Lou POV
Pelanggan favoritku datang kembali, batinku dalam hati ketika melihatnya berjalan melewati pintu masuk dan mulai mengatri di depan kasir. Ya, siapa lagi kalau bukan Nadin. Wait. That's a sarcasm, jangan salah paham dulu. Ya walaupun dia suka ngeselin, tapi harus kuakui kalau berbicara dengannya cukup menyenangkan. Beberapa waktu yang lalu, dia sempat menjadi teman diskusiku saat membuat materi mengenai demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR yang diwarnai kericuhan.
Dia sangat menyenangkan untuk diajak berdiskusi, memberikan banyak sudut pandang lain yang menarik juga untuk dibahas. Smart woman, itu yang bisa aku simpulkan sebagai sebuah kelebihannya. Mungkin itu satu-satunya nilai plus yang dia miliki di mataku. "Hai, Nadin. Like always?" tanyaku padanya. Dia tersenyum lebar, "Sure. Kayaknya ada yang moodnya lagi bagus nih." Aku hanya tersenyum balik dan segera membuatkan minuman favoritnya itu. Dia selalu memesan minuman yang sama. Vanilla latte.
Sebenarnya apa yang dia katakan benar juga. Moodku sedang sangat baik, bahkan melihatnya saja tidak bisa menghancurkan mood. Ah ya! Ngomong soal mood. Aku ingat kalau ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Nadin. Sebaiknya aku cepat menyelesaikan kopi pesanannya. Sembari membawa kopi pesanannya, aku juga membawa satu slice cake red velvet.
"John, aku tinggal dulu ya. Bisa handle sendiri?" tanyaku pada senior barista yang hari ini menemaniku untuk menjalankan café. John sudah bekerja bersama kami sejak pertama kali coffee shop ini dibuka. Aku dan Arya sendiri yang dulu mengajarinya membuat kopi. Kini dia lebih sering aku percaya untuk melatih karyawan-karyawan baru. "Siap, ce. Aman," ujarnya sembari membuatkan kopi untuk customer lain. Masih ada 1 customer lagi yang belum dilayani, tapi aku rasa tidak masalah. Dia juga baru saja datang.
Aku langsung meletakkan cangkir kopi pada nampan bersama dengan sepotong cake red velvet. "Yuk, kita duduk di sana," ajakku pada Nadin yang tampak bingung. "Aku kasi bonus cake nih, in house. Aku traktir buat teman diskusiku siang ini."
Nadin langsung tersenyum lebar, lalu mempersilahkan diriku untuk memimpin jalan. Dork. Aku membawanya untuk duduk di meja yang telah ditempati oleh laptopku. "Ada apa ini? Tumben aku ditraktir. Pakai senyumnya gak lepas lagi," ujar Nadin yang mulai mempertanyakan sikapku. Aku tertawa, lalu menunjukkan layar laptopku padanya. Ada website belanja online yang telah aku buka sejak tadi. Masalahnya adalah aku bingung dengan barang apa yang harus aku beli.
"Jadi, bulan depan si doi bakal ulang tahun. Bantuin pilih hadiah dong. Soalnya aku gak ngerti gimana cara pilih hadiah, nah kebetulan aku lihat kamu tahu banget barang-barang bagus. Jadi, aku minta saran. Sebaiknya aku belikan apa?"
Nadin tampak berpikir sejenak. "Kalau aku sih suka dikasi apa saja sama orang yang aku sayang. Apalagi kalau itu buatan dia sendiri. Sorry sih, bukan masalah harga atau merk yang kamu kasi, tapi lebih ke usahanya. The effort matters."
Hmm... Pendapat Nadin benar juga sih. Tapi Gin suka sekali dengan barang-barang bermerk. Dia suka memamerkan barang-barang miliknya, dan aku tahu banyak dari barang-barang itu berharga fantastis. Bukannya aku gak bisa beli, tapi kok aku selalu sayang mengeluarkan uang semahal itu hanya untuk baju atau tas. "Ya, iya sih. Masalahnya dia suka beli barang mewah gitu. Jadi, kalau aku gak kasi hadiah yang setara gitu kan ya pasti gak berharga di mata dia. Gimana mungkin aku bisa dapatkan hati dia kalau gitu?" tanyaku pada Nadin.
"Kamu bener-bener suka ya sama dia," gerutu Nadin yang aku masih bisa dengar. Kupukul bahunya dan dia tertawa. "Okay, sini deh. Kalau aku sih akan pilih belikan dia sepatu ini. Kayaknya dia tipe yang so feminine dan suka sama barang girly. Jadi high heels bakal cocok." Ide yang bagus, aku segera mendekat pada posisi Nadin untuk dapat melihat layar laptop bersamanya. Hmm... Baunya wangi, aroma ini persis seperti salah satu kue favoritku. Manis.
"Ukurannya tinggal UK size 4 nih. Berapa ukuran kaki dia?" tanya Nadin lebih jauh. Aku menggelengkan kepala. "Lah.. Ya udah ganti aja. Yang lebih general. Kalau kira-kira ukuran baju bisa gak?" Aku kembali menggelengkan kepala. "Ckckck... Apa-apa gak tau, gimana mau beli hadiah?" Aku hanya bisa nyengir. "Jangan-jangan alamatnya kamu juga gak tau?" duga Nadin yang kujawab dengan anggukan. Otomatis dia menepuk keningnya, lalu tertawa. "Payah!"
Aku cemberut dan kembali memukul bahunya agar dia tidak terus menertawakanku. "Ya udah buruan tanya dulu alamatnya, baru deh kita pikir mau kasi hadiah apa," ujar Nadin. Aku hanya melihat layar ponsel dan tak bergeming. "Gak berani?" tanyanya. "Enak aja, beranilah. Louis gitu lho. Mana ada yang aku gak berani?" jawabku tak mau dipermalukan olehnya.
Dia tersenyum mengejek, lalu mengangkat tangannya seolah sedang mengangkat telpon. "Call me if you dare," ucapnya mengejek secara tak langsung. Menyebalkan sekali. Aku langsung menekan kontak Gin dan menunggunya mengangkat telpon. "Hallo, Gin. Sedang sibuk gak?" tanyaku pada Gin. "Boleh minta alamat kamu gak? Aku mau kirim sesuatu."
....
"Gak bakal aneh-aneh. Janji deh."
....
"Okay. Aku tunggu di WA ya. Bye. Met kerja."
Aku langsung melemparkan ponselku ke atas meja dan membuang napas lega. Rasanya tegang sekali bertanya alamat saja padanya. "Takut ditolak ya?" goda Nadin padaku. Kudorong wajahnya yang membisikkan kalimat itu di telingaku. "Dasar nyebelin!" seruku padanya.
Dia tertawa terbahak. "Awww... Kok so cute sih? Kamu pasti suka sekali ya sama dia? Sampai tanya alamat saja takut ditolak," ujarnya diselingi tawa. Sepertinya dia bahagia sekali melihatku menderita. Hufft... Ya sudahlah. Ambil sisi positifnya, paling tidak sekarang aku bisa mendapatkan alamat Gin. Okay, sekarang fokus pada apa yang harus aku belikan untuknya.
"Bantuin ishhh... Aku traktir cake buat kamu bantuin aku, bukan ngetawain," protesku padanya.
"Wahhh... Maaf, Nona Louis. Bantuan sudah diberikan, kan sudah dapat alamatnya. Kalau mau bantuan lebih lanjut, mohon membayar tarif berikutnya."
Lah... Enak aja ini orang. Tanya alamat aku sendiri dong yang tanya. "Kok nyebelin sih?!"
"Okay gini aja. Kalau buat teman dekat, aku gak perhitungan kok. Jadi, gimana kalau jadi teman dekat aku dulu?" tawarnya sembari tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya.
"Deal, Nadinnnnnn!" jawabku sembari menjabat tangannya yang terulur.
"Yeay!!! Artinya kopi gratis ya tiap kali aku ke sini?"
Aku menghela napas, kemudian menganggukkan kepala. "Dengan syarat kalau aku sendiri yang buatkan kopinya. Kalau orang lain, kamu tetap harus bayar."
"No problem, mam. Now now now. Sampai mana kita tadi? Ayo kita pilih hadiah terbaik untuk gebetan jelek kamu itu."
Kupukul kembali bahunya, "Oeiii... Dia gak jelek ya. Kamu aja gak selera sama dia," balasku membela Gin. Orang yang aku sukai. Cewek cakep begitu kok dia gak suka, eh tapi gak apa. Jadi saingan aku gak semakin banyak buat dapetin Gin.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomansaNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...