" Setiap Yang Bernyawa Pasti Akan Menghadapi Kematian"
Q.S Al Ankabut: 57
.
.
.
Sebenarnya Ahsan sama sekali tidak mengerti dengan kompensasi berupa rahasia yang diberikan oleh Fatih. Baginya, kata-kata yang diucapkan Fatih tidak begitu penting. Tapi dia telah menerima bayaran dan perkataan seorang lelaki harus ditepati. Jadilah dia terpaksa menjadi saksi dua untuk rivalnya ini.
Awalnya acara berlangsung dengan khidmat. Suasana sakral sangat kental terasa. Terutama menjelang akad. Ahsan dapat melihat dengan jelas wajah pucat laki-laki itu yang tidak bisa disembunyikan. Dia tahu tentu saja Fatih menjadi pucat karena tegang. Yang dia sesalkan adalah sekarang dia harus menyaksikan laki-laki lain yang menyebutkan nama yang selalu disebutnya dalam doa. Tapi tak mengapa, toh memang jauh-jauh hari dia sudah menyiapkan hatinya. Pelariannya ke Roma harusnya tidak sia-sia.
" Ananda Thariq Al Fatih, apakah anda sudah siap?"
" Insha Allah siap!"
" Thariq Al Fatih bin Amir Abdullah Nasirun, aku kawinkan dan nikahkan engaku dengan putriku Asshyifa binti Muhammad Yusuf Anshari dengan hafalan Al Quran tiga puluh juz dan berlian lima karat dibayar tunai."
Semua orang menunggu jawaban Fatih dengan jantung yang berdebar-debar. Bahkan Ahsan yang dinobatkan menjadi saksi dadakan sama tegangnya dengan saksi yang lain. Tapi dia tidak mendapatkan jawaban melainkan sebuah senyuman.
Fatih menatap ke arah ayah mertuanya itu sebentar sebelum akhirnya pandangannya teralihkan pada Ahsan. Fatih tersenyum samar, membuat Ahsan kebingungan dengan situasi yang terjadi begitu juga dengan tamu undangan lainnya. Dan dalam hitungan detik, tubuh tegap itu tumbang ke samping. Sontak saja semua orang berseru kaget melihatnya.
Pak Yusuf yang merupakan ayahnya Shyifa hanya bisa terdiam di tempat. Begitu juga Ahsan yang masih duduk di tempat semula. Hanya pak penghulu dari KUA yang langsung sigap memeriksa keadaan Fatih dan membuat sebuah pengumuman.
" Innalillah wa inna ilaihi raji'un. Thariq Al Fatih, pukul sembilan tiga puluh." Suasana tegang tadi pecah menjadi haru. Semua pasang mata mengalirkan air mata kesedihan. Meskipun tamu-tamu di sini adalah ikhwan, tapi siapaun tak kuasa melihat peristiwa yang terjadi.
Dari dalam ruangan muncul banyak akhwat yang mengintip dari jendela, ingin mengetahui apa yang terjadi. Tak lama datang dua perempuan yang Ahsan kenal. Yang satunya adalah mamanya Shyifa dan yang satunya ibunya Fatih. Ahsan mengenal Bu Najma sudah cukup lama sedangkan Bu Nayla, Ahsan pernah bertemu beliau di depan butik saat sedang hujan bersama dengan Shyifa (baca di CIMI).
" Fatih, Fatih bangun ya nak." Dua wanita itu tidak bisa menahan kesedihannya. Tangis mereka membuat suasana duka semakin menjadi-jadi. Ahsan berdiri dan menyingkir ke samping pintu untuk memberikan akses kepada keluarga besar untuk mendekati jasad Fatih.
Tak lama setelah itu muncullah sosok yang paling ditunggu-tunggu. Ahsan begitu kaget melihat perempuan dengan gamis putih yang tengah berdiri di depan pintu. Dia tertegun melihat keadaan di sekitar. Air mata langsung menggenang di matanya tatkala dirinya melihat pemandangan yang terjadi di depannya.
Belum sempat pecah tangisnya, kesadarannya mendadak terenggut. Shyifa pingsan begitu saja saat melihat jasad calon suaminya dalam keadaan beku di dalam pelukan ibundanya.
Ahsan yang melihat itu reflek menahan beban tubuh Shyifa. Karena dirinya juga berada tepat di samping wanita itu. Semua orang sedang sibuk melihat kondisi Fatih, para pria juga bergegas memberi pengumuman dan merubah tenda walimah menjadi tenda jenazah. Akhirnya dengan sangat terpaksa Ahsan menggendong Shyifa dengan dibimbing oleh seorang wanita yang tengah hamil, dia membawa tubuh yang non mahramnya itu ke sebuah kamar.
" Terima kasih ya mas, maaf sudah merepotkan." Wanita itu, meski tampak sedih namun tetap bisa menyesuaikan kondisi.
" Boleh titip Shyifa sama anak saya sebentar. Sama mau ambil obat, sebentar saja mas."
" Tapi-" belum sempat Ahsan menolak, Shafa sudah pergi meninggalkan dirinya dengan seorang gadis kecil.
" Oom ante Cipa kenapa?" anak kecil itu bertanya pada Ahsan.
" Ante... ante... bangun dong ante." Marwa, anak kecil yang dititipkan pada Ahsan itu justru naik ke atas kasur dan mengguncang tubuh Shyifa yang sedang pingsan.
" Heh, jangan dibangunin dek." Ahsan dengan sigap mengambil Marwa dari tubuh Shyifa agar anak kecil itu tidak mengganggu Shyifa.
" Kenapa? Malwa mau main sama ante Cipa. Tadi oom Fatih juga tidul, masak ante juga ikut-ikutan tidul sih. Gak celu ah!" protes Marwa yang memang masih belum mengerti situasi dan kondisi yang sebenarnya terjadi.
Sedangkan Ahsan, dia pusing sendiri menghadapi anak kecil dengan kecerewetan tingkat dewa seperti yang ada di hadapannya ini. Walaupun masih cadel, sepertinya Marwa telah menyerap banyak kosa kata di usia balitanya.
" Maaf ya mas agak lama, makasih udah bantu bawain Shyifa sama jagain anak saya." Ahsan hanya mengangguk sebagai jawaban dan segera pergi dari kamar itu. Bagaimanapun, hari itu adalah hari yang tidak akan dilupakannya.
*
*
*
Jangan lupa vote dan komennya teman...
Luv,
ASMARA
YOU ARE READING
ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2
SpiritualKamu bulan dan aku matahari. Kamu senja dan aku fajar. Kamu gelapnya malam dan aku terangnya siang. Kita beda, jauh, dan berada di waktu yang berbeda. Kita bahkan sama-sama menolak untuk bersama. Tapi kita berada di langit yang sama. ... Dia tahu, b...