Lou POV
Menangis. Lagi-lagi aku kembali menangis. Menangis dalam diam di sudut kamarku. Duduk bersandar pada sisi ranjang, menggenggam handphone erat-erat hingga tanganku mati rasa. Kenapa hatiku tidak dapat mati rasa seperti telapak tanganku? Beberapa hari ini aku memang lebih banyak diam, melamun, menangis, dan membangun skenario 'what if'.
Kenapa gak bisa dia suka sama aku, kayak aku suka sama dia. Walaupun aku bilang hanya suka, tapi kenapa rasanya sesakit ini saat patah? Aku benci merasa ditolak, benci menerima kenyataan kalau cintaku tak berbalas, tapi aku PALING BENCI merasa DIBOHONGI! BENCI! Aku benci merasa dibohongi. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku selalu mau menemaninya, meski seringkali tak diacuhkan. Aku selalu mengangkat telponnya pada dering pertama, berharap dapat banyak bicara dengannya. Ternyata semua itu hanya harapan. Hanya ilusiku semata.
Dering ponsel membubarkan skenario yang berputar seperti kaset tape kusut. Suara kece Taylor Swift langsung memenuhi indera pendengaranku, tapi aku sedang tidak ingin mendengar suara kecenya itu. "Hallo?" tanyaku dengan suara pelan. Aku bahkan mengankat telpon itu tanpa melihat siapa yang menelpon. Jelas bukan orang yang kunanti, karena bukan nada dering khusus miliknya yang berlagu.
"Belum tidur?" tanya orang tidak sopan ini entah dari mana. "Sudah malam kok belum tidur?" tanyanya kembali penuh selidik. "Kamu bisa sakit kalau sering tidur terlalu malam, atau bahkan gak tidur," omelnya kembali karena aku tak kunjung menjawab. Kayak satpam aja tanya-tanya. Eh satpam juga gak ada yang bawel kayak dia sih. "Mau cerita?" tawarnya dengan lembut.
Langsung saja aku meluapkan semua yang aku rasakan, dan kenapa aku merasa seperti ini. "Gin tadi telpon. Aku dengerin lagu bareng waktu dia lagi nunggu di lobby gedung bioskop. Terus aku tanya apa dia beneran bakal pindah terus nikah. Dia bilang iya, soalnya itu satu-satunya cara buat wujudin mimpinya. Tapi dia gak mau bilang apa mimpinya. Kamu tahu seberapa frustasi aku?"
Hanya dehaman hmm yang kudengar darinya, tapi itu cukup untuk menjadi tanda bahwa aku bisa melanjutkan kembali curhatku. "Sejak awal aku ngobrol sama dia, sejak awal aku kenal sama dia. Sejak awal, aku tanya ke dia. Apa dia akan menikah sama cowok suatu hari nanti, hidup ala orang normal. Dia jawab gak, dan gak akan, karena dia gak mau bohong kalau dia gak suka cowok. Tapi apa buktinya! Dia mau nikah! Nikah, Din!"
"Iya, Louis. Gak usah teriak-teriak. Sabar ya. Ini sudah malam lho, nanti kamu buat orang rumah pada bangun lho," tegur Nadin. "Sudahlah jangan terlalu memikirkan dia. Aku tahu kamu cinta sama dia, tapi kita gak bisa memaksakan apa yang kita mau. Dan aku pikir, kamu deserve better than Gin. Kalau dia gak bisa terima perasaan kamu, dia yang rugi."
"Gimana bisa dia yang rugi? Dia cantik, mandiri, sukses, aku biasa aja. Jelek malahan, pantes dia gak mau sama aku," ujarku kembali merutuki diriku sendiri sambil sedikit terisak.
Nadin langsung menampik kata-kataku tentang diriku sendiri. "Siapa bilang kamu jelek? Kamu itu cute tahu. Juga loveable, easy to love. Aku yakin banyak yang akan jatuh cinta sama kamu. Jatuh cinta sama kamu itu sangat mudah," ucap Nadin mempertegas pandangannya tentangku.
Entah mengapa aku merasa rasa sakit ini sedikit reda, dan terasa hangat mendengar ucapannya. Tetap saja aku tak percaya dengan apa yang Nadin katakan. Bisa saja dia sangat bias karena dia adalah teman dekatku. Dia sudah banyak mendengar ceritaku, dan kami banyak berbagi kisah. Aku seperti telah mengenalnya seumur hidupku.
"Lou, tidur yuk. Kamu gak ngantuk? Ini hampir jam 2 pagi lho. Nanti kalau jam 3, biasanya banyak hantu jalan-jalan dan usilin orang," ujarnya setengah menakut-nakutiku.
Tentu saja aku tertawa mendengar usahanya itu. "Sorry, mam. I'm not scared."
"Ah masa? Itu di sebelah kamu udah ada yang pakai baju putih mau nerkam lho," kisah Nadin berusaha meyakinkanku untuk takut. Ya kalau benar ada yang menunjukkan diri di depan mataku, ya aku takutlah. Eits, Nadin gak boleh tahu itu. Aku pokoknya harus keep cool sama dia.
"Kamu sendiri kenapa belum tidur?" tanyaku balik dengan penuh selidik padanya. Aku sudah sangat sering mengomelinya soal tidur larut malam, karena dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Nadin memang perempuan pekerja keras, banyak hal yang telah Ia korbankan untuk bisa sampai pada posisinya saat ini.
Kalau orang pertama kali bertemu dengan Nadin, tentu tidak ada yang percaya kalau dia adalah seorang pengacara. Caranya berbicara begitu lembut, suaranya menenangkan, perawakannya mungil dengan rambut curly panjang yang diikat. Mudahnya, dia itu cute dan soft. Kadang aku berpikir bagaimana kalau dia berurusan dengan orang jahat di pengadilan, atau menangani kasus kriminal, pasti gak ada yang takut sama dia kan.
"Baru selesai periksa dokumen legalitas jual beli aset sitaan koruptor yang kemarin dijatuhi hukuman itu," jawabnya dengan tenang. Aku gak ingat dia ada menangani kasus kriminal korupsi. "Ini aku cuma disuruh ngecek aset yang disita, syarat buat beli lelang nanti, juga skenario menangin lelangnya. Ada client yang pengen banget beli barang sitaan koruptor itu," ceritanya lebih lanjut. Dia ini seperti sudah tahu saja apa yang mau aku tanyakan.
"Hmm.. Okay. Mau tidur sekarang?," tanyaku memastikan. Dia menjawabku dengan hmm saja. Sepertinya dia sudah sangat lelah. "Okay. Good night," ucapku dan hendak mematikan sambungan telpon kami.
"Kamu gak bisa tidur?" tanyanya sebelum aku sempat mematikan telpon. Aku memang tidak bisa tidur. Selain karena otakku masih seperti kaset rusak, juga aku belum mendengarkan lagu-lagu sebelum tidur. Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk mendengarkan lagu-lagu sampai aku tertidur. Lagu yang kudengarkan lebih banyak pada lagu-lagu dengan lirik yang indah, menyentuh hati, bermakna dalam. Ya pokoknya lirik-lirik yang bisa banyak bercerita deh. "Aku punya satu lagu favorit. Aku pengen suatu hari kalau menikah nanti, ini jadi one of the wedding song," ucapnya tiba-tiba.
Nadin memang tahu kebiasaanku yang suka mendengarkan lagu, tapi dia belum tahu kalau mendengarkan lagu adalah ritual malamku. Tak lama kemudian handphone ku memunculkan notifikasi bahwa aku menerima sebuah file dari WhatsApp. Tentu saja nama 'Pengacara Cute' muncul sebagai pengirimnya. Langsung saja aku membukanya, dan ternyata sebuah lagu. Kudengarkan lagu tersebut, karena tak ada judul atau pun nama penyanyi.
"Nice song. Liriknya manis banget, pasti beruntung orang yang kamu nyanyikan lagu itu," ucapku usai menikmati lagu yang dikirimnya.
"Aku gak bilang mau nyanyi, cuma mau muter lagu itu aja. Lagian mungkin orang yang aku mau ajak menikah juga gak mau menikah sama aku," pukasnya dengan suara serak. Sepertinya dia sudah mengantuk. "I choose you," gumamnya.
Mungkin kupingku salah mendengar? "Apa, Din?" tanyaku memastikan.
"Itu judul lagunya. Kalau kamu gak tahu, yang nyanyi Sara Bareilles. Udah yuk tidur," ajak Nadin kembali setelah menjelaskan sesuatu yang tidak kutanyakan. Kujawab saja dengan hmm. Malas sekali jawab orang ngantuk yang ngomong gak jelas begitu. "Lou," kembali dia memanggilku dan lagi-lagi membuatku batal mematikan sambungan telpon.
"Apa?"
"Good night," ucapnya. Lalu terdengar tut, tanda panggilan telah diakhiri.
Issh... Dasar aneh.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomanceNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...