[03]

90 20 0
                                    

Perjalanan masa terlihat sangat cepat berlalu. Mentari kini telah meninggi tanpa malu menandakan hari benar-benar telah berganti. Hanya saja, awan tebal akhir-akhir ini senang sekali menghiasi langit tanpa berbelas kasih dengan matahari yang ingin membagikan cahayanya.

“Proses perkenalan akan segera dimulai. Dimohon semuanya berbaris sesuai tingkatan kelas masing-masing!” teriak Tera, teman kelasku yang menjabat sebagai wakil kedisiplinan sekolah.

Akan aku akui bahwa ia merupakan gadis cantik dan manis apabila wajah dinginnya itu bisa berubah menjadi hangat. Tubuhnya ideal, rambutnya panjang ikal kecoklatan, dan kulitnya halus dengan warna coklat cerah. Ciri-ciri yang sangat khas untuk penghuni kota barat. Akan tetapi, aku dengar sifatnya dulu sangat Manis berbeda dengan sekarang.

Bentakan suara Tera kembali memenuhi euforia tanpa sedikit pun melewati pendengaran manusia-manusia di sana. “Kalian semua push up!”

Semua siswa tahun pertama tentu saja terkejut karena baru mengetahui seberapa kejam anggota kedisiplinan sekolah ini. Mengumpulkan kami semua di aula seperti ini saja sudah membuktikan kekuatan yang mereka miliki. Terutama kelas satu, akan banyak tingkah laku yang dipermasalahkan oleh anggota mereka. Kami sebagai siswa tahun kedua pun sudah pernah diperlakukan seperti itu.

Kini terdengar hembusan nafas kasar karena tidak ada yang berani membantah. Tubuh mereka seakan terhipnotis terus melakukan perintah Tera Dan anggota lainnya.

“Kalian tahu salah kalian apa?!” cercah Tera kasar, sambil menikmati pemandangan di depan matanya, ia lanjut menarik nafas untuk bersuara kembali. “Kalian terlalu manja! Mulai sekarang, di tempat ini, semua harus bisa mandiri ataupun sendiri. Lihat semua kakak tingkah kalian yang berhasil tanpa manja seperti kalian. Sekarang semuanya berdiri dan kembali ke kelas masing-masing!”

Seperti yang telah aku katakan bukan, seperti itulah. Dikumpulkan tanpa sebab yang jelas, begitu puas, mereka membubarkan kita begitu saja.

Kini langkahku yang sempit beradu dengan jejak-jejak siswa lainnya bersama dengan lontaran kekesalan berkat kejadian tadi. Pasalnya, mereka benar-benar baru merasakan hari kedua mereka masuk sekolah baru. Namun, aku tidak perlu memikirkannya kan.

Saat aku dengan isi kepalaku berargumen asik, sebuah punggung yang tidak asing mengingatkanku perihal kemarin. Keingintahuanku kini menjadi topik utama dalam otakku. Akan tetapi, ramainya orang membuat tubuhku sulit untuk menggapai Askala yang sudah berada di depan sana. Walaupun aku ingin bertanya padanya, tapi aku harus menyerah untuk saat ini. Lagipula, aku satu kelas dengan ya.

“Gerhana! Aku panggil-panggil kok gak dengar?”

Tanpa perlu mencari tahu siapa pemilik sumber suara, aku hanya protes pada hal yang sama. “Aluna, Zi!”

“Gerhana kan juga nama kamu,” tutur Zenith tidak mau kalah. Sebenarnya tidak apa ia memanggil dengan nama itu, hanya saja di sekolah ini terkesan aneh.

Tapi, mau bagaimana lagi. Zenith tidak akan mau kalah kalau sudah berargumen seperti ini. Aku hanya memutar mataku jengah, “tapi aku maunya dipanggil Aluna.”

Ia menyunggingkan senyuman menampilkan giginya yang berderet rapi dan bersih. “Ya sudah, biar aku saja yang memanggilmu Gerhana. Agar tak ada yang sama dengan aku,” ucapnya dengan keyakinan hampir menyentuh rambutku yang dengan susah diluruskan.

Namun, gelenganku tidak diindahkan. Ia masuk begitu saja menuju bangkunya meninggalkan aku di depan kelas dengan rambut yang sudah rusak. Ah, dia benar-benar menyebalkan dan semakin mengesalkan rasanya. Kucoba berbalik sambil merapikan kembali rambutku seadanya mencoba menjadikan sela-sela jariku sebagai sisir.

“Aduh!”

Tiba-tiba saja, tubuh tegap milik Askala berada di depanku tanpa bersuara. Entahlah, ada apa dengan orang ini yang selalu saja muncul secara misterius. Bukannya tadi ia sudah berjalan jauh di depanku, kenapa sekarang ia berada di depanku. Tatapanku sudah tidak bisa aku kontrol, segera kutinggalkan dia dan kududuki bangkuku dengan tenang. 

Namun, bayangan Askala malah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang harus aku selesaikan sekarang dengannya.

“Askala, aku ingin bertanya sesuatu padamu,” tanyaku sedikit berbisik di hadapannya saat ia sudah berada di mejanya dengan santai. Tentu saja, aku tidak digubris sama sekali. 

“Askala! Ke-kemarin, kamu ngapain ke tangga bawah tangga?”

Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdenyut lebih cepat rasanya, tepat setelah ia kini menatapku sepenuhnya dengan kening yang berkerut. “Maksudnya?”

Ah, aku jadi meragukan ingatanku. “Kemarin. Bawah tanah. Kamu kan yang ke sana?”

Ia tersenyum singkat sampai membuat matanya menyipit, sepersekian detik, wajahnya kembali datar meremehkan. “Semenjak jadi ketua kelas, sepertinya kamu tidak pernah memperhatikan sekitarmu dengan baik.”

"Hah?"

"Kalau kau bertanya apakah benar aku yang melihatmu dari jendela asrama, maka jawaban iya."

"Ja-jadi yang di asrama itu kamu."

"Iya. Dan pertanyaan yang pertama, aku tidak tahu. Apa gara-gara itu kamu telat sampai ke asramamu? Sebaiknya perhatikan sekitarmu."

"HEI! TAPI AKU BENERAN LIHAT KAMU DI SA-na," tanpa sengaja aku membesarkan volume suaraku hingga membuat diriku sendiri jadi pusat perhatian di kelas. Mendengar bel yang tiba-tiba berbunyi membuatku cepat-cepat ke pergi ke bangku ku.

Tak lama, suara sepatu yang beradu dengan lantai kembali terdengar serta gesekan pintu membuat kami diam sesaat memastikan siapa yang masuk. Seorang laki-laki dengan baju seperti kimono masuk serta membawa tas kecil mirip koper. Ia tersenyum melihat kami dan berjalan menuju mejanya. Aku pun memerintahkan teman-teman yang lain untuk berdiri dan mengucapkan salam.

"Halo anak-anak. Selamat datang di kelas dua ruang dua. Saya Perhan selaku guru pertahanan tingkat dua yang akan kita pahami bersama. Hari ini kita tidak langsung belajar, tapi bapak akan memperkenalkan beberapa alat pertahanan diri."

Pelajaran alat pertahanan diri merupakan pelajaran wajib di setiap sekolah. Karena konon katanya, akan ada perang besar menunggu distrik kami. Dan semua kota -dari kota Timur, Barat, Selatan, Utara- harus bisa memahami pelajaran ini.

Ini bukanlah pelajaran yang membosankan, lihat saja antusias di kelasku. Apalagi Zenith yang menyukai hampir semua alat pertahanan diri yang telah di bawa. Ada tombak, perisai, kipas, pedang, dan sebagainya.

Tapi entah kenapa pandanganku membawaku ke arah lain. Ke luar jendela, dari sana aku bisa melihat lapangan yang di kelilingi oleh bangunan tua itu. Sepi karena masih jam pelajaran, tapi di tengah-tengah lapangan. Aku melihat seseorang yang sedang berlari. Sosok yang ku kenal. Sosok yang lagi- lagi membuatku kebingungan.

Aku melihat ke arah bangku Askala. Ia sedang mempraktikan sejumlah alat pertahanan diri di sana dengan Zenith. Mungkin kesukaan mereka sama. Tapi aku kembali memperhatikan seseorang di lapangan. Dan Askala. Secara bergantian.

Mereka mirip. Apa mereka satu orang? Tidak mungkin. Askala ada di sini. Siapa yang mirip Askala itu? Apa berarti yang kemarin aku temui itu, seseorang yang mirip dengan Askala?


Jangan lupa vote dan komentarnya yah. Mari mendukung cerita ini agar kembaranku -eh- kembaran Askala terungkap.

Nurfa ❤️

End'19:0524
Rev'24:0201

LABIRIN WAKTU | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang