Bab 12 | Ribut

8.2K 358 1
                                    

Assalamualaikum semua, good malam. Selamat berhalusinasi dan berimajinasi didunia orange ini ya he..he... Happy Reading...

*  *  *

'Siapa yang memulai dia yang menyalahkan, pengecut memang seperti itu. Bersembunyi ketika tertangkap dan berbicara ketika tidak ada yang mengetahui.'

*  *  *

Tak terasa sudah genap satu bulan Ica dan Fai belajar di pesantren Al-Awaliyah ini, ilmu yang mereka dapatpun sudah cukup memuaskan bagi mereka tersendiri. Seperti membaca al-qur'an dengan tajwid yang cukup benar meskipun sesekali ada kekeliruan yang terjadi, namun bacaan mereka tergolong baik daripada waktu pertama kali mereka mengaji. Semakin hari, semenjak satu bulan ini. Ica dan Fai telah terbiasa bangun pagi-pagi sekali, dan memakan makanan yang tak seenak makanan dirumah mereka. Jangan lupakan mereka yang harus mencuci pakaian mereka sendiri tanpa adanya tukang laundry mereka sendirilah yang harus mengucek, menyikat dan memeras pakaian itu dengan penuh tenaga. Maklumlah mereka dulu terbiasa hidup mewah tanpa adanya kesusahan, pakaian sudah dicucikan dan segala hal telah disiapkan. Dan kini mereka harus bisa hidup mandiri karena keadaan yang memaksa mereka.

Kerap kali mereka bertiga, Ica, Fai dan Naila. Menjadi bahan perbincangan para santri lain, yang lebih dominan adalah Ica yang seperti mengejar-ngejar ataupun menggoda Gus Faris. Ica sebenarnya geram mendengar perkataan yang menurutnya fitnah itu, namun karena ia tak mau bermasalah disini. Ia harus menyabarkan dirinya, sudah cukup ia membuat ulah dan menjadi bad girl di SMAnya dahulu. Ia sekarang harus bisa mengontrol emosi ketika ia menjadi bahan gunjingan orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa, namun sudah sok tau menilai dirinya rendah. Ia tidak mau nantinya orangtuanya mendapat laporan akan kelakuannya ketika ia berulah, sudah cukup ia pernah membuat kedua orangtuanya kecewa. Ia tidak mau mengulanginya kembali.

Apa salahnya jika ia kerap kali memberikan candaan kepada Gus Faris, toh ia cuma menegur tanpa melewati batasan antara perempuan dan laki-laki dalam islam. Ia cuma memberikan sapaan spesial untuk Gus Faris, itu saja. Namun mereka membicarakannya seakan-akan dirinya menyodorkan tubuhnya sendiri kedepan Gus Faris, astaghfirullah. Senekat-nekatnya dirinya, ia tidak pernah berpikiran sepicik itu. Ia masih punya harga diri sebagai seorang perempuan, tidak mungkin ia merendahkan harga dirinya sebagai perempuan hanya karena seorang laki-laki. Meskipun laki-laki itu termasuk seseorang yang ia sukai.

Seperti saat ini ketika ia dan Fai yang habis kembali dari toilet, samar-samar ia mendengar seseorang membicarakan dirinya. Telinganya memerah dan terasa panas seketika, namun ia tidak ingin mencari masalah. Ia dan Fai menghentikan langkah mereka tepat dibelakang dua orang yang juga pernah menghina Naila, sahabatnya.

"Tuh si Ica gak tau malu ya, kayak selalu ngegodain Gus Faris. Tapi sayangnya Gus Faris kelihatan gak bereaksi sama sekali."

"Iya tuh, urat malunya udah hilang kemana?. Berani-beraninya ngedeketin selevel Ustadz dan anak Kyai kayak Gus Faris, mungkin dia gak punya kaca kali. Makanya gak bisa ngaca." Perempuan yang berada disampingnya tertawa.

"Ha...ha.. bener banget tuh, apa perlu kita sedian kaca yang besar supaya dia bisa ngaca dan gak sok kecantikan gitu. Cantik sih cantik, tapi gak punya harga diri gitu buat apa? Mungkin sebentar lagi dia bakal jual dirinya kali ke Gus Faris karena kebanyakan ditolak." Keduanya tertawa, tanpa menyadari Ica dan Fai yang berdiri dibelakang mereka dengan amarah memuncak yang berusaha mereka tahan.

"Pantesan di cocok temenan sama si Naila, si miskin dan si murahan. Cocok banget tuh mereka, dan satu lagi tuh temennya itu siapa?."

"Fai."

"Ah iya itu si Fai, pasti mereka sama-sama murahan. Saudaraan begitukan jelas gak jauh berbeda pasti sifatnya." Mereka berdua kembali tertawa, seketika mereka menghentikan tawanya.

Assalamualaikum Pak UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang