Lou POV
"Louice Natasya Romanov itu namaku," ucapku memperkenalkan diri di depan kelas. Sebagian besar mahasiswaku langsung tertawa mendengar kalimat pembukaku. Yup, pantaslah mereka tertawa. Aku baru saja menggunakan nama karakter Black Widow dalam film Avengers sebagai nama panjangku. Wajahku yang terlihat datar dan tenang membuat mereka menghentikan tawa. Lalu, aku mendengar ada suara pelan yang berkata, "seriously?"
Kini ganti aku yang tertawa dan menuliskan nama lengkapku yang benar di depan kelas. "Itu nama saya, dan kalian bisa memanggil saya Louice atau Lou singkatnya. Boleh pakai bu, kak, ce, sesuka kalian saja. Selama kalian sopan, aku akan menghargai kalian," ujarku setelah menuliskan nama lengkap beserta gelar pendidikanku.
Hari itu aku memulai kelas pertamaku, mengajar di sebuah universitas swasta terkenal di kota ini. Jumpa pertama tentu saja moment terpenting untuk berkenalan. Aku selalu berpegang pada prinsip bahwa moment perkenalan harus dilakukan dengan unik agar berkesan dan diingat. Hal ini tentu akan memotivasi mereka untuk semakin aktif dan tak canggung berbagi ilmu denganku. Berbagi ilmu adalah konsep yang aku gunakan saat berinteraksi dengan mahasiswa, karena aku percaya bahwa aku pun belajar dari mereka, bukan hanya mereka yang belajar dariku.
"Ce, usianya berapa?" tanya seorang mahasiswi yang belum kukenal namanya. "Masih jomblo gak, kak?" tanya mahasiswa yang lain lagi. Dan semakin banyak mahasiswa yang bertanya ini dan itu secara bersamaan. Aku tertawa mendengar mereka yang berebut bertanya. Mungkin karena aku membuka kelas ini dengan lawakan, maka mereka bisa sedikit lebih cair denganku. Kuangkat tanganku untuk menandakan mereka harus tenang.
"Okay. Satu-satu ya. Usiaku 25 tahun, makanan favorit Indomie lah. Selera rakyat kan, kayak kalian anak-anak kos," jawabku pada pertanyaan-pertanyaan mereka. Sontak mereka tertawa mendengar jawabanku, dan mengamini pendapatku. "Minuman favorit kopi susu. Superhero favorit, masa kalian gak tahu?" dan mereka langsung menjawab dengan Black Widow. "Soal jomblo apa gak, hmm..." Aku berlaga seperti sedang berpikir. "Rahasia dong," pukasku kemudian dan menjulurkan lidah pada mereka. Serentak mereka semua protes dan menuduhku tak seru. "Okay, gantian kalian yang cerita tentang diri kalian. Sebutkan nama kalian, nama gaul boleh, nama panggung boleh, nama asli boleh, dan alasan kalian memilih jurusan DKV. Mulai dari yang paling kanan belakang."
Satu per satu mereka memperkenalkan diri secara berurutan, dan aku mencoba mengingat nama mereka beserta wajahnya. Begitulah kelasku berjalan hari itu. Mengajar adalah salah satu passionku, selain menggambar. Sungguh menyenangkan dapat bertemu dan berbagi ilmu dengan anak-anak muda, membuatku terus memiliki jiwa muda.
"Teman-teman, sampai di sini saja ya pertemuan perdana kita. Kalau ada hal-hal yang ingin kalian diskusikan, bisa kontak ke nomor yang sudah saya bagikan di slide tadi. Atau kalian bisa juga mampir di coffee shop yang aku kelolah. Namanya adalah Coffee and You," ucapku menutup pertemuan hari itu sekaligus promosi. Langsung saja salah satu mahasiswaku dengan penampilan yang cukup unik mengangkat tangan. "Ya, Deri?" tanyaku pada mahasiswa jangkung berambut gondrong itu.
"Lokasinya di mana, bu? Dapat diskon gak?" tanyanya tanpa malu-malu.
Aku tertawa mendengar permintaan diskon. "Lokasinya di belakang gedung pengadilan negeri kota. Soal diskon jelas ada. Khusus buat kalian, auto harga member nih. Diskon 10%," jawabku dengan yakin. Mahasiswi-mahasiswi langsung memprotes diskon yang terlalu kecil, mereka meminta tambah diskon. Aku hanya tertawa dan tak memberi jawaban. "Ya sudah ayo kita tutup kelas ini dengan doa. Deri, tolong pimpin doa ya."
Mahasiswa yang kutunjuk tak merasa keberatan dengan permintaanku. Dia memimpin doa pulang dengan senang hati. Setelah itu, aku meninggalkan kelas dan segera melajukan Vespa kuno merahku menembus jalanan kota menuju ke Coffee and You. Shift piketku akan dimulai 2 jam lagi, masih ada waktu untuk makan siang nanti. Khusus hari Selasa dan Kamis, aku mengambil shift sore ke malam hari. Pada hari lain aku mengambil shift pagi hingga sore, karena aku tahu kalau Arya sahabatku itu susah sekali bangun pagi.
Coffee and You adalah coffee shop yang berdiri atas kolaborasiku dengan Arya sahabatku sejak di bangku kuliah. Sejatinya coffee shop ini digagas oleh 4 orang, aku, Arya, Deni, dan Vincent. Namun Deni dan Vincent sudah memiliki kesibukan di tempat kerja masing-masing sehingga mereka batal terlibat di coffee shop. Meski demikian, dukungan mereka padaku dan Arya tak pernah putus. Terkadang kalau baik aku dan Arya tak bisa mengawasi operasional coffee shop, salah satu dari mereka pasti bisa. Para sahabat yang sungguh dapat diandalkan.
"Siang, kak Lou," sapa seorang barista yang sudah melihatku masuk dalam Coffee and You. Aku membalas sapanya, lalu segera ke kantor yang terletak di dekat kitchen. Dalam kantor ini terdapat meja makan dan kursi yang bisa digunakan oleh seluruh karyawan untuk beristirahat secara bergantian. Tak jarang juga mereka menggunakan tempat ini untuk nongkrong. Maklum saja, karena memang aku dan Arya menyediakan meja makan cukup besar. Muat untuk 8 orang setidaknya, sehingga mereka dapat makan dan nongkrong dengan nyaman.
Aku dan sahabat-sahabatku memang orang-orang yang gila nongkrong. Kami bisa duduk dan ngopi berjam-jam sembari berdiskusi berbagai hal yang ada. Itulah salah satu alasan kami mendirikan Coffee and You, maka dari itu juga tempat kami buka sampai jam 12 malam. Semua demi memfasilitasi orang-orang dengan hobi diskusi atau sekedar nongkrong cantik seperti kami.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Arya di meja makan dengan semangkok Indomie ayam bawang dan telur rebus setengah matang. "Nih makan. Untung lu dateng lebih awal. Ngantuk banget gue," ujarnya sembari menyodorkan mangkok berisi mie instant tersebut. Aku menerimanya dengan senang hati. Baru 2 suap aku makan, Arya kembali berbicara. "Btw, tadi ada customer cewek nanyain lu. Gue bilang lu gak masuk. Kayaknya makin panjang aja daftar fans lu. Cewek cowok pada ngejar lu, heran gue. Cewek oke lah, cowok kenapa coba mau sama cewek tomboy kayak lu?"
"Sialan!" jawabku sambil memukul kepalanya. Sudah bukan rahasia memang kalau aku bisexual, dan sahabat-sahabatku tak memiliki masalah dengan orientasi seksualku. "Emang siapa yang cari aku?" tanyaku lebih lanjut. Karena aku tahu hampir semua customer yang kerap mencariku. Rata-rata mereka semua adalah pelanggan tetap yang memang ke sini hanya untuk berbincang denganku. Tapi kebanyakan dari mereka akan berhenti datang kalau aku tak meladeni.
Arya terlihat sedikit berpikir, kemudian mengangkat bahunya. Tanda bahwa Ia tak ingat atau tak tahu. "Dia bilang mau berikan nomer hp buat lu. Katanya kalau-kalau lu rindu. Gue tanya apa dia mau titip sama gue, dia gak mau. Ya udah, gue suruh dia tinggalkan kartu nama aja di link board," cerita Arya. Hmm... Okay... What a weird. "Ya udah, lu mulai shift lebih awal gak apa kan, bro? Gue ngantuk nih," pamit Arya tanpa mendengar jawaban dariku.
Dasar kebo.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomanceNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...