Bab 15 | Cinta Jadi Benci

8.7K 336 11
                                    

Assalamualaikum semua, alhamdulillah masih bisa up... maaf ya author up nya lama. Maklumlah udah berada diujung karena dimasa-masa inilah sebentar lagi akan sibuk ujian dan segala macam yang membuat otak pusing memikirkannya, udah ah author malah curhat. Langsung dibaca aja..

Happy Reading

*  *  *

'Ada kala Cinta jadi Benci ketika rasa yang ada menjadi hilang karena sebuah kesalahan atas kekhilafanmu.'

*  *  *

Sinar senja menerangi langit yang sebentar lagi akan digantikan dengan langit malam penuh bintang bertebaran, seorang perempuan yang tak lain adalah Ica berdiri ditempat biasanya ia mencari ketenangan. Diatas atap yang biasanya para santri gunakan untuk menjemur pakaian, tadi setelah mereka selesai mengaji Ica lantas tak langsung pulang ke kamar melainkan ke tempat sekarang ini. Peralatan mengajinya telah ia titipkan dengan Fai dan Naila, tadinya Fai ingin menemani Ica namun Ica menolak. Ia ingin merasakan dan menikmati kesendirian beserta kesunyian bersama langit senja berwarna jingga.

Hilir angin menerpa tubuhnya membuat hijab yang dikenakannya berkibaran karena tertiup angin, matanya tak bosan-bosan memandangi langit yang cerah dengan warna jingga itu. Seketika rasa yang sebelumnya ia pernah rasakan kembali hinggap, rasa rindu. Bukan rindu kepada seorang laki-laki melainkan ia merindukan keluarganya. Ayah, Bunda dan Eza, sedang apakah saat ini mereka? Apakah mereka juga merindukannya sama seperti yang saat ini ia rasakan?

Sudah cukup lama ia terlantar disini untuk menimba ilmu, kira-kira setengah tahunan atau enam bulan. Ilmu yang ia dapatkan juga sudah lumayan, ia sudah bisa membaca al-qur'an dengan tajwid yang benar, menghafal surah-surah pendek. Dan sekarang kini ia masih berjalan untuk menghafalkan surah al-waqiah dan surah ar-rahman, ia memang memilih hafalan mengaji al-qur'an dan bukannya mengaji kitab. Karena menurutnya mengaji al-qur'an saja sudah susah apalagi kitab yang berbelit-belit.

Sikap dan kelakuannya lebih sopan daripada pertama kalia ia menginjakkan kakinya disini, meskipun terkadang ia khilaf mengulanginya. Dan Gus Faris pasti akan menghukum ia dan Fai yang mulai berulah. Ngomong-ngomong tentang Gus Faris, Pak Ustadznya itu jadi lebih banyak tersenyum kepada santri-santrinya itu membuat ia menatap laki-laki yang disukainya dengan heran pun juga tatapan yang diberikan santri lainnya. Pasalnya selama ini Gus Faris itu sangat irit senyum, senyum yang terbit dibibirnya dapat dihitung dengan hitungan jari. Tapi sekarang laki-laki itu seperti tiada bosannya tersenyum, membuat Ica bergidik sendiri. Tapi semua itu tak membuat rasa sukanya kepada Gus Faris hilang, ia bersukur karena dengan begitu ia dapat menikmati wajah tampan Gus Faris yang bertambah tampan berkali-kali lipat dengan senyum yang selalu terbit itu.

Meskipun suasana hangat dan ramai pesantren, itu semua tak membuat ia menghilangkan rasa rindunya terhadap keluarga. Ia tidak biasa berjauhan dengan Ayah, Bunda dan Eza dalam jangka waktu pendek. Namun kini sudah enam bulan ia tak bertemu keluarganya, ia hanya bisa mendengar suaranya melalui telefon yang tersedia di pedantren. Itu masih belum cukup untuk menghilangkan rasa rindu, yang ia perlukan adalah sebuah pertemuan. Kapankah ia diperbolehkan pulang? Karena sejujurnya ia tak begitu betah berada dusini.

Derap langkah kaki membuat Ica membalikkan tubuhnya, seorang laki-laki berbaju koko putih  menghampiri Ica. Perempuan itu hanya bisa diam termangu menatap laki-laki yang tak lain adalah Gus Faris yang semakin mendekat.

"Kenapa ada disini?"

"Pengen aja."

"Sudah hampir maghrib, kembalillah ke kamarmu."

"Nanti."

"Apakah kamu tidak mendengar apa yang saya ucapkan? Kembali ke kamarmu Anissa!!." Titah Gus Faris dengan tegas, Ica menatap Gus Faris dengan tatapan yang sulit diartikan. Mengapa laki-laki ini selalu saja mengatur dirinya, memangnya ia siapa? Dengan kesal Ica berjalan untuk meninggalkan Gus Faris.

Assalamualaikum Pak UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang