8. Meow!

2K 332 109
                                    

"Tidak bisa. Operasi pertama Jisoo sudah dijadwalkan. 2 hari lagi. Setelah itu masih ada masa pemulihan. Sebagai dokternya, aku harus terus mengawasi," kata Seokmin lagi. Kalimat panjang itu memang mengudara, namun pandangannya tidak bisa berpaling dari beberapa berkas yang harus disiapkan.

Jeonghan menghela napas. Memutar pandangan dengan jengah. Rasanya ia ingin menangis sekarang juga. Berteriak. Memaki. Kenapa Jisoo terus yang diutamakan dibandingkan dirinya? Karena Jisoo pasien dan Seokmin adalah dokter? Tidak masuk akal. Setidaknya pemuda Lee itu harus tetap memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan bersama Jeonghan. Kekasihnya sendiri. Pasangannya. Hidup tidak melulu tentang pekerjaan. Namun, amarahnya tentu tidak dapat disalurkan. Jeonghan masih memiliki sedikit kesabaran untuk digunakan selama berdampingan dengan Seokmin.

"Kalau jadwalnya diundur, bagaimana?" tanya Jeonghan hati-hati. Ia harus mencari celah agar Seokmin mau sedikit mengalah.

"Jadwal siapa yang diundur?" bukannya menjawab, Seokmin malah balik bertanya. Mulai memperhatikan raut wajah kekasihnya. Sedikit menepikan berkasnya. "Jika kamu meminta jadwal operasi pertama Jisoo yang diundur, tidak bisa. Aku sudah menantikan operasi ini sejak hari pertama Jisoo menjadi tanggung jawabku."

"Seokmin..." Jeonghan meringis. Baru kali ini ia melihat Seokmin jauh memprioritaskan pasiennya. Memang ini bukan kali pertama. Akan tetapi, perbedaan sikap yang Seokmin perlihatkan sekarang terlalu mencolok. Jisoo lebih dari pasiennya. "Biasanya kamu tidak setegas ini saat merawat pasienmu yang lain. Masih sempat menghubungiku meski hanya pesan singkat. Menawariku makanan. Menawari tumpangan dan pulang bersama. Sekarang?"

"Jisoo adalah tanggung jawabku."

Jawaban itu lagi. Lama-lama membuat Jeonghan muak mendengarnya. Tanpa sadar ia memukul meja kerja Seokmin dan berdiri. Kesabarannya yang tadi sudah sangat tipis, kini malah benar-benar musnah tanpa sisa. Jeonghan sudah tidak tahan lagi. "Ya, rawat saja pasienmu itu. Aku berangkat sendiri!"

"Jeonghan-ah," panggil Seokmin. Namun laki-laki Lee itu diabaikan. Seperti tidak mendengar apa-apa, Jeonghan pergi begitu saja. Keluar. Membanting pintu.

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah kekasihnya itu, Jeonghan berhenti sejenak di depan pintu kamar tamu yang selalu terkunci rapat sejak mendapat penghuni baru. Tangan Jeonghan mengepal memandangi pintu yang terbuat dari kayu kuat bercat hitam itu. Dada naik-turun. Sungguh marah. Juga sebelum pergi, ia berpaling dan turut memandangi ruang kerja Seokmin yang tadi ia masuki. Harapannya, Seokmin turut keluar dari sana dan mendatanginya. Mencegat kepergiannya. Sayang, semua itu hanya harapan. Walau menunggu berkam-jam lamanya pun, Seokmin tidak memberi tanda-tanda bahwa ia akan keluar untuk menyusul Jeonghan. Kalau pun keluar, pasti untuk mendatangi pasiennya.

Setetes air mata jatuh. Perlahan mengalir di pipi kanan Jeonghan. Sejujurnya ia sudah tidak sanggup diperlakukan seperti ini. Tetapi, rasanya ia lebih tidak sanggup lagi jika harus hidup terpisah dengan Seokmin. Tidak ada pilihan lain. Bertahan adalah satu-satunya jalan.

"Seungcheol-ah, batalkan tiket untuk kekasihku. Dia sangat sibuk, tidak bisa ikut," kata Jeongban, begitu memasuki mobil. Menyambungkan telepon pada Seungcheol. Mulai menyalakan mesin.

"Wah... Sayang sekali," raung Seungcheol di seberang sana. "Baiklah. Jika kamu butuh teman untuk berkeliling kota Paris, aku bisa menemanimu nanti."

Jeonghan tertawa. Terdengar sedikit parau karena baru saja berhenti menangis. Diinjaknya pedal gas. Mobil berwarna biru tua itu melaju dengan cepat. Keluar dari komplek perumahan. Masuk ke jalan raya. "Terima kasih."

"Tidak masalah. Anggap saja aku membayar jasamu. Kamu sudah menemaniku berkeliling kota Seoul. Giliranku yang menemanimu berkeliling kota Paris."

Meow! (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang