[21]

26 11 0
                                    

Belaian suasana membingungkan kian tertanam erat dalam otak gadis itu. Tak tau apa yang harus ia pikirkan. Rentetan bak memori yang samar terus menerus berulang dengan hitam putih tak berwarna.

"Eh, ini?!"

Askala memutar kepalanya untuk menengok apa yang sedang dibicarakan gadis itu. "Ada apa?"

Gadis itu menyodorkan sesuatu, kertas yang berisikan nama-nama seseorang di dalam amplop bertuliskan ruangan 2-1. "Lihat?! Dari semua siswa di kelas 2-1, kenapa nama Ragel Athalantis dibundar merah?"

Laki-laki itu sedikit tersentak ketika telinganya menangkap nama yang sangat tidak asing. Askala menerima amplop berisikan kertas yang di maksud Aluna dan memeriksanya bahwa pendengarannya tidak salah.

"Apa maksudnya?!" Benar. Nomor absen 17 dibundari tinta merah dengan nama Ragel Athalantis.

"Ragel Athalantis itu, L kan," Askala mengangguk tanpa menyahuti. Ah, teka teki seperti ini memang menyenangkan untuk dibaca dalam novel, tetapi membayangkan hal ini terjadi dalam kehidupan asli Askala tidak pernah ia duga akan terjadi.

Sebenarnya Askala tidak mau jauh-jauh ikut mencampuri hal ini. Tetapi, Askala wakil ketua kelas yang secara tidak langsung harus bertanggung jawab atas kehilangan temannya. Dan juga yang lebih parahnya, wali kelasnya. Karena Pak Emit menjadi wali kelasnya. Dalam hati, Askala berkali-kali melafalkan kata maaf kepada gadis itu.

Tiba-tiba suara pintu di buka dari luar berbunyi keras. Refleks Askala menarik lengan gadis itu untuk menunduk dan bersembunyi di bawah meja Pak Emit. Suara jantung mereka seakan berlomba siapa cepat dia menang. Telapak tangan Askala menutup mulut gadis itu agar tak bersuara. Hembusan nafas mereka secara alami berbaur dengan udara.

"Emit, cepat! Sebentar lagi Ketua sekolah akan memulai rapat ini."

"Tentu saja. Saya hanya menaruh berkas ini di atas meja, Perhan. Sudah saya periksa," balas Pak Emit kepada lawan bicaranya yang ternyata Pak Perhan. Benar yang dikatakan Wali kelasnya, ia hanya menaruh suatu kertas dan menutup pintu kembali dengan rapat meninggalkan mereka berdua masih dengan posisi yang sama. Tetapi, mereka tidak sadar bahwa ada semacam senyuman licik yang terhias di bibir Wali kelas mereka.

"Seperti Pak Emit sudah keluar." Lama Askala menunggu sahutan dari Aluna, ia pun menoleh ke arah samping kanannya.

"Ma-maaf Aluna!" Dengan bodohnya ia melupakan Aluna yang masih ia bekap dengan telapak tangannya sendiri. Begitupun jarak yang tercipta terlalu dekat.

Aluna menggeleng menghilangkan kegugupan yang tiba-tiba hadir. "Ah tidak apa-apa tidak apa-apa. Haha, mm. Gimana apakah sudah menemukan absen kelas kita?" Katanya dibuat senatural mungkin.

Askala yang masih sedikit kikuk serta malu tersebut hanya cengar cengir melihat Aluna yang begitu lucu dengan pipinya yang memerah pudar.

"Wah lihat! Apakah ini absen kelas 2-2?"

Laki-laki itu ikut melihat apa yang ditunjuk Aluna. Sebuah kertas yang baru saja diletakkan empunya menjadi incaran untuk dipikirkan. Kelas 2-2 menjadi headline dari kertas tersebut. Tidak salah lagi, mereka berhasil menemukan absen kelas mereka.

Tidak usah mencari dengan teliti dan lama. Sekali lihat pun kau akan tahu, tinta merah akan terlihat menonjol dari yang lainnya.

"Rearin Harmonika. Zenith Meridian," ucap Aluna membaca nama dengan nomor absen terlingkar noda merah sepeti milik Ragel sebelumnya. Hanya yang membedakan, ada tanda silang di akhiran nama mereka.

"Jadi, Rearin Harmonika di bangku kanan dan Zenith Meridian yang ada di bangku depan kamu, kan?" pikir Askala yang lagi-lagi tak membantu mengingatkan apa-apa.

"Yah. Harusnya seperti itu. Tetapi, coba kamu lihat. Namaku. Namamu. Dilingkar dengan tinta merah beberapa kali seperti milik Ragel. Sebenarnya apa maksudnya?"

Askala kemudian mengambil alih dari kertas itu, ia membaca dengan teliti dan mencoba berpikir keras maksud dari tinta merah itu. Apa yang selama ini disembunyikan Pak Emit? Tinta merah yang mengotori absen maksudnya apa? Dan juga, noda merah dengan tanda silang setelah nama orang hilang itu benar-benar tak bisa diingat. Jumlah kelas mereka memang benar 25. Tapi untuk dua orang itu, Askala maupun Aluna sama sekali tak bisa mengingatnya.

*

Terlihat siswa ruangan 2-2 yang terus mondar-mandir di depan kelas 2-1. Seperti hendak mencari seseorang, tetapi ego nya terlalu tinggi untuk mengakui kalau dirinya khawatir. Ia terus merasa tidak enak hanya untuk memanggil namanya saja.

"Woi! Cari siapa sih?"

Askala tentu terlonjak kaget tiba-tiba dari belakang ada seseorang menepuk pundaknya. Seperti biasa, ego nya masih memenangkan jiwanya. Ia melenggang pergi begitu saja.

Raut kebingungan milik Ragel tercetak jelas di permukaan wajahnya.

Namun hal yang tak terduga terjadi, Askala berhasil memecahkan ego nya dan putar balik memenangkan jiwanya. Masih dengan raut kebingungan, Ragel menunggu ia yang akan dihampiri. Tanpa basa-basi, Askala langsung menarik Ragel ke tempat sepi dan langsung saja bertanya hal yang membuatnya khawatir sedari tadi.

"Ada sesuatu apa yang terjadi kamu dengan Pak Emit?"

"Heeh, tumben sekali menanyakan hal seperti itu. Memangnya hal itu penting? Bukannya hanya akan membuang waktumu yang sangat sangat berharga itu ya."

Bukan Askala namanya apabila ia terpancing emosi hanya karena lawan bicaranya tak memberikan jawaban yang memuaskan.

"Kamu akan menghilang?"

Ragel terdiam sejenak, "Kalau tidak berhasil. Memang itu konsekuensi nya. Dan aku tahu itu. Memangnya kenapa."

"Kamu tahu itu dan kamu biarkan hal itu terjadi?!" ucap Askala tanpa menahan lagi rasa khawatirnya.

Ragel yang melihat hal itu hanya bergidik ngeri tiba-tiba diperhatikan seperti itu. "Orang-orang yang hilang, aku harus tahu mereka hilang ke mana."

"Kenapa harus kamu?!"

"Kenapa harus aku?! Apa kamu tidak berasa bersalah? Hah! Orang-orang hilang begitu saja tanpa dosa dan yang menyebabkan hilangnya mereka adalah Pak Emit. Ayah kita!"

Buk, satu pukulan melayang bebas ke arah Ragel. Tak membalas, ia hanya mengusap pipinya yang terasa panas karena sambaran dari saudaranya. Ia tertawa meremehkan.

"Kenapa?! Karena itu bukan urusanmu?"

"Diam kau, brengsek. Tahu apa kau! Harusnya kamu diam saja. Biar aku yang menembus salahku. Harusnya biar aku yang menghilang bukan orang-orang itu. Seharusnya aku yang ke kota Timur dan merasakan ketidakadilan. Bukan kamu!"

Askala hanya seorang laki-laki lemah yang selalu merasa bersalah dengan saudara sebayanya itu. Selalu mengingat kesalahan itu saat melihat Ragel. Selalu terlihat marah dan enggan padahal selama ini ia khawatir atas kondisi saudaranya. Ia hanya ingin semesta menyetujui niat baiknya untuk memperbaiki semuanya. Setidaknya menembus kesalahan dirinya dengan satu-satu saudaranya itu.

Mereka terdiam. Seakan-akan waktu mereka terkunci di udara. Kenangan pahit tak berasa itu hanya mampu berputar lemah diingatan mereka. Tak ada satupun yang sanggup menyuarakan isi hati mereka. Hanya tatapan mata mereka yang berbicara dalam diam.
















LW~

:3 mereka saudara guys. Iya gitu aja, muhehe 😬

LABIRIN WAKTU | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang