[22]

27 9 2
                                    

Ragel Athalantis
.

Hal yang membuatku masih kepikiran sampai sekarang adalah kekhawatirannya. Sedikit aneh memang untuk dipikirkan. Seorang Askala yang bahkan sudah lama tidak pernah melirik ku serta sifatnya yang dingin tiba-tiba mengkhawatirkan ku malah membuatku berpikir itu sedikit membuatku merinding.

Kita memang sudah bersaudara. Dari kecil kita selalu bermain bersama. Dia emang sedikit aneh, dingin kayak patung, dan hemat berbicara. Tetapi yang paling mengesalkan yang ada pada dirinya adalah ia tidak mau membuang waktunya. Hah, padahal masih kecil tapi sudah berlagak sok dewasa. Aku dengan dia sangat berbeda. Kalau aku bisa memberi tahu semua orang tentang kondisiku. Kalau dia, aku bertaruh dirinya sendiri pun tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Terlalu tertutup hingga menjadi beban buat sendiri.

Namun, sedikit cerita indah begitu saja sirna menjadi cerita buruk. Hanya karena satu peristiwa yang mungkin sudah terlalu melekat dalam ingatan sehingga untuk melupakan barang sedetik saja rasanya sangat sulit. Aku tidak tahu faktor apa sebenarnya yang terjadi, karena saat itu aku masih kecil. Masih tidak mengerti apa-apa. Walaupun aku mendengar teriakan Ayah pada Ibu.

"Sudah aku bilang kan kita gak bisa sama-sama! Tetua sudah melarang, kamu Selatan dan aku Timur. Lihat mata Ragel yang berbeda dengan Askala. Ragel anak kamu dan Askala anak aku."

Terdengar suara isak tangis Ibu semakin membesar tak tertahan. "Emit! Kau yang mau pernikahan kita melanggar adat."

"Diam!" Bentak Ayah, "Sekarang kamu pulang bersama anakmu ke asalmu."

"Emit! Mereka saudara! Kamu gak bisa pisahkan mereka seperti ini!"

Plaakkk, satu pukulan mendarat dengan halus di pipi Ibu. Aku ikut memejamkan mata dibalik pintu bersama Askala. Ibu hanya menangis tak sanggup membalas. "Kau mau keluarga kita dikutuk lagi, hah!"

"Baiklah, Emit! Kau memang sudah berubah! Aku akan bawa Ragel bersamaku. Aku harap kau mengasuh Askala dengan baik."

Ibu menarik tanganku, memisahkan ku dengan Askala. Aku tidak mau karena aku tahu aku akan pisah dengan Askala. Sedangkan ia tidak menangis tetapi memeluk Ibu dengan erat. "Ibu hanya pergi sebentar kan?" tanyanya dengan hampir berbisik.

"Iya Kala, Ibu pergi sebentar dengan Ragel. Janji akan menemui Askala lagi. Baik-baik ya dengan Ayah sampai ketemu Ibu." Ia mengangguk pelan sambil tersenyum polos. Aku ingin mengutuk kepolosannya meng-iya-kan bahwa mungkin kata sebentar itu waktu yang cukup lama.

Aku dan dia benar-benar berpisah dengan waktu yang cukup lama. Aku menjadi rakyat kota Selatan seutuhnya dengan ciri-ciri yang memang cukup kuat tertanam dalam fisikku. Aku tidak bisa sembarangan menuju kota Timur apalagi pusat kotanya karena tidak boleh sembarang orang bisa menyebrangi kota tanpa alasan tertentu. Walaupun akhir-akhir ini keamanannya sudah mulai melonggar. Ibu hidup bersama dengan keluarga lain dan anaknya yang bernama Rima menjadi saudara tiriku.

*

Setelah cukup umur, Aku memutuskan untuk bersekolah di Sekolah Tinggi Dharma, dan entah aku harus menyebut takdir ini dalam bentuk apa, aku bertemu dengan Ayah. Seseorang yang mengusir aku dan Ibu untuk pulang. Tak ada sapaan hangat yang terjadi. Seperti bukan seorang Ayah. Bukan hanya itu, banyak sekali hal aneh yang tiba-tiba saja terjadi di sekolah ini. Salah satunya hilangnya Kak Rima secara misterius tanpa diketahui oleh siapapun.

"Pak! Maksud aku Ayah. Ah, apa aku masih berhak memanggil mu begitu. Sepertinya aku harus memanggilmu seorang guru." Tidak ada reaksi yang terjadi pada raut wajahnya. Ia hanya tertunduk dengan pena dan buku dengan wajah polos tak mengerti apa-apa yang kemudian menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di depannya.

"Ada apa Ragel?" Bahkan Ayah menanyaiku dengan nada yang dingin.

"Apa kau tidak merasakan bahwa ada yang aneh di sekolah ini?"

Ia menatapku dengan seringaian yang tak pernah aku lihat sebelumnya. "Tidak ada yang aneh di sekolah ini. Semua terlihat baik-baik saja. Sepertinya kau hanya perlu menonton pertunjukan ini dengan baik."

Aku menyerengit bingung, semua yang ia katakan terdengar ambigu di telingaku. Apa maksudnya? Otakku merespon dengan cepat diikuti dengan mataku membulat sempurna. "Di mana kau sembunyikan!?"

Ia tertawa, benar-benar tertawa dengan nada yang terdengar ngeri mencengkamkan. Seluruh ruang ini dipenuhi oleh tawaan Pak Emit seakan menggema di mana-mana. "Ragel, Ragel. Aku tidak menyembunyikan mereka. Mereka yang mau hilang, mereka yang mau menembus perbuatan mereka. Yang perlu disalahkan di sini adalah diri mereka sendiri karena tidak ada pihak yang bersalah di sini."

"PAK EMIT! Jangan main-main. Pasti dibelakang semua ini kau lah dalangnya! Sama seperti saat kau mengusir Ibu dan aku hanya karena dirimu sendiri yang tidak mau bertanggungjawab!" Bibirku bergetar setelah mengatakan ini. Aku sudah pasrah apabila aku hilang setelah ini, entah hilang karena diculik atau dibunuh bisa juga dibuang.

"Kau memang anakku yang lebih pemberani. Oke. Kalau kau bisa mengingat siapa saja yang menghilang, aku akan tunjukkan kau jalan."

Aku menyerengit kembali, menunjukkan ke jalan mana? Jalan tempat mereka di culik? Jadi, Kak Rima hilang karena di culik oleh Ayah kandungku sendiri! Tanpa berlama lagi untuk berpikir, aku mengangguk kepalaku dengan yakin. Mungkin bukan hanya Kak Rima, orang-orang hilang lain pun bisa aku selamatkan.

"Tapi bila kau tidak berhasil. Maka kau akan bernasib sama dengan mereka," ucapnya kemudian dengan senyuman khas dirinya yang menakutkan sebagai penutupan darinya.

"Lalu, bagaimana?" Askala kembali bertanya setelah mendengar cerita dariku. Terlalu banyak yang terlibat dalam kasus ini.

Aku hanya menaiki bahuku mencoba untuk tetap tenang agar terlihat cool di mata Askala, "yah, bagaimana lagi. Aku harus cari semua orang yang hilang di sekolah ini. Sedangkan orang-orang tidak ada yang ingat, bahkan satu kenangan pun dari orang itu."

Askala terlihat sedang berpikir, kemudian bergumam "Sebenarnya ini masalah apa."

"Entah! Aku harus ambil resiko agar tahu apa yang terjadi," Kataku.

"Kalau gitu, aku juga."

Aku menoleh kehadapannya. Ia menyuarakan pendapatnya dengan sungguh-sungguh, yah mau bagaimana lagi kalau orangnya sudah bersungguh-sungguh begitu. "Oke! Mari tuntaskan masalah ini bersama."


.

.

.

.

.

.


Semoga waktu berpihak pada mereka. Dan menemukan apa yang sebenarnya terjadi :3

LABIRIN WAKTU | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang