Inilah Waktunya

3.7K 514 101
                                    

Surat-surat pernikahan sudah siap. Malo pun kini tinggal di Jakarta. Dua hari yang lalu Zainal sudah kembali ke rumah setelah dirawat intensif di rumah sakit selama tiga hari. Sejak gagal ginjal, Zainal sudah sering keluar-masuk rumah sakit.

Perasaan mereka sedikit lega, tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan pada kondisi Zainal. Hanya saja waktu lalu, tekanan darah Zainal naik karena banyak yang dipikirkan dan kelelahan juga.

"Paaa ...." Sangat pelan Cia membangunkan Zainal yang pagi ini masih berbaring di tempat tidur.

Ada pergerakan dari Zainal, kedua matanya mengejap, saat pandangannya sudah jelas, bibir pucatnya tersenyum tipis.

"Kamu mau ke mana? Kok sepagi ini sudah rapi?" tanya Zainal berusaha menegakkan tubuhnya dibantu Santoso yang tidak pernah sedetik pun jauh dari tuannya itu.

"Mau ke KUA, Pa. Ngurus tanggal ijab sekalian ngecek baju sama ambil undangan."

"Oooh, sama Faros?"

"Iya. Dia sedang di jalan, mau ke sini. Papa sarapan dulu, ya?" bujuk Cia mengambil mangkuk di nakas yang tadi sudah disiapkan Hera.

"Nanti saja Papa makan sendiri," tolak Zainal karena nafsu makannya menurun beberapa hari ini.

Helaan napas Cia berat, dia mengembalikan mangkuknya di nakas. Sedih rasanya melihat kondisi Zainal sekarang.

Tuk tuk tuk

Suara ketukan pintu membuat Santoso sigap membukakannya. Faros datang dengan pakaian semi formal, celana jeans hitam, kaus putih berkerah, rambut klimis disisir ke belakang. Dadanan Faros tetap rapi meskipun tidak ke kantor. Dia harus bisa menempatkan diri karena sekarang Faros adalah CEO di perusahaan besar. Penampilan selalu dijaga, tidak bisa seperti dulu lagi, yang acuh tak acuh soal penampilan.

"Assalamualaikum," ucap Faros sembari melangkah mendekati Zainal.

"Waalaikumsalam," jawab Zainal, Cia, dan Santoso bersamaan.

Faros menjabat tangan Zainal serta mencium punggung tangannya.

"Bagaimana keadaan Papa? Apa yang Papa rasakan sekarang?"

Begitulah Faros, sangat perhatian kepada Zainal. Meskipun dulu Zainal pernah punya salah padanya, tetapi Faros tidak menyimpan dendam sedikit pun. Malah dia sangat tulus memberikan perhatian kepada Zainal. Dia sangat menyayanginya, Zainal sudah Faros anggap seperti papanya sendiri.

Justru Faros merasa senang, dia kembali merasa seperti punya tiang penyanggah semangatnya, sosok panutan yang dia hormati selayaknya putra kepada sang ayah. Maklum, sejak dia kecil, ayah Faros sudah meninggal.

"Alhamdulillah sudah enakan," jawab Zainal tersenyum tipis di bibir pucatnya.

"Yang, Papa nggak mau makan. Padahal aku sudah mau nyuapin," adu Cia manja.

"Kenapa nggak mau makan, Pa?" Faros mengusap lengan Zainal yang sekarang kurus dan sedikit keriput.

"Papa bosan makan begitu terus."

"Terus Papa mau makan apa?" tanya Faros, dia selalu berusaha memanjakan calon papa mertuanya itu.

"Sekali-kali Papa pengin makan bubur kacang hijau gitu, Ros."

"Berkali-kali juga nggak masalah kok, Pa. Kacang hijau kan, juga bagus untuk kesehatan. Ya sudah, Faros carikan dulu, ya, Pa?" Faros ingin beranjak, tetapi Cia mencegah lengannya.

"Ikuuuut," pintanya bermimik seperti anak kecil.

"Aku cuma bentar doang. Ke depan komplek cuma cari bubur kacang hijau, Yang. Nanti balik lagi," ujar Faros sangat lembut.

Faros & Cia (Akan Kujaga Kau Sepenuh Hati dan Jiwaku) KOMPLITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang