Lou POV
Entah mengapa hari ini terasa aneh. Ada saja orang yang datang untuk mencariku. Mulai dari mahasiswa, mantan, sampai orang yang sedang mengejar perhatianku. Bukannya mau sombong, tapi aku tahu bahwa memang aku punya banyak penggemar, apalagi setelah mengelolah Coffee and You. Aku tak pernah merasa bersikap genit, hanya ramah saja. Sepertinya sikap ramahku seringkali dimaknai berbeda oleh para pelanggan coffee shop. Ponselku kembali berbunyi, aku sungguh malas mengangkatnya. "Sampai kapan itu telpon mau dikacangin?" tanya Jeff salah seorang barista yang membantuku siang ini. Tahu kalau orang itu lagi yang menelpon, aku jadi malas mengangkatnya. Kukedikkan bahuku, tanda tak peduli.
Syukurnya coffee shop sedang tidak terlalu ramai, jadi aku bisa membiarkan Jeff melayani pelanggan seorang diri. Sementara aku sibuk menyiapkan materi untuk kelas minggu ini. Satu atau dua pelanggan yang datang cukup sabar menunggu Jeff menyiapkan pesanan mereka. Aku hanya membantu menerima pesanannya. Jeff memang lebih suka menyiapkan minuman, ketimbang berbicara dengan pelanggan. Maka dia selalu memintaku atau Arya untuk menerima pesanan, dan dia langsung mengerjakan pesanan yang masuk. Khusus untuk Jeff, kami memang memberikan pengecualian itu sebab memang Jeff memiliki rasa tegang dan sikap kikuk yang luar biasa parah bila bertemu dengan orang baru. Beruntung skill meracik minuman yang Ia miliki cukup bagus, sehingga cukup untuk menutupi kekurangannya itu.
"Mau sampai kapan kamu tak menghiraukan aku?" tanya seorang lelaki sebayaku yang kini berdiri di depan kasir dan menatap mataku dengan tatapan sayu. "Perlu berapa kali aku menelpon sampai kamu mau mengangkatnya?" tanyanya kembali saat tak mendapat jawaban dariku. Aku hanya diam dan balas menatap matanya yang sayu dengan pandangan kosong. "Aku gak akan pindah dari sini sebelum kamu mau bicara denganku. Kita perlu bicara tentang kita," ujarnya kembali.
Kugelengkan kepalaku dan memasang wajah jengkel. "Perlu berapa kali aku bilang kalau tak ada lagi tentang kita. Kita sudah putus, Fan. Mana dari kata putus yang kamu gak mengerti? Please, jangan ganggu aku kerja."
"Mas, ayo buruan. Itu kakaknya sudah bilang gak mau ngomong sama situ. Udah buruan mau pesan gak? Saya ada banyak orderan nih," tegur abang ojol yang berdiri mengantri di belakangnya. Aku langsung saja mempersilahkan abang ojol itu untuk menunjukkan pesanannya. Stefan memang memberikan jalan untuk abang ojol itu memesan lebih dulu, tapi dia masih tetap tak bergeming di tempatnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan berdecak kesal melihatnya yang keras kepala. Sengaja kutinggalkan dia di sana, sementara aku menyiapkan pesanan dari ojol bersama dengan Jeff.
Jeff kemudian menyikutku dan menunjuk ke arah Stefan menggunakan tolehan kepalanya. "Kasihan, bos. Lagian sudah gak ada pelanggan. Nanti aku bisa ambil pesanan kalau ada pelanggan," ucap Jeff diikuti dengan senyuman. Kuhela nafas lelah dan dengan berat hati keluar dari balik counter dan bar. Aku langsung berjalan ke salah satu meja kosong yang ada di coffee shop dan diikuti oleh Stefan. Jeff juga mengantarkan secangkir kopi susu untuk Stefan, agar dia lebih rileks.
Ehemmm... Deham Stefan untuk menarik perhatianku pada apa yang hendak dia bicarakan. "Apa aku harus jauh-jauh dari KL ke sini untuk ngomong sama kamu?" tanya Stefan. Aku hanya mengangkat bahu tak peduli. "Aku gak mau putus gitu aja, Lou. Kasi aku penjelasan kenapa kamu mau kita putus? Apa karena LDR?" tanyanya mulai menduga. "Atau karena kamu cemburu?" Aku tak menjawab. "Atau karena aku kurang punya waktu untuk kamu?" Hell no! Aku juga sama sibuk dan tak punya cukup waktu. Aku mengangkat tangan sebelum dia memberikan dugaan yang semakin ngaco.
"Sorry, tapi alasan aku tetap sama. Aku gak cinta sama kamu, Fan."
Stefan tertegun dan kemudian melihat manik mataku lekat, mencoba mencari kebohongan atau bahkan setitik keraguan. Sia-sia saja, karena aku memang tak ragu sama sekali. Sejak awal kami berpacaran, aku memang tak benar-benar mencintainya. Hanya karena teman-teman kami yang terus menerus menjodohkan kami berdua, juga karena teman-temanku yang merasa Stefan baik untukku. Aku berusaha, aku benar-benar mencoba, tapi aku tak bisa. Tak ada chemistry atau jantung yang berdegup kencang. Tidak juga saat dia mencium dan melumat bibirku. Bahkan aku tak merasa tegang, nervous, atau anticipate saat kami hanya berduaan di kamarnya. Tak ada rasa apapun, hambar.
"Sama sekali tidak pernah mencintaiku?" tanya Stefan memastikan.
Kugelengkan kepalaku dengan yakin. "Sejak awal kita jadian, aku sudah pernah bilang padamu. Aku tidak mencintai kamu, tapi kamu bilang kita harus mencoba. Kamu minta kesempatan, dan aku berikan. Nyatanya perasaan aku gak berubah, Fan. Apalagi dengan jarak yang kemudian juga menjadi kendala di antara kita. Apa lagi yang mau dipertahankan atau diperjuangkan, Fan? Sudahlah mari kita akhiri dengan baik. Kamu move on dan cari cewek lain. Masih banyak kok yang mau sama kamu," ujarku panjang lebar pada akhirnya. Entah sudah berapa kali aku memberikan kata-kata ini padanya.
Stefan menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangannya, menundukkan kepala dengan lesu. Aku tahu pasti berat baginya, sampai dia benar-benar terbang pulang ke sini dari KL untuk menemuiku. Kuusap pelan kedua punggung tangannya, lalu keremas tangannya. Memberinya kekuatan, bahwa dia pasti bisa move on dariku. "I am so sorry, Fan. You are a good man, just not for me. I can't love you like you love me. Its not fair for you, and for me too," ucapku menutup pertemuan kali ini. Aku berdiri dari kursiku dan mengecup keningnya. Kubelai rambutnya, lalu pipinya, dan mengangkat wajahnya untuk melihatku. Bisa kulihat kesedihan di matanya, juga rasa sakit. "Thank you for loving me, Stefan."
Itulah kali terakhir aku mau melihat dan berbicara dengannya tentang hubungan kami yang sejatinya sudah aku akhiri semenjak 1 bulan yang lalu. Hatiku kali ini terpanggil pada seorang perempuan, seorang yang terpisah jarak dan waktu denganku. Kami bertemu di Instagram dan berbalas pesan secara intens, sampai akhirnya kami bertukar nomor WA. Kami belum pernah bertemu secara nyata, namun aku sudah merasa sangat tertarik dengannya. Rasanya aku ingin sekali mencari waktu dan mengumpulkan ongkos untuk bertemu dengannya yang berbeda pulau denganku. Siapa tahu dia memang akan menjadi tambatan hatiku.
"Ouch... Pasti sakit sekali jadi cowok itu," celetuk sebuah suara saat aku melalui sebuah meja yang tak jauh dari tempatku dan Stefan berbicara tadi. Ternyata perempuan menyebalkan yang minggu lalu datang ke sini. Pakaiannya rapi, baunya wangi, wajahnya cute, tapi menyebalkan sekali. Aku memberikan tatapan tajam padanya, seolah berkata jangan ikut campur urusan orang. Menyebalkan sekali perempuan ini, menguping pembicaraan orang, gak sopan. "Woah... Aku tidak tahu menahu apa masalah kalian," ucapnya sambil mengangkat tangan seperti penjahat yang tertangkap polisi dan menyerah. "Tapi siapa saja tahu kalau kau baru saja menghancurkan hatinya, hanya dengan melihat ekspresinya," jelas perempuan itu sembari menujuk Stefan dengan jempolnya.
Aku hanya dapat menghela nafas, kemudian tak menghiraukan perempuan menyebalkan itu.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomansaNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...