|02|

101 20 0
                                    

Sepertinya dugaanku akan benar, selama setahun mendatang kehidupan sekolahku akan menjadi lebih sulit, sesulit mendekati Askala. Rasanya ingin kabur saat ini juga saat mataku tak sengaja tertangkap radar penglihatannya. Pasalnya, ia menatapku dengan tatapan remeh sesaat setelah mengambil jadwal pelajaran baru di ruang wali kelas.

“Karena kau ketua kelas, aku harap kau tidak melibatkanku,” ucapnya hampir berbisik.

Keningku berkerut tidak mengerti kemauannya. “Tapi, ini karena-”

“Aku tahu. Tapi aku tidak punya waktu. Aku tidak percaya padamu sebagai ketua kelas.”

Kesal, satu emosi yang menyelimutiku sekarang. Memotong pembicaraan dan berbicara seenaknya adalah sikap yang tidak aku sukai. “Itu kan bukan salahku! Aku juga bukannya mau menjadi ketua kelas atau apapun.”

Hening, ia menghembuskan nafasnya pelan dan menatapku kembali, “Aku tahu tapi aku tidak peduli,” katanya langsung meninggalkanku sendiri memasuki kelas.

Aku menarik nafas berat, aku kira aku bisa berteman dan bekerjasama dengan baik dengannya. Apalagi dia siswa baru, harusnya dia bisa mencari teman dengan berperilaku lebih baik.

Kini aku berdiri kikuk di depan kelas setelah menempelkan selembar kertas yang telah diberikan oleh Pak Emit. Aku berbicara dengan datar dan pelan. Itu bukan salahku, maksudnya suaraku memang tergolong kecil untuk berbicara di depan umum dan lagi, aku tidak pandai berbicara di khalayak ramai.

“Mm, teman-teman. Kata Pak Emit, setelah makan siang semuanya boleh balik ke asrama.”

Jelas tak ada yang mendengar, suaraku terendam dalam lautan kebisingan yang tercipta di kelas ini. Namun, berkat Zenith yang membantuku mengheningkan kelas suaraku terdengar setelah aku mengulangi kalimatku.

Terimakasih, Zi! 

*

Rasanya hari ini berat sekali, seperti matahari yang enggan memberikan cahayanya sedikit padaku. Kakiku saja rasanya malas hanya sekedar melangkah di tengah-tengah kerumunan manusia yang ingin pulang ke asrama.

Namun, ada bayangan hitam tak sengaja tertangkap oleh ekor mataku. Memang hanya sekilas, tapi rasa ingin tahuku membuat langkahku mengikuti arah bayangan tadi dengan cepat. Terlihat punggung seseorang tergesa-gesa menuju tangga bawah tanah.

Laki-laki itu masih tidak menyadari keberadaanku, aku mengikutinya sampai ia berdiri di depan sebuah pintu hitam yang terlihat rapuh dengan berbagai tanaman liar menutupinya. Siapapun yang melihatnya tahu bahwa tempat itu seperti ruangan bekas tak pernah digunakan. Sebuah papan di samping pintu tertulis jelas dengan kalimat ‘dilarang buka’, tapi tangannya seakan menolak fakta tersebut. Jari-jari kanannya terayun hampir meraih gawang pintu tersebut.

“Hei, jangan buka!” Ia terkejut sontak berbalik melihat keberadaanku. Namun, sepertinya aku yang lebih terkejut melihat siapa pemilik punggung itu.

“Askala, kamu ngapain disini. Lebih baik kita pergi dari sini secepatnya,” ucapku mendekatinya perlahan untuk membawanya bersamaku pergi dari sini.Tempat ini terlihat sangat mencurigakan.

Aku menarik lengannya untuk menjejaki tangga, tapi ia bergeming tak mau mengikuti. Sebelum aku berkata lagi untuk mengancamnya apabila tak menuruti, ia malah berlari lebih dulu melewatiku begitu saja.

Sialan!

“Askala!” Mau tidak mau aku ikut berlari mengejarnya karena aku masih butuh penjelasan tentang semua kejadian yang janggal ini. Lorong-lorong kelas kini hening mengeluarkan suara langkah kakiku yang beradu dengan lantai. Sedangkan Askala, sudah tidak terlihat lagi jejaknya.

“Kemana sih anak itu, cepat sekali larinya,” kataku bingung, aku memutuskan untuk berhenti mengejar Askala, berputar haluan untuk kembali ke asrama. Besok aku masih bisa bertemu dengannya lagi kan.

“Ketua kelas!” teriakan seseorang yang bergema di tempat sunyi seperti ini membuat tubuhku tersentak. Kuredam detak jantungku yang melampaui batas normal dan berbalik menghadap gadis itu.

“Ah, maaf.”

Aku hanya menyunggingkan senyuman kecil padanya, “Ada apa?” Aku tidak tahu namanya tapi sepertinya siswa di kelas yang sama denganku.

Ia hanya menggelengkan kepalanya, ”Aku hanya tak sengaja melihatmu dari jauh. Mengapa kau baru sampai di sini?”

Kalau dia bertanya seperti itu, aku pun bisa bertanya balik. Maksudku, lihatlah dia juga baru sampai sini bukan. Gedung sekolah sudah benar-benar sepi sedari tadi, bahkan mungkin hanya tinggal kita berdua di sini.

“Mm, hanya ada sesuatu yang perlu aku lakukan,” ucapku tidak sepenuhnya jujur. Tidak mungkin aku memberitahu bahwa aku sudah mengikuti seseorang tadi.

“Kalau begitu, ayo kembali ke asrama,” ajaknya kubalas dengan anggukan tanda setuju. Aku belum mengenal semua teman-teman kelasku, karena tidak semua berasal dari kelas yang sama. Teman di kelas sebelumnya pun aku tidak banyak bergaul, hanya dengan Zenith.

Aku ingin bertanya, sebelum mataku menangkap seseorang yang menatap tajam ke arahku dari jendela asrama laki-laki. Memang tidak jelas, setelah memicingkan mata, hanya satu manusia yang ada di benakku.

“Askala?”


Jangan lupa vote dan komentarnya yah. Mari mendukung cerita ini agar kita bisa mengenal lagi lebih dekat dengan Askala. Ehe!

Nurfa ❤️

End'19:0523
Rev'23:1110

LABIRIN WAKTU | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang