" Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu ataupun kebagusan wajahmum tetapi Allah melihat keikhlasan hatimu."
H.R. Muslim
.
.
.
Sebenarnya saya tidak ingin pergi. Tapi memenuhi undangan merupakan kewajiban seorang muslim jika tidak ada uzur syari yang menghalanginya. Lagipula, ini merupakan ajang pembuktian diri bahwa saya sudah benar-benar melupakannya. Meskipun belum lama tinggal di Roma, tetap saja kepulangan saya ke Indonesia kali ini sangat-sangat penting.
Acara yang diadakan, meski terlihat sederhana sebenarnya cukup mewah. Terlebih mengingat statusnya yang merupakan bos besar dari sebuah perusahaan ternama. Tapi saya salut, karena meskipun zaman sudah modern dan ketentuan syariat mulai tergerus oleh pemikiran. Tapi mereka tetap mengadakan pernikahan secara syar'i.
Ini memang ajang dakwah yang tepat mengingat masyarakat indonesia lebih mengenal menikah dengan adat ataupun ala barat.
Tidak ada campur baur antara tamu undangan laki-laki dan perempuan. Pelaminan pun tidak disanding seperti acara biasanya. Prosesi akad pun begitu. Antara tamu ikhwan dan akhwat dipisah. Yang ikhwan berada di teras dan yang akhwat berada di dalam rumah. Semua terasa sakral di sini, membuat saya harus berkali-kali menghembuskan nafas dan beristighfar kuat-kuat di dalam hati.
Sebelum acara dimulai dan penghulu dari KUA datang, saya melihat pengantin pria sudah duduk di luar sambil menyapa tamu undangan. Keadaannya memang sudah jauh lebih membaik mengingat bagaimana sebelumnya pria itu adalah pasien koma akibat kecelakaan. Meskipun dengan keadaan tangan kiri berbalut perban dan wajah yang cukup pucat, laki-laki itu tetap menyunggingkan senyum terbaiknya. Terlebih ketika matanya menangkap sosok saya.
" Assalamualaikum Ahsan."
" Waalaikumsalam," jawab saya sambil terheran-heran. Apa saya tidak salah dengar? Dari mana dia tahu nama saya, bukankah kami bahkan tidak pernah bertemu dan bertegur sapa sebelum ini. Saya saja mengetahui dirinya setelah menjadi stalker sejati calon istrinya.
" Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang menular.
" Alhamdulillah baik. Bapak tau dari mana nama saya?" dia terkekeh mendengar pertanyaan saya.
" Saya setua itu ya sampai kamu panggil Bapak. Panggil Fatih aja." Saya mengangguk paham.
" Tapi pertanyaan saya tadi belum terjawab."
" Jelas saya tahu nama kamu dari seseorang yang kalau ngomong suka lupa rem." Entah kenapa, dengan bodohnya saya justru tersenyum mendengar jawaban dari Fatih. Astaghfirullah, apa yang saya lakukan barusan!
" Dia udah cerita banyak tentang laki-laki bernama Ahsan ini. Nggak banyak sih, dia cuman sekedar ngasih info kalau dulu dia pernah tenggelam, dia juga pernah melakukan dosa. Bukannya mau membuka aib masa lalu, dia hanya ingin tidak ada rahasia lagi di antara kami, dia ingin saya siap menerima dia dan segala masa lalunya."
" Padahal, tanpa perlu diminta pun saya akan tetap menerima dia seutuhnya. Saya bahkan tidak peduli pada apa yang terjadi di masa lalunya. Yah... walaupun jujur, saya cukup cemburu." Saya tidak mengerti kenapa mempelai pria ini dengan jujur mengatakan segalanya. Apa tujuannya? Ingin memanas-manasi saya.
" Lagipula, saya baru sadar. Kita sebenarnya pernah ketemu di sebuah masjid, saat itu saya tidak sengaja memakai sepatu kamu karena terburu-buru ingin mengejar deadline pesawat untuk melamar seseorang. Hari itu juga kata-kata kamu menguatkan keyakinan saya untuk mantap menikah. Tidak saya sangka, ternyata hari itu kita melamar orang yang sama." Glek! Laki-laki ini benar-benar ingin menguji kesabaran saya.
Seseorang datang menghapiri laki-laki ini, dia membisikkan sesuatu sambil melihat ke arah jam tangan. Saya rasa petugas KUA sudah datang dan acara akan segera dimulai. Baguslah, sebaiknya percakapan ini memang harus segera berakhir.
" Kamu jadi saksi dua buat saya ya."
" Hah?" Apa saya tidak salah dengar?
" Mau atau tidak? Kalau mau saya akan kasih kamu kompensasi sekarang."
" Tidak. Saya tidak butuh uang kamu." Saya datang ke sini dengan tujuan yang baik, bukan untuk dipermainkan seperti ini.
" Bukan uang, yang saya kasih ini sebuah rahasia." Saya semakin dibuat bingung dengan laki-laki ini. Apa sih maunya?
" Iya atau tidak?" akhirnya saya mengangguk sebagai jawaban. Ternayata rasa penasaran bisa mengalahkan ego saya.
" Sebenarnya, di dunia ini ada yang lebih tinggi tingkatannya daripada cinta sejati. Kamu tahu itu apa San?" saya hanya diam menunggu kalimat berikutnya. Dia pun mendekat ke saya sembari berbisik. Bisikan yang akhirnya mengubah segalanya. Bukan main, rahasia yang dibisikkannya pada saya ternyata menjadi obat paling mujarab yang saya butuhkan. Hanya saya belum mengetahui hikmahnya sekarang.
" Ikhlas." Satu kata itu sudah cukup. Sudah cukup membuat saya terheran-heran hari ini. Sudah cukup membuat saya mengerti keesokan hari. Satu kata itu adalah kompensasi paling mahal yang pernah saya terima.
*
*
*
Masyaallah... siapa yang kangen sama cerita ini? Sekuel cerita ini tenu saja berhubungan dengan Calon Istri dan Mantu Idaman a.k.a cerita sebelumnya.
Jangan lupa vote dan komennya kawan...
Luv,
Asmara
YOU ARE READING
ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2
EspiritualKamu bulan dan aku matahari. Kamu senja dan aku fajar. Kamu gelapnya malam dan aku terangnya siang. Kita beda, jauh, dan berada di waktu yang berbeda. Kita bahkan sama-sama menolak untuk bersama. Tapi kita berada di langit yang sama. ... Dia tahu, b...