#6: Al Mulk Yang Sama

337 31 2
                                    

Ini sudah seminggu sejak kabar ta'aruf dari Cinta dengan seseorang yang masih dirahasiakannya telah kuketahui. Dan selama seminggu ini pula aku mulai menyukai berlama-lama di sebuah masjid yang persis berada di seberang cafe tempat biasa aku numpang wifi sekaligus menulis artikel.

Sebenarnya, sudah lama semenjak aku kembali lagi ke kota kelahiranku ini aku melihat masjid yang selalu ramai di jam-jam sholat itu, terlebih sejak aku mulai sering semedi di cafe yang berada di seberangnya.

Tapi baru seminggu inilah aku mulai membiasakan diri untuk menyempatkan waktu sebelum menulis untuk melaksanakan shalat dhuha. Dan masyaallah, selain memiliki interior yang indah, fasilitas yang lengkap, dan ruangan shalat yang nyaman untuk akhwat karena benar-benar terjaga privasinya (tidak hanya dihijab dengan kain melainkan tembok kaca yang dilapisi gorden). Masjid ini juga memiliki marbot yang rajin sekali tilawah.

Setiap waktu dhuha, selalu ku dengar berbagai macam ayat suci dilantunkan dengan merdu meskipun tanpa mikrofon. Namun karena suasana dhuha yang sepi jamaah dan kondisi masjid yang hening, suara merdu itu selalu lolos ke segala penjuru masjid.

Dan yang paling ku suka adalah surat Al Mulk yang pasti, tidak pernah absen untuk dilantunkan. Belum lagi suara ini sama persis dengan suara marbot yang melantunkan surat Al Mulk usai shalat isya di musholla rumah sakit tempat aku menjenguk... Almarhum Mas Fatih.

Entah perasaanku saja atau memang marbot ini orang yang sama. Ah, tapi tidak mungkin kan marbot yang di Bandung sekarang dimutasi ke Batam? Ada-ada saja aku ini.

Tabaarakallazi biyadihil mulku wahuwa 'ala kulli syai in kodiir

Setelah puas murajaah surat favorit ku itu. Aku bangkit berdiri dan mulai melanjutkan rutinitasku seperti biasa, menulis.

Sebagai seseorang yang pernah hidup dalam dunia literasi terutama dunia tulis menulis, tentu tidak mudah bagiku untuk melepas habit itu. Meskipun editor hanyalah sebuah profesi belaka, tetapi aku menyukainya. Aku menyukai setiap ragam cerita yang harus ku baca setiap hari, ku edit setiap hari. Dan setelah lepas dari itu semua, rasa-rasanya seperti ada yang kurang dalam hidupku.

Jadilah, akhirnya aku memilih untuk menjadi seorang penulis lepas. Sebenarnya bisa saja aku melamar kerja kembali, tetapi ku rasa saat ini bukan saat yang tepat untuk menekuni dunia yang sama. Entahlah. Kejadian itu benar-benar membuatku terpuruk. Aku yang ku pikir sudah sangat alim ini ternayata sangat lemah iman. Mudah sekali hidupku jatuh hanya karena sebuah perasaan.

Meskipun sudah membentengi hati ini mati-matian dari cinta yang bukan karena Allah. Pada akhirnya aku kalah. Mas Fatih, meskipun sudah ku jaga betul-betul batasan antara aku dan dirinya sebelum kami terikat kata halal. Akhirnya aku pun dibudak oleh nafsu. Meskipun aku menyangkal, ternyata penantian enam bulan itu tidak memadamkan api cintaku. Pun tidak juga membuatku menahan gharizah nau'. Meski sudah ku jaga dengan segala cara, hatiku terus menginginkannya. Lisanku tak henti berharap akan kesembuhannya, agar tersegeralah ikatan halal di antara kami.

Ya Rabb... apakah selama ini yang ku rasakan pada Mas Fatih hanyalah nafsu belaka? Hingga Kau pisahkan kami dengan caraMu yang sedemikian rupa.

Apakah cinta yang dijaga Mas Fatih terlalu suci untuk dimiliki diriku? Hingga Kau lebih memilih mengambilnya, karena dia lebih mencintaiMu dan Kau pun mencintainya.

Terkadang aku merasa sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan Mas Fatih kala mengingat kembali masa lalu. Tapi hati ini tak bisa menyangkal bahwa perasaan cinta suciku perlahan berubah menjadi rasa ingin memiliki.

Aku pun tertampar. Oleh kenyataan. Benarlah bahwa segala sesuatu tak selalu mengikuti hati. Karena hati mudah terbolak-balik. Niat yang berbelok itu menjadi sebab musabab Allah masih ingin melindungiku atau melindungi Mas Fatih dari jeratan nafsu cinta. Astaghfirullah... sudah muhasabah pun aku masih terngiang-ngiang dirinya. Malah semakin merindukannya. Itulah kenapa aku harus hijrah seutuhnya. Agar semakin jauh dari pusaranya, semakin bisa ku menata kembali hati yang telah rusak ini.

Drrrtttt....

" Halo, assalamualaikum."

" Kakak di mana?"

" Dijawab dulu salamnya Cinta."

" Waalaikumsalam. Kakak di mana? Jadikan nemenin aku hari ini?"

" Maaf ya Cinta, kakak nggak bisa nemenin kamu. Next time aja ya."

" Yahhhh... kok gitu sih? Kan kakak udah janji."

" Heh, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan Esmeraldah. Siapa juga yang mengiyakan permintaanmu itu."

" Hahahahh... Esemeraldah? Siapa tuh. Iya deh, iya."

" Ya sudah, kakak tutup ya."

" Yaqin nih kak nggak mau nemenin aku? Nggak penasaran gitu sama calon aku."

" Nggak tuh."

" Ish, kak Shyifa mah gitu. Ya udah ngambek nih, ngambek."

" Hahahahh... lain kali ya Cinta."

" Iyadeh. Assalamualaikum kak."

" Waalaikumsalam warahmatullah."

Aku terkekeh geli melihat ponsel yang sekarang sudah menampilkan wallpaper kucing berwarna abu-abu. Aku masih suka syok sendiri menghadapi Cinta yang sekarang. Kalau saja kalian tahu betapa introvert dan kakunya dia dulu, kalian pasti juga nggak akan percaya dengan perubahan drastis dari Cinta.

Sudahlah, sebaiknya aku melanjutkan menulis artikel yang sudah dikejar deadline.

***

Luv,

ASMARA

ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2Where stories live. Discover now