Bab 16 | Pulang

7.9K 298 4
                                    

Assalamualaikum semua, author up dua bab nih. Hitung-hitung untuk mengganti hari-hari yang author gak bisa up.. gimana? Pada seneng gak?

Oh ya untuk flashbacknya nanti dulu ya, masih author pikirkan..

Happy Reading...

* * *

'Akhirnya bisa terlepas juga dari tempat dan orang yang... sudahlah ia pun juga tak mau memikirkannya. Yang terpenting sekarang dan seterusnya hanya ada kebebasan menyertai, bahagianya.'

* * *

Hari ini adalah hari paling bahagia untuk Ica, karena setelah semalam ia menelefon Asa. Bundanya itu besoknya bersama sang Ayah datang untuk menjemputnya, ia tak memberitahu kepada kedua orangtuanya bahwa ia akan pulang selamanya karena jika orangtuanya mengetahui dibalik akal cerdik Ica mereka pasti tidak akan memperbolehkan ia pulang. Fai pun begitu, ia juga merencanakan untuk tidak pulang ke pesantren lagi. Ia dan Ica sepakat untuk membujuk kedua orangtuanya agar mereka melanjutkan kuliah saja dan tidak kembali kesini lagi. Dan sekarang disinilah mereka, duduk disebuah sofa dirumah ndalem. Ica sebenarnya tidak mau lagi bertemu dengan laki-laki itu, namun keadaannya memaksa dirinya. Laki-laki itu menatap Ica yang sedang memalingkan wajahnya, ia menghela nafas lalu menatap Abi dan Uminya juga kedua orangtua Ica dan Fai bergantian. Perasaannya menjadi tak enak, ia seperti merasakan akan ada perpisahan lagi antara ia dan Ica.

"Begini Abi dan Umi, sebentar lagi pesantren kan diliburkan jadi Ica dan Fai meminta untuk berlibur dirumah. Katanya mau melepas kangen bersama keluarga, apakah Abi dan Umi mengizinkan santri kalian untuk berlibur dikampung halamannya?" Tanya Aby kepada Kyai Malik dan Nyai Ziah, mereka berdua tersenyum lalu menatap Ica dan Fai yang sedang berusaha setenang mungkin.

"Ya ndak apa-apa kalau Ica dan Fai mau berlibur dirumah mereka, asalkan mereka pulang ke pesantren tepat pada waktu yang telah ditentukan." Nyai Ziah bersuara mewakili suaminya, Kyai Malik. Dalam hati Ica dan Fai bersorak senang, sebentar lagi mereka berdua akan terbebas dari tempat ini.

"Terimakasih Umi, kalau begitu kami mohon pamit dulu."

"Loh? Kok buru-buru sekali? Apa tidak mau makan dahulu?" Aby, Asa, Fahri dan Aira tersnyum lalu menggeleng tak enak.

"Gak apa-apa Umi, Mas Aby dan Kak Fahri sedang ada pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan. Makanya kami buru-buru, lain kali saja ya Umi?" Meskipun kecewa dengan jawaban Asa, Nyai Ziah hanya tersenyum lalu menatap Gus Faris yang hanya diam.

Kedua orangtua Ica dan Fai menyalami Kyai Malik, Nyai Ziah dan Gus Faris. Diikuti Fai dan Ica, sebenarnya Ica enggan bersalaman dengan Gus Faris. Namun karena ia harus menjaga kesopanannya maka dengan terpaksa ia menyalami laki-laki yang menatap Ica dengan tatapan yang sulit diartikan, dalam hati Ica mencibir. Ia kesal ditatap seperti itu oleh laki-laki yang dulunya ia sukai namun rasa itu perlahan hilang karena kelakuannya.

Ica memasuki mobil dibagian belakang sambil menatap keluar, pandangannya tak sengaja menatap Gus Faris yang sedang mengobrol dengan Ustadzah Sarah.

"Dasar Pak Ustadz playboy." Gumamnya kesal, ia langsung memalingkan wajahnya.

* * *

Ica memasuki kamarnya yang telah lama tidak ia tempati namun keadaannya masih sama seperti dulu, yang membedakan adalah kamarnya begitu bersih dan rapi. Tak seperti dulu waktu ia tinggalkan, berantakan dan juga kacau balau. Ia menggeret kopernya meletakannya dengan asal lalu menjatuhkan kasurnya yang telah lama tak ia sentuh, sungguh sangat nyaman. Tempat ternyamannya selama ini adalah kamarnya sendiri terutama kasurnya, seakan ingat sesuatu. Ia langsung bangun dan berlari menuruni tangga.

Assalamualaikum Pak UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang