Nadin POV
Sepertinya dia memang benar-benar menyukai perempuan bernama Gin itu. Walaupun aku tidak melihat sesuatu yang spesial dari Gin, tapi kurasa bukan hakku untuk menghakimi. Setiap orang bisa jatuh cinta karena berbagai alasan. Ya, contohnya seperti orang di depanku ini. "Bu Nadin, ada beberapa hal yang mau saya tanyakan berkenaan dengan case Pak Hong. Beliau berkata kalau case sebelumnya yang serupa pernah ibu tangani. Jadi, saya diminta untuk mengumpulkan informasi yang kurang. Apa ibu bisa bantu?" tanya Lisa.
Namanya Lisa, dia tinggi, putih, rambutnya panjang. Pendek kata, dia cantik. Banyak rekan laki-laki di kantor ini berusaha mendapat perhatiannya, namun entah karena alasan apa, dia lebih memilih memperhatikanku. Bukannya aku mau merendahkan diri sendiri, tapi dibanding dengan laki-laki di luar sana, tentu aku bukan tandingan yang hebat. Dia selalu menunduk setiap kali bertemu denganku, juga sikap kikuknya, semakin menekankan kalau dia malu berada di dekatku. Seperti orang kasmaran yang berada di dekat orang yang mereka suka. Terkadang kalau aku menunjukkan sikap perhatian, wajahnya akan langsung menjadi merah.
"Bisa. Sini biar aku lihat dulu. By the way, nanti siang ada rencana?" tanyaku padanya. Dia menggelengkan kepala kecil dan kembali menunduk dengan wajah mulai memerah. See. That's what I mean. "Makan siang bareng yuk. Jen bilang aku diminta mengajakmu. Nanti Denis juga ikut. Kita mau rayakan kemenangan case pertama kalian."
Dia kembali menganggukkan kepala kecil. Aku mengatakan semua itu sambil memeriksa dokumen yang Lisa berikan. Bukannya aku tidak menghargai keberadaannya, hanya saja aku tidak mau memberikan ide yang salah padanya. Its not a date after all.
"Nanti mau makan siang di mana, bu?" tanya Lisa dengan suara pelan.
Aku diam dan berpikir sejenak. Setauku di coffee shop milik Lou sedang ada promo makan siang, dan kata orang-orang ada menu spesial yang enak. "Di Coffee and You saja, yang dekat kantor pengadilan negeri," jawabku pada Lisa. Dia menganggukkan kepala dan tersenyum. "Kenapa?" tanyaku dengan heran.
"Gak apa, bu. Saya cuma hitung berapa uang yang saya harus bawa untuk traktir semuanya," jawabnya dengan polos dan malu-malu.
Aku sontak tertawa mendengar jawabannya. Mana mungkin pengacara senior seperti aku dan Jen akan meminta mereka mentraktir kami. "Don't worry. Its on Jen this time. Ingat, kita ini yang mau rayakan keberhasilan kalian. Kami juga ikut bangga kalau junior yang kami bimbing berhasil menyelesaikan kasus sendiri. Juga hasilnya sangat memuaskan, kalian menang telak. Kamu juga tampil sangat bagus saat di persidangan."
Lisa kemudian menganggukkan kepala dan kembali menunduk dengan wajah bersemu semakin merah. Ah, mungkin dia malu karena salah sangka. "Setelah aku selesai dengan dokumen ini, kita berangkat ya. Kita berangkat bersama saja. Denis sudah ada di pengadilan, Jen akan langsung ke lokasi karena dia masih ada meeting dengan client." Anggukan kepalanya kembali menjadi satu-satunya jawaban. Dasar anak pemalu. Imut sekali.
--- di Coffee and You ---
"Duduk aja dulu. Nanti aku pesankan," ucapku pada Lisa sembari membimbingnya untuk menempati meja untuk 4 orang. Dari sini kami masih bisa membaca menu yang tertera di atas bar dengan jelas. Di depan coffee shop sudah tertulis menu spesial makan siang bulan ini. Mereka menjual prawn spaghetti aglio olio sepaket dengan segelas ice latte.
"Saya pesan tuna spaghetti carbonara dengan ice caramel macchiato saja, bu," ujar Lisa tak lama setelah melihat menu yang ada. Aku menganggukkan kepala, tanda memahami permintaannya. Hmm.. Aku pesan prawn aglio olio dan vanilla latte pastinya.
"Okay, tunggu sebentar. By the way, masih ingat kan apa kataku dan Jen. Kalau kita di luar kantor, panggil nama saja. Gak perlu terlalu formal lah," ucapku sembari tersenyum. Aku harus memikirkan cara untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu kaku. Sejak di mobil dia terlihat begitu nervous. Lagi-lagi dia hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomanceNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...