yang lain mulai mengerjakan soal yang ada di kertas itu.

Seraya menggerakkan alat tulis di tanganku yang disesuaikan dengan bacaan soal. Mulutku tak berhentinya komat kamit kecil melafalkan hafalan yang sudah kubaca tadi. Pelipisku kembali menumpahkan keringat hingga membasahkan seragamku.

Tiga soal telah berlalu aku kerjakan. Seperempat pasir-pasir telah terjun bebas kebawah, menumpuk jadi satu kesatuan. Aku menggenggam erat alat tulis di dalam kenggamanku, seakan-akan bila lengah sedikit, alat tulisku akan menghilang.

Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit aku melonggarkan genggamanku pada alat tulis itu. Catatan kecil yang sempat aku sematkan pada alat tulisku mulai dapat dibaca. Aku melakukan itu karena aku tidak dapat mengingat materiku dengan baik dan kebetulan sekali, setengah dari jumlah soal merupakan materi yang sudah kutulis di sini.

Maafkan aku. Sekali ini saja, untuk ujian kali ini. Aku harus benar-benar bisa menjadi yang pertama. Pasalnya anak baru bernama Askala bukanlah orang sembarangan. Ia anak yang pernah merebut peringkatku saat sekolah dasar yang membuat aku harus pindah sekolah dan rumah. Kali ini, aku tidak mau hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Aku tidak mau pindah dari sini dan meninggalkan Gerhana.

"Sisa waktu 55 menit lagi. Aku harap kalian mengerjakannya dengan baik tanpa niat curang sekalipun."

Ucapan Wali kelas seram itu hampir saja membuat jantungku berhenti. Aku meremas alat tulis yang ku genggam erat-erat dan menarik nafas dengan berat. Lagi-lagi pelipisku menjatuhkan bulir keringat lumayan banyak. Aku menarik kertas jawaban dan mengisinya dengan pelan-pelan.

*

"Zenith Meridian. Tolong setelah ini kamu ke ruangan bapak sebentar."

Kepalaku mengangguk secara otomatis dan meringis pasrah dengan apa yang terjadi padaku hari ini. Kursi yang aku duduki tiba-tiba saja bergerak karena tendangan dari belakang. Aku menoleh, wajah Gerhana sudah ditekuk seraya menatapku.

"Maaf Hana, aku tadi tidak terlalu fokus hingga tidak mendengarmu memanggilku. Ada apa?"

Ia menegakkan punggungnya dan dalam waktu sekejap, aura wajahnya telah berubah. "Kamu nggak apa-apa, Zi?"

Aku terkekeh pelan, "Aku baik-baik saja. Lihat, aku sehat tubuhku kuat."

Ia tertawa masih dengan cara tertawa beberapa tahun yang lalu. Matanya yang indah pun ikut tertawa. "Aku serius Zi. Kalau kamu kenapa-napa, kasih tau aku, ya."

Aku menarik sudut bibirku keatas membentuk sebuah senyuman untuknya. Semoga terlihat senatural mungkin, "Siap tuan putri," maaf Gerhana, aku bukannya tidak ingin memberitahumu. Aku hanya tidak ingin membuat kamu khawatir hanya karena masalahku.

"Oh iya, Gerhana. Aku ke ruangan Pak Emit dulu ya. Baik-baik di sini. Bentar lagi pulang, kamu langsung pulang oke. Denger-denger, makan siang kita hari ini lebih enak dari kemarin loh."

"Serius? Wah, makanan. Oke Zi. Kamu hati-hati ya."

Aku berdiri dan berjalan mendekati meja Gerhana untuk aku elus rambutnya tapi malah terkesan berantakan sedang ia hanya mencabik bibirnya kesal tanpa melarangku. Gerhana yang lucu, "Dah, Gerhana."

*

Sepanjang lorong kelas yang aku lewati ini sedikit berdebu dan tetap saja terkesan seram dan tak terawat, tapi katanya walaupun dibersihkan sebagaimana pun, kondisinya akan tetap seperti ini.

Beberapa kali aku tidak fokus melangkahkan kaki ku dalam kesunyian lorong-lorong panjang seperti ada saja yang mengamati langkah-langkahku. Aku memperhatikan sedikit bangunan-bangunan tua ini seolah-olah kalau tidak diamati, aku akan melupakannya. Walaupun begitu, jauh di dalam hati, aku selalu was-was apa yang terjadi sehingga Pak Emit memanggilku. Apa aku sudah ketahuan?

"Huufftt!" Aku menghirup oksigen kemudian membuangnya dengan kasar, berharap kegugupanku hilang bersatu dengan udara. Tepat di depanku, pintu berbahan pokok kayu berdiri kokoh seolah tak ingin disentuh. Aku memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tidak lama, seseorang keluar dari sana dengan air wajah yang tak mengenakan.

"Kau langsung masuk saja ke dalam. Pak Emit sudah menunggu mu sedari tadi."

"Ah, terimakasih." Aku tidak terlalu memusingkan siswa yang tadi keluar yang telah menyuruhku masuk itu. Karena, aku langsung saja masuk dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kursi Pak Emit.

"Ah, Zenith Meridian. Sang juara pertama di tahun kesatu."

"I-iya," jawabku terkesan kikuk.

"Apa itu kau benar-benar seorang Zenith Meridian? Apa itu benar kamu?"

Pertanyaan darinya membuat alisku bersatu dan memutar otakku lebih keras menemukan makna dari pertanyaannya. "Maksudnya?"

Ia tertawa, "Hahaha, aku hanya bercanda. Jangan terlalu dipaksakan untuk berpikir. Tapi, apa kau tahu kenapa kau dipanggil ke sini?"

Tentunya aku tidak tahu, bahkan sudah sedari tadi aku bertanya-tanya sendiri tanpa jawaban. Hanya saja, yang aku dapatkan bukanlah jawaban tapi pertanyaan. Apakah aku sudah ketahuan?

"Zenith, Ibu mu kemarin meneleponku prihal ujian kali ini. Sepertinya kau harus ekstra lebih rajin dari tahun lalu karena Ibumu sampai meneleponku seperti ini."

Aku hanya diam membeku tak berani menatap atau hanya bergerak barang sedikit pun. Padahal tulang ekorku sudah agak pegal karena duduk tanpa bergerak.

"Tapi...," suara Pak Emit menggantung di udara sunyi yang tak ada sejuk-sejuknya itu memaksaku untuk menaikkan pandanganku kearahnya. Sebuah pena yang sempat aku gunakan tadi pagi saat ujian kini beralih dalam genggamannya.

"...kejahatan tetaplah kejahatan bukan?!"

Pupilku membesar, tanganku sibuk merogoh kantong baju dan jas sekolahku mencari pena tersebut. Nihil, padahal otakku juga ikut berputar mengingat tetapi tetap saja ingatanku berkata ada di kantong saku kameja di dalam jasku. Tapi tetap saja tak ada. Semua kantong yang melekat di diriku sudah ku periksa.

"Pak? Bagaimana?" Ia menyodorkanku pena tersebut yang masih tertempel beberapa materi yang tidak bisa aku ingat praujian hari ini.

"Kau tahu akibat dari perbuatan tak terpuji ini?"

Aku menatapnya lamat-lamat, ia tersenyum menyeringai dengan tatapan yang tak lepas dari pupil mataku. Aku menggerakkan kepalaku kaku. "Pengurangan poin 50."

"Kalau kau tahu? Mengapa kau melakukannya?"

Tenggorokanku yang kering ku basahi dengan saliva agar suaraku keluar dengan baik. "Ma-maaf Pak. Saya takut dengan Ibu saya," ucapku sambil meringis.

Ia bergumam lalu menatapku lagi. "Hanya ada satu cara agar kau tidak dapat pengurangan poin."

Jantungku seolah berhenti sebentar. Perasaanku yang sudah tidak enak dari awal bertambah buruk. Bulir-bulir keringat yang sudah siap terjun kini seakan membeku. Pupil mataku membesar dan tenggorokanku yang ingin bertanya tak mengeluarkan suara apapun dari sana. Hanya terdengar suara nafasku dan dentingan jam yang berbunyi setiap sekonnya.

"Ujianlah ulang di depanku. Saat ini juga."







**

Maaf atas hiatus yang cukup lama ㅠㅠ

Nurfa ❤️

LABIRIN WAKTU | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang