Enam

11.5K 1K 53
                                    

Khanza

Kalau di kota, pasien gue tiap hari nggak ada habisnya. Heran, kenapa kebanyakan orang kota tuh penyakitan. Sementara di sini, kerjaan gue cuma checking up bapak-bapak tentara dan masyarakat sekitar yang butuh pertolongan. Itupun karena jarak markas dan pedesaan lumayan jauh, nggak banyak yang datang ke sini minta obat. Masyarakat di sini juga masih sangat tradisionil. Mereka nggak bergantung pada dokter maupun obat-obatan kimia. Mereka lebih suka memakai cara tradisional. 

Kalau dibandingin orang kota, mereka yang hidup di sekitar sini lebih sehat-sehat. Paling-paling cuma sakit flu dan deman yang kebanyakan terjadi. Maklumlah, gaya hidup mereka sangat bertolak belakang dengan gaya hidup orang kota. Jadilah gue sering jobless nggak ada kerjaan. Liat gue yang hampir gila karena gabut, akhirnya pak tentara seksi ngajakin gue ikut timnya turun ke desa.

Selama ini yang gue tau kerjaan tentara cuma patroli sama razia doang. Nggak pernah terpikirkan kalau mereka harus jadi guru. Gue ngeliatin aja dari tadi gimana bapak-bapak berdada tegap itu memberikan materi bela negara di depan anak-anak SD. Tapi gue agak miris lihat keadaan sekolah mereka. Hanya ada satu kelas. Itupun sudah sangat reyot. Bangku dan meja rusak. Papan tulisnya masih menggunakan kapur. Gue yakin jika hujan atapnya pun akan bocor. Hanya ada dua guru di sini. Mereka mengajar semua mata pelajaran bergantian. 

Kendra bilang sekolah di sini mulainya memang agak siang. Jarak rumah anak-anak ke sekolah bisa lebih dari lima kilometer. Dan itu mereka tempuh dengan jalan kaki. Jangan dibayangkan jalanannya semulus Jakarta. Kendra sempat ngajakin gue menelusuri jalanannya. Berkelak-kelok naik turun. Jurang dan tebing di mana-mana. Rumput-rumput berukuran besar menghalangi jalan. Belum lagi harus menyeberang sungai yang licin dan deras arusnya, atau rawa-rawa yang dihuni buaya. Gue nggak sanggup ngebayangin kalau jadi mereka. Dulu aja gue yang sekolahannya udah bagus, fasilitas serba ada, dianterin pake mobil mewah lewat jalanan mulus, ogah-ogahan masuk sekolah. Tapi anak-anak itu, yang hanya berbekal tekad dan mimpi, menghadapi segala rintangan untuk mencecap bangku pendidikan. Baru kali ini gue malu sama diri gue sendiri.

Bukan hanya memberikan materi tentang Pancasila dan bela negara, para penjaga garda depan itu juga mengajak anak-anak bermain bersama untuk lebih mendekatkan diri. Seperti saat ini, Kendra baru saja menyelesaikan satu ronde permainan sepak bola dengan mereka.

Dahinya di penuhi keringat namun wajahnya penuh dengan tawa. Dia berlari ke arah gue meminta botol minum. Gue mengamati dengan tertegun ketika jakunnya bergerak naik turun menikmati tetes demi tetes air yang membasahi kerongkongannya.

"Akh.." desahnya puas setelah mengobati rasa haus di kerongkongannya.

"Coba hadap sini" 

Dia menurut ketika gue dengan sangat lembut dan hati-hati menyeka keringat di wajahnya.

"Nggak nyangka ternyata pak tentara bisa jadi pak guru juga" 

Dia menyeringai, "Sudah jadi tanggungjawab gue"

"Loh bukannya kerjaan tentara pegang senapan ya? Bukan pegang kapur?"

"Ini bagian dari usaha pertahanan negara"

"Hah?" gue bingung.

"Coba lo pikir, gimana kalau masyarakat di sini nggak punya rasa cinta tanah air. Apa yang terjadi?"

Gue diem.

"Mereka nggak akan merasa menjadi bagian dari NKRI. Kalau sudah begitu, mereka akan mudah termakan hasutan." lanjut Kendra meneruskan ceramahnya. "Lo tau kenapa dulu ada GAM, pemberontakan di Papua, dan lepasnya Timor-Timor?"

Gue menggeleng.

"Karena pemerintah terkadang lalai jika mereka yang tinggal di daerah pelosok juga rakyatnya. Lihat saja, pembangunan lebih diutamakan di kota-kota besar. Regulasi yang ditegakkan hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Kekayaan alam di hutan-hutan mereka usung untuk kepentingan daerah maju. Jika ada oknum yang menghasut penduduk di perbatasan untuk melepaskan diri dari pemerintahan agar mereka bisa mengurus daerahnya sendiri, makan akan terjadi gejolak di batas negara. Dan itu bisa memicu pemberontakan dan pelepasan wilayah kedaulatan. Tentu itu sangat menggangu pertahanan dan kemanan wilayah kita."

"Karena itu kalian menanamkan rasa cinta tanah air pada anak-anak ini?"

Kendra mengangguk, "Dulu waktu gue jadi anggota Satgaspamtas di Kalimantan lebih mengenaskan lagi keadaanyanya. Masyarakat perbatasan tidak mengenal rupiah. Mereka memakai ringgit untuk saling bertransaksi. Bahkan mereka lebih memilih pergi ke Malaysia hanya sekedar untuk berbelanja bahan makanan di pasar atau untuk berobat ke rumah sakit. Karena memang medan tempuh ke negara tentangga lebih mudah dan fasilitas yang ada juga lebih memadai daripada jika mereka harus ke kota. Tapi justru hal itu yang mengkikis rasa cinta tanah air di dalam diri mereka. Mereka lebih merasa menjadi bagian dari negara lain daripada negaranya sendiri. Bahkan dulu gue sering liat banyak pedangang-pedangang Indonesia yang memakai bendera merah putih untuk dijadikan alas dagangannya. Rasanya, tidak ada setitikpun di hati mereka rasa memiliki terhadap bumi pertiwi ini."

Gue merasa tertohok. Masih ingat gimana malesnya gue kalau di suruh upacara tiap hari Senin. Padahal itu hanyalah sebagian kecil dari penghormatan yang bisa gue lakukan untuk negara ini. Namun lelaki yang duduk di sebelah gue, justru memeras segala peluh dan keringatnya demi Sang Merah Putih agar bisa terus berkibar tinggi di pucuk-pucuk bumi pertiwi. 

Kendra melanjutkan ceritanya, "Jadi sosialisasi seperti ini sangatlah penting. Terlebih lagi, kita yang terjun langsung ke lapangan adalah kepanjangan tangan dari pemerintah untuk bisa lebih mendekat pada rakyat. Ya meskipun kadang gue dongkol, kita yang sudah susah-susah membangun kepercayaan rakyat, tapi malah pemerintah di atas sana yang merusak citra negara dengan saling memperebutkan kursi untuk memperkaya diri sendiri."

Entah mendapat dorongan dari mana, gue yang terkesima dengan pemikiran pria satu ini tiba-tiba memajukan wajah gue dan mencium pipinya.

"Eh" Kendra terlihat begitu kaget dengan aksi spontan gue. Dia memegang bekas bibir gue di pipinya.

"Lo hebat banget. Gue salut sama lo" ucap gue memberikan satu jempol untuknya.

Dia masih kedip-kedip lucu. 

"Pak.. bapak tentara.." gue menggerakkan tangan gue ke kiri dan ke kanan di depan wajahnya.

Begitu terkesiap dari keterkejutannya, dengan satu gerakan cepat dia memutar tubuh gue dan menyandarkannya di tiang kayu. Kendra menempelkan tubuh kami saling berdekatan dengan wajahnya hanya berjarak beberapa inchi dari wajah gue, "Gue bahkan nggak tau apa yang bisa gue lakuin ke elo. Jadi jangan coba-coba menguji pertahan diri gue" ucapnya tajam dengan nada bass yang rendah namun mendominasi.

Semakin dia mengancam, semakin tidak bisa gue menahan diri, "Oh ya?"

Cup.

Gue memperhatikan reaksi di wajah Kendra setelah bibir kita saling bertemu. Hanya sekedar kecupan kecil dari bibir ke bibir. Tidak ada lumatan. Tidak ada nafsu. 

"Gue udah peringatin lo. Jadi jangan nyesel" Dengan sekali dorong, pria itu memenjarakan gue di antara tiang kayu dan tubuh kekarnya. Bibirnya melumat ganas bibir gue, melahap dan menyesap dengan sangat rakus. Lidahnya menelusup masuk, membuat nafas gue semakin terburu. Harusnya gue menyudahi hal ini, sungguh gue bukanlah wanita murahan yang melempar dirinya ke pelukan sembarang lelaki. Namun ternyata, otak dan tubuh gue tidak pernah berjalan selaras jika sedang bersama lelaki ini. Ah, kenapa gue jadi seperti ini?

 Ah, kenapa gue jadi seperti ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini pendek aja ya.. Besok update lagi 😘

CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang