Jika ada typo atau kalimat tidak jelas harap diberitahu yaaa;)

-----

Suasana lorong kelas begitu ramai tatkala bel pulang telah berbunyi. Membuat gadis yang memakai tas oranye ini terpaksa berdiam diri di kelas sebentar sambil menunggu para siswa siswi meninggalkan kelasnya. Ia malas berdesakan di lorong, tubuhnya yang tak begitu tinggi akan membuatnya semakin mudah untuk dihimpit sana sini. Dan itu sangat menyesakkan.

"Gue duluan ya Nil, mau nebeng sama Sasa, hehe." Pamit Rara, ia melambaikan tangannya ke arah Vanilla.

Gadis itu mengangguk, pertanda meng'iya'kan perkataan sahabatnya. Kini tinggal lah Vanilla seorang diri di kelas.

Setelah melihat keadaan lorong yang sudah lumayan lenggang, akhirnya Vanilla keluar dari kelas nya menuju perpustakaan, hendak mengembalikan buku yang sempat ia pinjam.

Drrrttt..

Dapat dirasakan ponselnya bergetar, tapi Vanilla tak bisa membukanya karena kedua tangannya sedang memegangi buku buku tebal. Kadang, Vanilla merutuki sekolah ini. Kenapa bisa bisanya menempatkan ruang perpustakaan dengan jarak yang begitu jauh dari kelas kelas siswa. Justru berada di sisi pojok sekolah, sangat jauh dari kelas Vanilla. Ini salah satu faktor yang membuat dirinya malas pergi ke ruangan tersebut jika bukan karena tugas. Dan faktor utamanya sudah pasti karena kemalasan yang sudah melekat di dalam dirinya.

"Tunggu di depan sekolah aja yaa, aku mau ke ruang guru dulu. Jangan nunggu di tempat panas.."


Vanilla tersenyum ketika membaca pesan dari lelaki yang berstatus sebagai pacar nya. Tumben Gavin ke ruang guru, ada apa ya? Dengan cepat Vanilla membalas pesan tersebut.

"Oke. Aku tunggu di bawah pohon mangga."

Setelah pesannya berhasil terkirim, Vanilla bergegas keluar dari area perpustakaan. Dan menunggu Gavin menyelesaikan urusannya.

Di depan sekolah ternyata masih ada beberapa murid yang sedang menunggu angkatan umum atau menunggu seseorang menjemput. Kali ini tak begitu ramai karena waktu jam pulangnya telah lewat beberapa menit yang lalu.

Vanilla duduk di bawah pohon mangga, sesuai janjinya kepada Gavin. Memang posisinya tidak tepat berada di depan sekolah, agak ke samping kanan sedikit. Dan disana terdapat tempat duduk yang -mungkin- sengaja dibuat untuk tempat berteduh yang nyaman. Sambil menunggu, ia memainkan ponselnya agar tak terlalu bosan. Mencoba membuka akun sosial medianya dan membaca beberapa berita yang sedang viral akhir akhir ini. Sampai tak sadar ada seseorang yang juga ikut duduk di sampingnya sambil menatap ke arah Vanilla.

----

Sedangkan di lain tempat, ada seseorang yang tengah pusing akibat diberi nasihat yang begitu panjang oleh Ibu Nuri selaku guru BK dari kelas 11. Gavin lupa, ia membolos saat dipelajaran yang diajarkan oleh wali kelasnya, yaitu seni budaya. Alhasil, ia harus menerima resiko untuk bertemu dengan guru yang sangat disegani oleh murid di sekolah ini.

"Ingat Gavin, tugas kamu di sekolah itu untuk berlajar, mencari ilmu. Hargai para guru yang ingin memberikan ilmunya. Jangan sampai ibu mendengar laporan bahwa kamu bolos pelajaran lagi." cerca Bu Nuri, menatap Gavin yang hanya menundukan kepalanya.

"Dengar tidak, Gavin Sandrio?" tanyanya, saat Gavin tak menjawab semua perkataannya satu pun.

Gavin mengangguk, masih enggan menatap guru dihadapannya ini.

Setelah sekian lama terjebak di ruangan itu, akhirnya Gavin bisa bebas menghirup udara segar. Walau perasaannya masih saja tidak tenang. Ia membuka aplikasi chat di handphone nya, ternyata ada pesan dari Vanilla. Gavin segera menuju tempat dimana gadisnya itu berada.

Namun, saat hendak kesana, Gavin melihat Vanilla tak sendirian. Ia sedang bersama seseorang yang menjadi perusak mood nya hari ini. Tak menunggu waktu lama lagi, Gavin langsung menghampiri Vanilla dan menariknya tanpa berbicara apapun. Meninggalkan seseorang yang tengah bersama Vanilla tadi.

"Gavin, lepas ih. Sakit tau" ringis Vanilla saat tangannya ditarik paksa. Ia memukul lengan lelaki itu agar bisa melepaskannya.

Gavin tak peduli, ia membawa Vanilla ke parkiran sekolah. Gadisnya ini perlu diberi tau sesuatu agar tak berhubungan dengan orang itu.

"Kamu apa apaan sih. Main tarik tarik aja, dikira ga sakit apa. Liat nih, sampe merah" omel Vanilla sambil mengusap pergelangan tangannya yang sudah berubah warna.

"Kamu yang apa apaan. Kan, udah aku bilang jangan deket deket sama dia, kenapa tadi malah berduaan?"

"Aku tadinya duduk sendiri, tiba tiba dia datang. Ya kali, ada orang yang mau duduk disitu malah aku usir. Kan bangku nya juga bukan punya nenek moyang kamu" jelas Vanilla

Gavin tau ada rencana yang sedang dijalankan oleh seseorang. Dan itu yang membuat emosinya tak terkendali saat ini. Ia hanya... Takut. Takut Vanilla mengetahui tentang dirinya dimasa lalu. Ia takut gadisnya tak bisa menerimanya sebagai kekasih lagi.

"Pokoknya, kamu jauhin dia. Jangan pernah deket deket. Aku udah bilang, dia itu bahaya." Nada bicaranya kembali melunak.

"Ya kamu salahin dia dong, siapa suruh duduk disitu. Kenapa malah ngomel ngomelnya ke aku" cerca Vanilla.

Gavin hanya menatapnya sambil menghembuskan napas. Ia mencoba sabar, manusia yang ada di hadapannya ini adalah seorang wanita. Biar bagaimanapun kondisinya, lelaki tetap bersalah disini.

Akhirnya Gavin mengalah, ia tak ingin memperpanjang masalah.

"Yaudah, maaf ya. Coba liat sini tangannya" pinta Gavin, memegang tangan yang tadi ditariknya secara paksa. Warna merahnya memang sudah memudar, tapi pasti masih terasa sakit. Gavin Mengusap lembut tangan tersebut, ia menatap Vanilla yang sejak tadi terdiam.

"Perlu dicium gak nih tangannya?" Senyum jail nya mulai terlihat, membuat gadis ini langsung menarik kembali tangannya.

"Ih, a-apaan si. Udah ah buruan pulang" ucap Vanilla, mengalihkan wajahnya agar tak terlihat sedang merona.

"Ulululuu, lucu banget si pacar akuu" Gavin mencubit kedua pipi Vanila, gemas melihat kekasihnya ini.


-Mirandaayusalamah

Broken DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang