Dua Belas

9.4K 971 43
                                    

Kendra

Wajah paling ceria adalah wajah yang menyembunyikan kesedihan paling mendalam.

Percaya atau tidak, itulah realitanya. Terkadang senyum yang diperlihatkan orang-orang bukanlah senyum yang sesungguhnya. Mereka menyimpan luka yang tidak ingin diketahui orang. Duka yang ditutup dan dipendam sendirian. Terlihat baik-baik saja padahal tidak.

Gue merindukannya.. Senyum ceria dan ocehan nakal yang dilanturkan wanita itu kini hilang sudah. Semenjak kematian Wa'i, Khanza menutup diri. Dia menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Pipinya terlihat lebih tirus dan raut mukanya pucat pasi.

"Khanza nggak mau makan lagi?" tanya gue ke Regina begitu melihat bodyguard wanita itu keluar dari kamar Khanza dengan piring yang masih utuh.

Wanita itu menggeleng, "Coba lo yang bujuk. Mungkin aja Khanza mau makan"

Gue menerima uluran piring itu dan masuk ke dalam kamar Khanza.

"Sa, makan dulu. Ini sate ayam loh, lo suka banget kan sate ayam?" bujuk gue.

Wanita yang terbungkus selimut itu tidak bergeming.

"Sa" gue tepuk-tepuk pelan bahunya. Dia menoleh.

"Gue nggak laper Ken."

"Tapi lo harus makan"

"Gue nggak selera"

"Lo pengen makan apa? Biar gue buatin"

"Nggak usah. Gue lagi nggak kepengen makan."

"Sa, jangan menyiksa diri sendiri kayak gini. Bukan salah lo Wa'i meninggal. Toh Wa'i memang sudah lama sakit-sakitan"

Khanza terisak. Isakan yang lama kelamaan berubah menjadi tangis. Wanita itu yang menangis, tetapi kenapa dada gue yang rasanya seperti teriris?

"Ini semua nggak akan terjadi kalau aja gue bisa lebih cepet dan hati-hati. Gue yang udah bikin Wa'i  meninggal Ken.. Gue nggak becus jadi dokter.. Lalu gimana sama Malahar.. gimana sama Kalere.. Setelah Wa'i meninggal siapa yang akan merawat mereka.. Gue malu Ken.. Gue malu ketemu Malahar.. Apa yang bakal gue katakan sama dia? Gue nggak sanggup ketemu anak itu.." rintihnya panjang lebar.

"Sa, dengerin gue" Jari-jari gue menangkup pipinya, menghapus air mata yang berjatuhan turun, "Setiap orang itu punya takdirnya masing-masing. Kematian sudah digariskan. Jika Tuhan sudah berkehendak, tidak ada yang bisa mendahuluinya dan tidak ada yang bisa memperlambatnya. Lo sudah melakukan tugas lo sebagai dokter, tapi tetep, kita semua hanya manusia biasa, kita tidak bisa menolak kehendak Tuhan"

"Tapi Wa'i itu pasien pertama gue yang meninggal Ken. Dan itu gara-gara gue salah ngasih obat"

"Lo juga ngasih obat yang sama ke Malahar, tapi Malahar sembuh. Dan ketika lo tahu Wa'i memiliki alergi obat, lo udah berusaha mencarikan gantinya kan? Andaikan Tuhan masih mengijinkan Wa'i untuk sembuh, semua pasti dimudahkan, Sa. Tapi apa yang bisa kita perbuat kalau memang Tuhan menginginkan Wa'i untuk pergi? Meskipun kita punya obat-obatan dan alat secanggih apapun, kalau sudah sampai waktunya, manusia tidak bisa berbuat apa-apa"

Tangis gadis itu sedikit mereda. Matanya terlihat bengkak mungkin karena terlalu banyak menangis. 

"Ikut gue sekarang" tanpa menunggu persetujuan, gue bopong tubuhnya keluar dari kamar. Tidak menghiraukan tatapan aneh dari beberapa penghuni barak yang kebetulan berpapasan dan rengekan Khanza yang minta diturunkan, gue membawa gadis itu ke dalam mobil. 

"Kita mau kemana?" tanyanya setelah mobil melaju membelah jalanan.

"Ke desa" jawab gue singkat.

CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang