Bab 4 | Ganteng-ganteng Ketus

13.5K 497 7
                                    

Assalamualaikum, selamat malam semua. Terimakasih udah mau nyempetin waktu untuk baca cerita author... jangan lupa vote comentnya ya.

Happy Reading...


*  *  *

'Jatuhku bukan sekedar jatuh, namun jatuhku telah meruntuhkan seluruh ego dan pertahanan sepanjang hidupku selama ini.'

*  *  *



Pemandangan pesantren yang menenangkan hati tak membuat hati dua gadis yang sedari tadi mengeluh merasakan ketenangan, malah sebaliknya yang mereka rasakan. Hati mereka panas mendengar berbagai lantunan ayat suci al-qur'an, mungkin karena tak pernahnya mereka membaca qur'an ketika menginjak usia remaja setan-setan menumpuk ditubuh dua gadis itu. Sedari tadi mereka mengobrol dengan kekesalan tiada tara karena kedua orangtua mereka tega meninggalkan mereka di tempat yang menurut mereka sangat tidak nyaman ini, mereka yang biasanya dapat bermain dengan bebas namun sekarang harus terjebak disebuah tempat yang menurut mereka lebih menyeramkan daripada rumah hantu.

"Fai, kuping gue panas nih. Kapan sih ni anak-anak berhenti?." Bisik Ica ditelinga Fai.

"Gak cuma lo aja, gue juga. Biasanya kita bisa nonton film dan ngedengerin lagu romantis, tapi sekarang malah ngedengerin dan ngelihat hal yang membosankan kayak gini."

"Gimana dong?, kita keluar aja yuk. Gerah nih disini."

"Nanti kalau kita dimarahin terus dihukum gimana?."

"Udah lo gak usah takut, Ustadz yang ngajar aja belum dateng." Akhirnya tanpa berpikir mereka berdua berjalan mengendap-endap mengambil sendal dengan cepat lalu mengenakannya, untunglah mereka berdua duduk dibarisan paling belakang. Jadi lebih memudahkan mereka berdua untuk kabur.

Mereka berdua membalikkan badan dengan senyum yang mengembang, namun senyum itu luruh begitu saja ketika melihat seorang laki-laki berdiri menjulang seraya bersedekap dada. Laki-laki itu menatap mereka datar, Ica memandangi laki-laki itu dari atas hingga bawah. Ia berdecak kagum, laki-laki ini sangat tampan. Tubuh tinggi tegapnya menjulang, dirinya hanya sebatas bahu laki-laki itu. Kulit putih bersih dengan hidung mancung, rasa-rasanya Ica menyukainya dalam pandangan pertama. Ia menatap laki-laki yang berada dihadapannya tak berkedip, sebelum kemudian laki-laki itu bersuara dingin dan datar.

"Mau kemana?." Ica dan Fai gelagapan, mereka bingung ingin menjawab apa. Mereka memang tidak mengenal laki-laki ini, namun mereka tau sepertinya laki-laki ini merupakan orang penting dipesantren ini.

"Gimana dong Ca?." Fai berbisik ditelinga Ica, Ica hanya berdeham lalu menatap Fai sekilas.

"Mau pergi lah Bapak ganteng." Laki-laki itu melotot mendengar panggilan Ica untuknya, ia menetralkan kembali ekspresinya. Merubah wajahnya menjadi datar kembali.

"Bapak.. Bapak... saya bukan Bapak kamu, lagipula saya terlalu muda untuk dipanggil Bapak." Suara dingin dan ketus itu tak membuat Ica gentar sama sekali, sepertinya seru bermain kata dengan Bapak ganteng dihadapannya ini.

"Terus saya harus panggil apa dong Pak?." Polosnya.

Laki-laki yang ternyata adalah Gus Faris, melirik Ica dan Fai bergantian.

"Mau kemana kalian?." Tanyanya lagi mengabaikan pertanyaan polos Ica barusan.

"Aduh Bapak, ganteng-ganteng kok lemot sih. Ini loh Pak Ica mau keluar, gerah Pak disini. Berisik.. Ica sama Fai gak tenang ada disini."

"Kalian ini, kembali ketempat kalian. Acara mengajinya akan segera dimulai." Titah Gus Faris, Ica dan Fai saling tatap.

"Oke deh Pak, sampai ketemu lagi ya." Daripada mereka kena masalah yang berimbas akan melapor kepada kedua orangtua mereka, alhasil mereka mengikuti saja apa yang diperintahkan Gus Faris. Yaitu kembali bersama santri yang lainnya, sesekali Ica tersenyum sendiri membuat Fai heran dengan tingkah Ica.

Assalamualaikum Pak UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang