Chapter 5 - First Conversation

2.1K 251 34
                                    

Nadin POV

Sambil membawa secangkir vanilla latte panas, aku berjalan menuju sebuah meja yang telah dihuni oleh seorang perempuan. Orang yang telah menjadi targetku semenjak membuka pintu coffee shop ini sekitar 15 menit yang lalu. "Hey," sapaku padanya. Dia mendongakkan kepala kepadaku, lalu menyapukan pandangan pada seluruh area coffee shop. "Aku gabung di sini ya," ijinku padanya sembari membantunya membereskan beberapa lembar kertas, agar dapat memberi ruang untuk cangkir kopiku.

"Apa kurang banyak ya meja yang tersedia di sini?" tanyanya padaku dengan raut jengkel. Dia sedang berusaha mengusirku untuk berpindah meja dengan cara yang halus rupanya. Sepertinya perempuan satu ini memang harus didekati dengan cara yang halus. Classy, batinku dalam hati.

Tak kuhiraukan pertanyaan yang Ia berikan, justru aku bertanya balik padanya, "Sedang sibuk apa?" Sejujurnya aku memang ingin tahu apa kesibukan perempuan yang menarik perhatianku ini. Sikapnya yang jutek dan misterius membuatku semakin ingin mengenalnya.

Dia balas tak menghiraukan diriku. Okay, kalau begitu biar aku yang memancingnya bicara. "Kemarin lalu, itu pacar kamu?" tanyaku sedikit menyelidik. Alisnya yang terangkat satu saat mendengar pertanyaanku cukup untuk memberitahukan bahwa aku sebaiknya tidak perlu kepo. "Hmm.. Rupanya cewek straight ya. Pantas aja jutek banget sama cewek lain. Apalagi yang sekeren aku begini. Pasti takut saingan kan," ujarku padanya memberikan kesimpulan atas sikapnya yang jutek padaku selama pertemuan singkat kami.

"Aku straight atau gak, itu gak ada hubungannya sama jutek," jawabnya masih dengan tatapannya fokus pada layar laptop kecil yang sedikit menghalangi pandanganku padanya. Laptop bergambar buah apel tak utuh itu berukuran sekitar 10 inch, tidak terlalu besar untuk menutupi seluruh wajahnya dariku. Ya, tapi tetap saja mengganggu bagiku. Aku tersenyum lebar mendapat respon darinya. "Apalagi hubungan sama kamu yang ngerasa keren, jelas gak ada," pukasnya kembali kala melihat cengiran lebarku. "And... who said I am straight?"

Gotcha! Dugaanku benar, dia memang tidak benar-benar straight. Bisexual mungkin, karena aku yakin laki-laki kemarin itu adalah mantan pacarnya. Melihat ekspresi remuk lelaki seperti itu, dan caranya memperlakukan lelaki itu, aku yakin pernah ada sebuah kisah di antara mereka berdua. Bertahun-tahun aku bekerja sebagai pengacara, mengurus banyak kasus perceraian, tentu membuatku menyaksikan banyak hal mengenai hubungan dua orang manusia yang karam.

"Kalau gitu jangan jutek sama aku dong. We play on the same team," jawabku atas pernyataannya.

Dia menghela nafas, kemudian mengalihkan pandangannya dari layar laptop kepadaku. "Apa aku tidak bisa mendapat ketenangan untuk menyelesaikan pekerjaanku?"

Kugelengkan kepala, "Aku pengen ngobrol aja sama kamu, memang salah ya kalau aku mau kenal sama kamu?" tanyaku balik diikuti dengan senyuman manis.

Terdengar helaan nafasnya, lalu menatapku tajam. "Jujur deh, kamu maunya apa?" tanyanya penuh selidik padaku. Aku hanya tersenyum manis dan dengan senang hati mengulurkan tangan. "For real?" Kuanggukkan kepala pada pertanyaan dan wajah tidak percayanya atas sikapku. "Fine," jawabnya lalu meraih jabat tanganku. "Louis," ucapnya memperkenalkan diri dengan singkat.

"Nadin," jawabku balik tanpa melepaskan jabatan tangan kami. "Just Louis? Gak punya nama panjang?" tanyaku lebih detil untuk mengetahui nama panjangnya. Dia mendengus kesal mendengar pertanyaan yang seolah menginterogasinya.

"For now itu aja. Memang kamu sendiri gak punya nama panjang?" tanyanya balik padaku.

Senyuman penuh percaya diri tersungging pada bibirku saat mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja ada. Mau tau?" tanyaku memberikan pancingan. Dia menganggukkan kepala. Gotcha! One more point for me. "Nadinnnnnnnnn....."

Dia langsung menghentakkan tangannya yang sejak tadi masih berjabat denganku, wajahnya terlihat kesal, dan aku tentu saja tertawa terbahak. Memang sangat menyenangkan mengganggu manusia ini, membuatnya sebal padaku sepertinya akan menjadi hobi baru bagiku. "Gak lucu tau, nyebelin," omel Louis padaku.

Kedua tanganku langsung menangkup di depan wajahku sambil menahan tawa. "Sorry, my lady. Bad jokes, but its funny nonetheless," ujarku meminta maaf. Dia memukul tanganku, lalu berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tanpa kusangka, dia menjewer telingaku dan membuatku mengaduh meski tak sakit. Malunya sih yang bikin sakit, karena dilihat oleh orang-orang lain.

"Awas kamu bikin bercandaan jelek gitu lagi. No more dad jokes," ujarnya dengan puas setelah melakukan aksinya. Kugosok telingaku yang tak sakit, dengan wajah pura-pura merintih kesakitan. Lalu yang tak kusangka kembali terjadi. Dia tersenyum saat mendengar gerutuanku mengenai rasa maluku yang lebih besar dari rasa sakit atas jewerannya.

"Apa yang sedang kamu kerjakan?" tanyaku padanya yang telah kembali fokus pada laptopnya. Aku tahu kalau dia tak hanya fokus mengerjakan laporan. Dia mengetik, tapi juga sesekali kulihat membuka browser. Memang aku hanya melihat pantulan samar layar laptopnya dari kaca jendela, tapi itu cukup untuk memberitahuku bahwa Ia tidak hanya mengerjakan laporan atau apalah itu.

Dia tampak diam dan berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Sebenarnya aku sedang berusaha mendekati seorang perempuan, tapi sepertinya dia susah sekali untuk membuka diri padaku. Apa kau punya tips yang bisa aku lakukan?"

Tentu saja! Pekikku dalam hati. Masa makhluk dengan banyak fans seperti diriku ini tidak tahu bagaimana cara membuat seseorang terpikat padaku. "Easy lah. Pertama, cari tahu dulu apa dia juga circle kayak kita. Atau setidaknya dia gak straight banget." Dia menganggukkan kepala tanda bahwa perempuan yang disasarnya memang sudah lolos check not straight. "Yang kedua, apa sudah punya pacar atau belum. Kalau punya pacar, bagus. Kalau belum punya pacar, bad. Atau kalau gak bisa move on dari mantan, that's worse. Dan the worst among it all, kalau dia gak punya hati. So, dia yang mana?"

"Kalau dia punya pacar justru gak baguslah," bantah Louis pada tips kedua yang aku berikan.

Aku menggelengkan kepala, diikuti dengan mengangkat telunjuk dan menggerakkannya kiri dan kanan. "Ckckck... Di situ kamu salah. Punya pacar itu bagus, artinya persaingan kamu hanya dengan 1 orang. Kalau dia single, kamu justru harus bersaing dengan banyak orang. Paham?"

Anggukan kepala dari Louis cukup sebagai tanda untuk membuatku melanjutkan tips yang lain. "Selanjutnya, kamu harus tahu semua informasi detil yang ada pada CV dia."

"Huh? Emang lamaran kerja?" tanya Louis dengan heran.

Aku tertawa mendengar jawabannya. "Kamu perlu tahu kontak dia, di mana dia tinggal, di mana dia kerja, supaya kamu bisa kirim hadiah, atau sekedar kirim gombalan romantis yang super niat. Cewek itu suka banget dapat perhatian dari kita. Mulai saja dengan hal-hal kecil."

Lou mengangguk paham dengan apa yang aku sarankan. "Benar juga. Dia memang jauh sih dariku, makanya susah untuk bisa bertemu."

"Well, apa kamu sudah pernah ketemu sama dia?" tanyaku yang tak bisa menahan rasa kepo. Dia menggelengkan kepala. "Okay, emangnya dia di mana?"

"Jauhlah pokoknya. Kayak naik pesawat dari sini sekitar 4 jam," jawabnya dengan memberikan petunjuk saja. Hmm... Sepertinya orang luar pulau.

"Memang kamu yakin kalau dia orang nyata? Beneran orang baik-baik? Gimana kalau dia cuma penipu?" tanyaku yang meletakkan banyak curiga pada orang yang dikejar oleh Louis. Sayang sekali kalau perempuan sepertinya menghabiskan waktu untuk mengejar orang yang gak berguna. Sepertinya Louis tipe orang yang serius, terlalu serius menjalani hidupnya. Mungkin kehidupan cinta baginya juga bukan sebuah permainan. Berbeda denganku yang biasanya lebih suka bermain-main.

Louis tampak berpikir sejenak, sebelum dia mengangkat bahu seolah tak peduli. "Kita lihat saja nanti," jawabnya. Meski jawabannya terkesan cuek, tapi raut wajahnya terlihat gusar. Mungkin dia mulai mengevaluasi kembali perempuan yang dia kenal itu. "Aku harus kembali ke belakang bar sekarang, sebentar lagi waktu bagiku untuk bekerja," pamit Louis kemudian merapikan barangnya.

"Okay. Have fun," pesanku padanya.

*********

Law of Perfect CupWhere stories live. Discover now