Jika rasa itu ada,
sejauh apapun dirimu berada,
sejauh apapun hatimu ada,
mimpiku akan selalu tentangmu
Hidup bulan seakan jauh dari kata sederhana. Malam dihotel itu, dihitungan detik pun mampu membuat masa depannya hancur sempurna.
"Gue anter lo p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mimpi itu kamu dan kamu adalah bayangan mimpi terindahku
Bulan ley s.
***
Bandung, 19.17
Disebuah taman yang hanya beralaskan rerumputan, dan penerangan dari lampu taman yang sudah terhitung jumlahnya. Dengan tidak ada sebuah bangku yang menghiasinya.
Semilir angin malam berkata disela-sela telinga, memainkan sejumlah rambut yang dilewatinya. Daun-daun mulai berguguran jatuh ketanah, membuat kesan malam ini terasa sangat menenangkan.
"Lo kenapa, lan?"
Bulan, bernama lengkap bulan ley sabita. Ia merasa kenal akan suara itu, sangat tidak asing ditelinganya. Ia menoleh, memperhatikan raut wajah orang dibelakang tubuhnya.
"Devan?" ucapnya.
Devan, orang yang sangat dekat dengan dirinya. Sahabat kecil hingga sekarang yang selalu ada disampingnya.
Devan mengambil langkah untuk mendekati bulan, ia duduk tepat disamping bulan. Mereka duduk diatas rerumputan malam, devan mengambil nafas sejenak, mengambil udara segar malam ini, lalu menghembuskannya kembali. Hingga akhirnya ia mulai berbicara lagi.
"Lo ngapain disini, lan?" "Apa.. Bokap lo?" devan mengajukan pertanyaan dan mencoba menyelidik raut wajah bulan yang terlihat muram.
Ia tahu betul, apa saja tentang bulan. Keluarga, makanan kesukaan, bahkan semuanya. Bulan tidak pernah menutupi rasa kesedihan ataupun kebahagiaannya dari seorang devan, begitupun dirinya.
"Aku kabur van, tapi ayah maksa aku buat kembali" ucap bulan, setelahnya setitik air mata keluar dari matanya, merasa tidak kuat lagi menahan banyaknya air yang sudah coba ia tampung.
Devan mengangkat sebelah tangannya, mengusap pipi bulan dengan lebut, dan menghapus air matanya. Beralih untuk menyisir rambut bulan kebelakang telinga, agar tidak menghalau wajah cantiknya.
"Jangan nangis lan" ucap devan, lalu menyentuh dagu bulan agar cewek itu mau bertatap muka dengannya.
"Kenapa lo gak mau nerima gue" "Kalau lo mau jadi pacar gue, gue bisa selamatin lo dari ini semua lan" ucapnya dengan memandang lekat kedua mata bulan.
"Aku sayang kamu van, tapi sayang itu hanya untuk seorang sahabat, nggak lebih, maaf" ucap bulan, lalu mengalihkan tangan devan yang sedari tadi menempel diwajahnya.
"Gue antar lo pulang ya lan, dingin, nanti lo sakit" ucap devan mengalihkan pembicaraan dengan perlakuan yang sudah bulan berikan kepada dirinya.
"Aku lagi pengen disini van, sendiri" devan mengerti jawaban yang diberikan bulan, ia bermaksud meninggalkan bulan, tetapi keadaan malam ini sungguh dingin, ia tidak sebegitu tega membiarkan bulan disini sendirian.
"Dingin lan," ucap devan menyangkalnya. "Aku pengen disini van," sikap keras kepala yang dimiliki bulan membuat dirinya tetap pada pendiriannya.
"Kita pulang, bulan" ucap devan, lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangan berharap bulan akan menerima uluran tangannya dan mau pulang bersamanya.
Entah dorongan dari mana, yang sejak tadi bersikeras untuk tetap disini, ditaman yang sama sekali tidak ada seorang pun yang berkunjung disana. Bulan menerima uluran tangan devan, dan devan pun membantunya berdiri.
Saat ini mereka berjalan bersisihan, tanpa ada kehangatan diantara keduanya. Bulan sesekali mengusap-usap telapak tangannya, agar memberi kehangatan walau sedikit. Devan yang menyaksikannya, tidak kuat untuk ingin sekali memeluk bulan dan memberinya kehangatan ditubuhnya.
Taman yang tidak jauh dari rumah bulan, membuatnya harus berjalan kaki kesana. Devan mengantar bulan pun sama, dengan beralaskan sandal, karena ia tidak sengaja bertemu bulan saat melewati taman.
"Besok gue jemput ya lan, kita kesekolah bareng" ucap devan setelah sampai didepan pagar rumah sederhana bulan.
"Gausah van, aku bisa berangkat sendiri" tolak bulan, tidak enak.
Pernyataan yang dilontarkan devan kepada bulan hanya membuat cewek itu menganggukkan kepala. Merasa dirinya sudah lelah jika menolak, dan bersikeras panjang lebar nantinya.
"Aku masuk ya, makasih van" ucap bulan dengan seulas senyum dibibirnya, senyum yang tidak tulus atau semacam senyum yang dipaksakan.
Bulan membuka pagar besi bercat biru itu, lalu memasuki rumahnya dan langsung menuju kamar tidurnya.
Devan yang sudah melihat bulan masuk pun memutuskan untuk pulang. Jarak rumah mereka tidak terbilang jauh, jadi kapanpun mereka saling membutuhkan akan ada satu sama lain.
***
"Lan," lena, teman sebangku bulan dan bisa dibilang sahabat bulan. Ia melewati bangku dengan gerakan tubuhnya yang lihai untuk menuju dimana bulan duduk.
"Lan....ta..tadi.." lena melanjutkan kata-katanya dengan nafas yang tersengal-sengal.
Bulan menatapnya heran, ada apa pagi-pagi sekali temannya itu mau berlari hanya untuk bicara hal yang mungkin penting menurutnya. Dengan keadaan tas yang masih setia terselempang dipunggung kecilnya.
"Kenapa barusan dateng langsung lari-lari sih len," ucap bulan, sambil membantu temannya itu untuk mengatur nafasnya yang tidak karuan.
"Tadi lo bareng sama devan?" tanya lena dengan menatap mata bulan lekat, berharap bulan memberikan jawaban yang pasti.
Bulan sekali lagi heran, mengapa temannya itu bisa tau, dan yang sekarang bulan bisa lakukan adalah mengganggukkan kepalanya.
"Pantesna atuh...." ucap lena lega sambil melemaskan tubuhnya bersandar dibangkunya.
"Emang kenapa?" tanya bulan setelah mendengar ucapan lena.
"Tadi gue denger anak-anak pada ngomongin lo habis lihat lo jalan dikoridor bareng devan," Lena mengambil nafas sejenak, lalu melanjutkan ucapannya. "ya.. Gue ma biasa aja, lo kan sama dia teman dari kecil, tapi kan anak-anak sekolah sini mah tau apa"
Bulan terdiam. Ini sebab jika dia menerima ajakan dari devan untuk berangkat bersama. Siapa yang tidak kenal seorang Devan Arviano, ketua osis SMAN 8 Bandung, dan juga ketua basket disekolah tersebut. Wajah yang tampan membuat dirinya dikagumi banyak kaum hawa disekolah itu. Kecuali bulan, yang menganggap devan hanya sebatas teman masa kecilnya.
Bulan tersentak ketika lena menepuk-nepuk sebelah bahunya. Ia menoleh, seolah bertanya "ada apa?".
"Ada Pak rudi tuh, fokus lan" ucap lena sambil terkekeh dan dibalas bulan dengan kekehan pula.