Khanza
(Lima bulan kemudian)
Khanza.. kamu harus selalu bahagia.
Cuma senyum kamu yang bikin jantungku tetep berdetak.
Doain aku cepet pulang.
Inget pesan aku. Jangan lupa makan. Istirahat yang cukup. Jangan bandel. Jangan bertengkar lagi sama Papa kamu. Kamu harus selalu bahagia.
Aku sayang kamu.
Gue terbangun dengan mimpi yang sama untuk kesekian kalinya. Diantara pesan-pesan Kendra, ada satu yang bisa membuat gue mampu bertahan di titik paling bawah di hidup gue.
Cuma senyum kamu yang bikin jantungku tetep berdetak.
Alam bawah sadar gue seolah mengulang dan terus mengulang kata-kata itu, hingga akhirnya gue berpikir, bagaimana jika keajaiban itu ada. Kalau gue menjaga senyum gue, akankah Tuhan juga menjaga detak jantungya? Kendra bilang gue harus bahagia. Kendra bilang gue nggak boleh bandel lagi sama Papa. Jika dua pesan itu gue jaga, akankah keajaiban akan datang?
Suara adzan subuh mulai berkumandang. Baru gue sadari, mukena gue masih terpakai dengan rapi. Sepertinya gue jatuh tertidur di atas sajadah saat berdizikir di sholat malam tadi. Gue menghela nafas. Harus bagaimana lagi gue meminta keajaiban. Semua cara sudah gue coba. Termasuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Tapi tetap saja, kabar tentang Kendra tak kunjung ada. Sudah enam bulan sejak kejadian itu, namun tubuhnya belum juga ditemukan.
Ingatan gue kembali ke kejadian pasca bencana. Hari-hari ketika berita tak kunjung datang membawa kabar tentang orang yang sangat gue nanti. Waktu itu gue bener-bener tidak punya gairah untuk hidup. Bagaimana Papa menangis di dekat detak jantung gue yang semakin melemah. Bagaimana suaranya terus memohon-mohon agar gue berjuang untuk bangun. Andai saja alam bawah sadar gue tidak merekam suara-suara Kendra dan pesan-pesan terakhirnya, mungkin saja waktu itu gue sudah menyerah.
Tangan gue menggapai ujung mukena sebelum melepasnya untuk mengambil air wudhu lagi. Setelah selesai sholat subuh, gue pergi ke dapur. Tentu saja, pembantu rumah tangga gue sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi ini.
"Bik, masak apa?"
"Ini non, sayur bobor."
"Khanza yang goreng tempenya ya, bik"
"Hati-hati non, apinya kecil aja, nanti gosong"
Beginilah keseharian gue sekarang. Tiap pagi jadwal gue adalah ngerecokin Bik Siti, pembantu rumah tangga gue, masak di dapur. Itung-itung belajar masak. Nanti kalau Kendra pulang pasti seneng liat calon istrinya udah lumayan bisa masak.
Ken, calon istri kamu udah bisa goreng tempe loh. Ya walaupun kadang ada item-itemnya dikit kayak kamu. Tapi masih enak kok. Nggak ada rencana cepet pulang nih?
Tetep aja, walaupun sudah berulang kali mencoba tapi Khanza dan dapur bukanlah perpaduan yang bijaksana.
"Aaa... Bibik... tolongin... minyaknya nyripat-nyripat, Khanza takut.." teriak gue sambil jongkok nutupin kepala pake panci.
Sang penyelamat gue dateng tergopoh-gopoh dari arah wastafel, "Aduh non, kan bibik udah bilang apinya kecil aja. Masukinnya juga jangan dilempar gitu"
"Kalau nggak dilempar tangan Khanza yang kena dong. Kan jadi deket sama minyaknya"
"Justru karena dilempar jadi kayak gini."
Emang iya? Tetep aja dong air dari tempenya ketemu sama minyak panas pasti bakalan bunyi bresss kayak hujan lebat. Suaranya lebih ngeri daripada simulasi perangnya Kendra waktu latihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala
FanfictionAwalnya Khanza cuma iseng godain pak tentara seksi, Kendra. Abis gemesin gimana gitu orangnya. Tapi ujung-ujungnya malah kecanthol beneran. "Mimpi apa gue digodain bidadari sebening kristal" - Kendra #1 #kaistal #2 #soojung #5 #jungsoojung #2 #kim...