15. Tidak Seharusnya

1.8K 305 48
                                    

"Sini, ikut denganku," Seokmin mengulurkan tangan. Menunggu Jisoo mendatanginya. Membukakan pintu masuk lebar-lebar. Agenda Seokmin hari ini adalah mengikuti saran Mingyu kemarin. Mengajari Jisoo keluar rumah. Membiasakan Jisoo berinteraksi dengan orang banyak. Akan tetapi, sudah hampir satu menit lamanya ia menunggu. Tangan yang mengulur pun tidak juga disambut. Jisoo terdiam di perbatasan antara rumah dan teras. Seokmin meraih kedua tangan Jisoo. "Ayo, kita bermain di luar. Yakin tidak mau?" tanya lagi, lalu melepas pegangan tangan gadis itu. "Aku tinggal di sini, ya?"

Jisoo melonjak. Menghentakkan kakinya dengan cepat di tempat. Tidak mau ditinggal. Wajah paniknya menghiasi pagi Seokmin kali ini. Seokmin tidak sanggup menahan tawa. Suara tawa Seokmin pecah di detik-detik berikutnya.

"Ayolah... Tidak mau ditinggal tapi tidak mau keluar, sebenarnya apa maumu, hng?"

Seokmin maju, Jisoo mundur. Seokmin maju lagi, Jisoo diam di tempat. Gadis itu membeku. Tangan mengepal di samping badan. Posisi menahan takut. Diam-diam Seokmin tertawa di dalam hati. Syukurnya ia tidak pernah membiarkan kuku Jisoo tumbuh hingga panjang. Kalau tidak, pasti tubuh Seokmin sudah penuh dengan bekas cakaran karena terus membuat Jisoo merasa takut.

Acara mengajari Jisoo untuk bermain di halaman rumah belum selesai. Akan tetapi, sudah ada yang hendak bertamu sepagi ini. Seseorang sedang berusaha membuka pagar dari luar. Membuat Seokmin penasaran. Perhatiannya tidak lagi pada Jisoo. Dengan cermat memperhatikan sosok itu. Seokmin hafal dengan tangan yang menjulur masuk. Pasti Yoon Jeonghan. Gadis itu kemarin mengabari Seokmin bahwa ia telah kembali ke Seoul.

"Sayang!" Jeonghan nampak bersemangat. Melambaikan tangan tinggi-tinggi. Menutup pagar, lalu berlari kecil. Memeluk Seokmin beberapa saat. "Aku merindukanmu!"

Seokmin memang tidak menjawab, namun tangan yang mengulur untuk membalas pelukan dan mengusap puncak kepala gadis itu sudah cukup dijadikan sebagai jawaban. Senyum yang amat tulus juga Jeonghan dapatkan pagi ini. Senyum itulah yang sangat ia rindukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di negara orang.

"Lihat, aku bawa banyak oleh-oleh untukmu," kata Jeonghan lagi, menunjukkan beberapa bingkisan yang tengah ia bawa. Tidak berbohong. Ia sungguh membawakan banyak buah tangan untuk sang kekasih.

"Apa Jisoo juga dapat?" tanya Seokmin.

"Jisoo?"

Seokmin mengangguk. Menunjuk ke arah pintu menggunakan dagu. Jeonghan baru tersadar bahwa juga ada gadis itu di sana. Orang ketiga, sudah seperti setan saja, pikirnya. Seketika kening Jeonghan mengerut memperhatikan raut wajah yang Jisoo tampilkan. Menyeramkan. Raut wajah sulit terbaca. Khawatir Jisoo sedang menyusun rencana penyerangan seperti tempo hari, atau malah hal yang jauh lebih buruk dari itu. Pembunuhan, mungkin?

Lain halnya dengan Seokmin yang malah tersenyum. Ia berhasil membaca pikiran Jisoo. Ekspresi yang Jisoo tunjukkan saat ini sungguh berbeda dengan pertama kali ia bertemu Jeonghan dulu. Lebih tenang tanpa niat menyerang. Tanpa ragu Seokmin menggenggam tangan kekasihnya. Meminta gadis itu agar semakin mendekat. Berbisik. "Lihat, bukankah dia mengalami kemajuan pesat? Cobalah berkenalan."

Dengan segera Jeonghan melakukan pemberontakan kecil. Membalas bisikan. "Kamu gila? Bagaimana kalau aku dicakarnya lagi?"

Lagi-lagi Seokmin tertawa. Jeonghan rindu dengan suara tawa itu. Sungguh jarang terdengar. "Lihat kukunya, sudah lama kupotong. Tidak akan kubiarkan panjang lagi. Sekarang bukankah kukunya tidak kalah cantik dengan kukumu? Malah aku berencana memberinya kuteks."

"Apa kamu bilang?" suara Jeonghan mendadak lantang. Tidak terima. Tanpa sadar telah membuat Jisoo takut. Mundur beberapa langkah. Menjauh. "Apa memberi kuteks masuk ke dalam daftar tugas seorang dokter?"

Meow! (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang