Empat Puluh Tiga

7.2K 902 130
                                    

Khanza

"Enggak.. Mbak Egi lepasin Khanza" gue berontak mencoba menghalau tangan bodyguard yang terus memaksa gue agar segera masuk ke helikopter. Setelah terjadi beberapa kali gempa susulan, air laut surut, dan peringatan tsunami pun disuarakan. Penduduk segera diungsikan ke tempat yang lebih aman. Beberapa helikopter milik Angkatan Udara juga difungsikan untuk penyelamatan darurat petinggi-petinggi elite dan militer. Namun gue sama sekali tidak peduli, karena nafas gue masih tertinggal di tambang.

"Khanza mau ke tempat Kendra. Lepasin.. Mbak Egi lepasin Khanza"

"Enggak. Kendra udah naik helikopter."

Gue berhenti sesaat, membalikkan tubuh, menatap wanita yang memegang handy talkie di tangan kanannya. "Ini.." tanpa ragu Mbak Egi menyodorkan kotak hitam itu ke hadapan gue.

Langsung saja gue meraihnya, "Kendra.." panggil gue.

Suara gemerisik menyambut indera pendengaran gue, diikuti nada khas bicaranya, "Khanza.."

Gue bernafas lega, "Kamu nggak papa kan? Kamu baik-baik aja kan?"

"Kamu cepetan naik. Aku udah nunggu"

Tanpa membuang waktu, gue segera berlari ke arah mesin baling-baling raksasa itu. Mbak Egi membantu gue menaiki tangga demi tangga, hingga akhirnya pintu tertutup dengan gue berada di dalamnya.

"Kendra, kamu dimana?" seperti orang kesetanan gue berlari ke setiap sudut tempat itu dengan benda kotak yang masih menempel di telinga gue. Tapi kosong, tidak ada wajah Kendra sama sekali diantara kerumunan orang-orang berseragam hijau.

"Kendra..!" gue berteriak mengharap jawaban dari ujung handy talkie.

"Sa, inget pesan aku. Jangan lupa makan. Istirahat yang cukup. Jangan bandel. Jangan bertengkar lagi sama Papa kamu. Kamu harus selalu bahagia"

"Jawab aku Kendra, kamu dimana!" gue makin panik.

"Aku kejebak, Sa. Masih ditambang"

Deg.

Waktu terasa berhenti, mengambil semua persediaan oksigen di dalam paru-paru. Hati gue hancur sehancur-hancurnya. Air mata turun bersama rasa perih yang tak dapat lagi gue bendung. "Kamu bohong. Kamu bilang kamu udah nungguin aku di sini."

"Maafin aku. Apapun yang terjadi, kamu harus baik-baik saja"

"Aku nggak mungkin baik-baik aja tanpa kamu, Ken.." Gue nangis. Gue nangis sejadi-jadinya.

"Kamu harus bisa. Ada atau tidak ada aku, kamu harus bahagia"

"Kendra.." suara gue bener-bener sudah habis.

"Aku cinta kamu"

Tidak ada lagi suara, hanya sinyal berisik terdengar dari ujung sana. Ditambah deru mesin helikopter yang memekakkan telinga.

"Kendra.. Jawab! Kendra!"

Tidak ada balasan.

Gue berlari ke arah pintu darurat namun tangan Mbak Egi menghalangi. Tak peduli seberapa kuat gue mencoba melepaskan diri, wanita itu ternyata jauh lebih mumpuni. Hingga akhirnya gue tertunduk pasrah di dekat jendela.

Mata gue melebar mendapati pemandangan di bawah sana. Cahaya mentari pagi mulai bependar di titik cakrawala. Sinarnya menyapa gulungan ombak yang melesat marah menyerbu daratan. Air yang begitu banyak jumlahnya itu menyapu rata seluruh tanah kecokelatan. Mengguyur pohon dan rumah-rumah, mengombang-ambingkan reruntuhan bangunan dan mayat-mayat manusia. Daratan hijau itu dalam sekejap menyatu bersama laut. Meluluh-lantakkan semua yang pernah berdiri di atasnya.

Tidak..

Kendra masih di sana...

Di satu titik yang terguyur rata air malapetaka...

Tolong, jangan... Jangan ambil Kendra...

Jangan ambil Kendra gue... jangan.

***

"Sa, makan dulu" gue masih terdiam. Suara Papa yang sedari tadi mengajak bicara tidak gue hiraukan sama sekali. Sudah sebulan berlalu, belum juga ada kabar tentang Kendra. Setelah kejadian itu, Satriya dan anggota pletonnya yang bertugas di arah utara kembali dengan selamat menaiki helikopter militer yang sama dengan gue. Begitu pula Mas Tristan dan pasukannya yang bertugas di arah barat. Hanya Kendra dan pasukannya yang belum terdengar kabar sama sekali.

Papa melarang gue meninjau langsung ke lokasi. Siang dan malam gue habiskan dengan rasa khawatir, menunggu kabar yang tak pernah datang menghampiri. Setelah bencana reda, tim evakuai segera diturunkan. Termasuk di dalamnya Satriya dan Mas Tristan yang langsung ikut turun mengevakuasi area pertambangan. Beberapa tubuh berseragam TNI ditemukan tak bernyawa, namun tidak ada di antara mereka yang teridentifikasi milik Kendra. Ada beberapa juga yang sudah tidak bisa diidentifikasi, karena luka bakar akibat kebakaran pasca gempa.

"Terima kenyataan Sa" begitulah perkataan Papa setelah evakuasi selesai dilaksanakan.

"Kendra belum ditemukan Papa. Bahkan setelah diidentifikasi dan autopsi, korban-korban di dekat tambang bukan Kendra. Jadi ada kemungkinan Kendra masih hidup"

"Sa, nggak semua korban bisa ditemukan. Ada juga yang terseret arus ke laut. Ada yang tertimbun longsor. Kamu harus terima kenyataan. Kendra udah nggak ada."

"Enggak. Khanza yakin Kendra masih selamat. Pokoknya Papa harus cari Kendra sampai ketemu."

"Khanza! Sadar! Terima kenyataan."

"Papa seneng kan sekarang! Papa seneng Kendra udah nggak deket Khanza lagi! Makanya Papa nggak mau cari Kendra"

"Bukan gitu Sa-"

"Bohong. Khanza benci Papa. Khanza nggak mau lagi ngomong sama Papa."

Benar saja, sejak saat itu gue bener-bener nggak mau ngomong sama Papa. Sesampainya di rumah gue nggak pernah keluar kamar. Nangis berhari-hari di atas kasur, makan pun tak selera. Papa pernah marah sampai membanting pintu melihat kondisi gue yang tak ubahnya seperti zombie. Diajak ngomon pun gue tak menanggapi.

"Terserah kalau kamu mau begitu terus! Nggak usah makan sekalian. Papa sudah nggak peduli!"

Namun marah Papa nggak bertahan lama, karena yang berikutnya terjadi adalah gue jatuh sakit. Badan gue panas, makanan pun tak ada yang mau masuk. Seberapa pun gue dipaksa makan, pasti akan gue muntahin lagi. Bukan karena sengaja, tapi entah kenapa tubuh gue rasanya tak punya gairah untuk sembuh. Melihat keadaan gue yang menyedihkan, pada suatu malam Papa duduk mendekati gue.

Badan gue rasanya panas, keringat dingin terus membasahi tubuh. Walau pun keadaan gue di antara sadar dan tidak, namun dengan mata tertutup, samar-samar masih bisa gue dengar suara isak tangis lelaki itu. Tangan yang selalu banting tulang mencarikan nafkah untuk kebutuhan gue itu sekarang menggenggam dengan eratnya. Tidak pernah sekalipun gue melihat pria berjiwa baja itu menangis. Sekalipun tidak pernah. Dan sekarang, bak anak kecil lelaki itu menumpahkan seluruh emosinya di samping tubuh gue yang terbaring tak berdaya.

"Maafin Papa, Sa. Jangan hukum Papa seperti ini. Kamu anak Papa satu-satunya. Papa mohon... bangun. Papa janji nggak akan maksa kamu nikah sama pilihan Papa. Tapi kamu bangun Sa, bangun.. Jadi anak Papa yang ceria lagi. Jadi anak Papa yang bandel lagi. Jangan kayak gini Sa.. Papa mohon.."

Papa... kemana aja Papa selama ini? Jauh dilubuk hati, Khanza selalu sayang sama Papa. Papa satu-satunya yang Khanza punya. Lelaki manapun tidak akan pernah bisa menggantikan jasa Papa yang sudah membesarkan Khanza seorang diri. Tapi Khanza cinta Kendra Pa, kenapa Papa tidak mau mengerti? Cuma dia satu-satunya lelaki yang bisa menggantikan Papa menjaga Khanza, tapi kenapa Papa tidak mau menerima?

Papa.. Papa terlambat. Sekarang Kendra sudah entah dimana. Dan rasanya Khanza tidak bisa hidup tanpa Kendra di samping Khanza.

Maafin Khanza Pa..

Khanza sayang Papa.

Keut. Udah segini aja updet hari ini.

CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang