Seorang perempuan berambut ikal hitam dengan kemeja putih rapi dan celana kain hitamnya membuka pintu masuk sebuah coffee shop. Bukan sebuah coffee shop yang besar atau mewah, dan mungkin tampak sedikit terlalu sederhana untuk seorang pengacara sepertinya. Tapi Nadin tak pernah peduli, dia hanya suka coffee shop yang menyajikan kopi nikmat. Apalagi menyajikan menu vanila latte sesuai dengan seleranya. Masih tak menghiraukan orang-orang di sekitarnya, perempuan dengan rambut ikal panjangnya yang diikat itu masuk dalam barisan para penikmat kopi. Mengantri dengan telpon genggam menempel di telinga, seperti kebanyakan pelanggan multi tasking lainnya.
Langkah demi langkah, Ia semakin mendekat pada meja kasir tempat para pelanggan bertemu dengan baristanya. Titik di mana penikmat kopi bertemu dengan tangan-tangan penyeduh kopi yang ingin segera mereka sesap. Tanpa disadari, Ia telah sampai tepat di depan kasir. "Man! Do you think I am a cat that have seven lives?" ucap Nadin pada lawan bicaranya di telpon.
"Ermm... Mam," panggil seorang barista yang melambaikan tangan di depan mata Nadin. Ia tersenyum, karena berhasil mendapatkan perhatian Nadin. "Selamat datang di COFFEE AND YOU. Saya akan melayani Anda hari ini. Mau pesan apa, bu?" ucapnya dengan sopan. Nadin membalas senyuman barista yang mengenakan nametag bertuliskan Lou. "Vanilla latte, please. Not too sweet, because I already have a sweet face. And please, don't call me 'bu'. I am not that old, baby," jawab Nadin dengan menyisipkan senyuman termanis. Barista bernama Lou itu tersenyum canggung, lalu kembali bertanya, "nama kakak?"
"Ooo... Baru beberapa menit kita bertemu dan kamu sudah mau tahu namaku?" tanya Nadin dengan nada menggoda. Wajah sang barista berubah menjadi sebal, sepertinya bukan kali pertama dia bertemu dengan pelanggan macam Nadin. "Ini untuk menuliskan pesanan kakak," jawab barista tersebut yang tampak berusaha menahan emosi. "Aww... Tidak perlu mencari alasan, nona manis. Untuk orang semanis kamu, pasti aku beritahu namaku. Nadin. Spell yang benar ya N,A,D,I,N. Tanpa E," jawab Nadin sembari menggoda si barista yang terlihat semakin sebal.
Si barista hanya menuliskan nama NADIN di paper cup, lalu meninggalkan kasir untuk menyiapkan pesanan itu. "Hahaha..." tawa Nadin mendengar teguran dari lawan bicaranya. "She is cute, dude. Okay I will be in action now, talk to you at office. Bye!" pamit Nadin pada lawan bicaranya lalu mematikan sambungan telpon. Sembari menunggu, Nadin mengamati kondisi dan suasana dari coffee shop ini.
Sistem di coffee shop ini cukup unik, tak ada petugas kasir yang pasti. Hanya ada barista-barista yang merangkap sebagai kasir. Mereka menerima order, lalu langsung mengerjakan order yang ada. Dilihat dari segi efisiensi pekerjaan, jelas ini tidak ideal, pikir Nadin.
Sudah sejak 3 bulan yang lalu Ia ingin mampir ke tempat ini setiap kali dia pergi menghadiri sidang kasus, namun tak pernah sempat. Coffee shop sederhana ini hanya berjarak beberapa ratus meter dari pintu gerbang belakang pengadilan negeri kotanya. Dia menemukan coffee shop ini secara tak sengaja, saat dia terlambat ke pengadilan dan terpaksa harus parkir di sisi belakang gedung pengadilan dan berjalan agak jauh.
Dari apa yang Ia dengar, coffee shop ini cukup memiliki reputasi baik di kalangan koleganya. Harganya yang bersahabat, dan rasa kopinya yang kuat menjadi alasan mengapa banyak koleganya menyukai tempat ini. Beberapa pengacara junior di kantornya bahkan mengatakan kalau tempat ini juga nyaman untuk dijadikan tempat darurat dalam mempelajari file, karena mereka menyediakan sudut baca yang tenang. Benar saja saat Ia perhatikan, ada sebuah ruang kecil yang mungkin hanya bisa ditempati 4 orang, dan di dalam terdapat beberapa rak buku. Sepertinya dia bisa menggunakan ruang tersebut suatu hari nanti, pikirnya mengambil kesimpulan.
"Kak Nadin!" terdengar suara barista itu kembali di telinga Nadin. Dengan cepat dia bergegas berdiri dari meja yang Ia tempati untuk menunggu menuju ke counter bertuliskan pick up order. Ia melihat barista bernama Lou sudah meninggalkan minumannya untuk Ia ambil, tapi dia menginginkan perhatian barista tersebut. Ia menyesap vanilla latte yang telah disiapkan, dan seketika raut wajahnya berubah.
Nadin lalu melambai untuk mendapatkan perhatian baristanya. "Hey, barista!" seru Nadin untuk semakin menarik perhatian. Barista yang lain datang menghampirinya, namun dia menolak dan berkeras hendak dilayani oleh baristanya yang tadi. Tak lama kemudian barista dengan nametag Lou itu kembali di hadapannya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Lou yang berusaha sopan, meski wajahnya menunjukkan sebaliknya.
"Ini terlalu manis, padahal aku sudah pesan untuk tidak terlalu manis. Aku tidak suka vanilla latte yang semanis ini," ucap Nadin menjelaskan maksudnya. "Oh, maaf. Saya sudah menggunakan separuh gula saja dari takaran standar kami. Kalau masih terlalu manis, akan saya tukar dengan yang baru," ucapnya meminta maaf dan hendak mengambil minuman di hadapan Nadin. Namun dengan cepat Nadin mengambil minumannya, "tidak perlu. Lain kali buatkan aku dengan gula lebih sedikit lagi."
"Anda yakin, kak?" tanya Lou dengan wajah merasa bersalah. Nadin tentu saja tidak tega melihatnya, "sudah tidak apa. Ini juga enak kok, tapi kurang pas saja. Errm, mungkin kamu bisa menyelamatkan vanilla latte ini agar lebih nikmat bagiku."
"Ya? Apa yang bisa saya bantu, kak?" tanya barista bernama Lou itu dengan bingung. "Anda mau extra shot?" tanyanya yang dijawab dengan gelengan dan senyuman genit Nadin. Melihat reaksi wajah Nadin, perasaan Lou sudah tidak enak. "Bagaimana kalau kamu menuliskan 'Selamat menikmati, Kak Nadin," usul Nadin.
Dengan berat hati, Lou kembali mengambil cup minuman Nadin dan menuliskan seperti yang diinginkan Nadin. "Oh tambahkan, nama dan tanda tanganmu di bawahnya," imbuh Nadin yang melihat Lou sedang menulis. Anggukan kepala Lou membuat Nadin tersenyum semakin lebar. "Tambahkan juga gambar hati dan kiss," imbuh Nadin sekali lagi.
Mendengar permintaan itu, Lou berhenti menulis dan melihat Nadin dengan menaikkan sebelah alisnya seolah berkata 'really?'. Nadin tertawa dan mengibaskan tangannya, "just kidding." Belum lama menutup mulutnya, dan baru saja Lou menutup spidolnya, lagi-lagi Nadin meminta sesuatu. "Oh, on serious note. Tulis nomor kamu," ucap Nadin dengan diikuti senyuman manis nan genit.
Lou hanya menggelengkan kepala dan memberikan paper cup tersebut pada Nadin. "Just this, mam. Semoga Anda suka dan silahkan datang kembali," ucap Lou memenuhi salah satu prosedur barista di coffee shop tersebut. Nadin hanya tertawa dan mengambil paper cup tersebut. "Sure, I will come again, sweetheart."
Itulah hari pertama Nadin bertemu dengan baristanya. Juga merupakan awal mula sang barista menemukan racikan yang pas untuk secangkir kopi nikmat nan sempurna.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomanceNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...