#6: Dua Luka

322 25 1
                                    


Seberapa keras ikhtiar kita, yang namanya takdir akan tetap terealisasi sesuai dengan suratannya. Yakinlah. Apapun yang terjadi adalah yang terbaik. Meski itu bukan yang terbaik menurut kita, bisa jadi itulah yang terbaik menurut Allah.

Tapi sungguh sulit. Sangat sulit bagi saya untuk mencerna semua rencana yang Allah bentangkan di hadapan saya. Semakin saya istikharah, semakin saya tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

Namun, bukankah dalam setiap langkah kita, yang kita harapkan hanyalah ridho Nya? Jadilah saya tidak merasa perlu melawan takdir. Karena sudah saya coba. Dengan segala usaha. Tapi lagi-lagi Allah tunjukkan kuasaNya.

Sedari tadi awan mendung menggantung di langit. Namun tak kunjung turun hujan. Saya sudah cukup lama duduk di sini, setidaknya itu yang saya rasakan. Rasa deg-degan bercampur rasa bersalah yang teramat dalam membuat saya menghempaskan nafas berkali-kali. Membuat Tante Shabil, wanita cantik yang kini duduk di hadapan saya tersenyum simpul.

" Maaf ya lama, ini kopinya bang. Silahkan diminum." Saya semakin tidak kuat mendengar suara itu. Meski tak melihatnya sama sekali, saya hafal betul siapa pemilik suara ini.

" Jadi bagaimana dek Ahsan? Apakah sudah ditetapkan tanggalnya? Ingat, niat baik itu harus segera dilaksanakan lho." Tante Shabil tersenyum sambil menggenggam tangan anaknya.

" Maaf sebelumnya tante. Sungguh, tidak ada maksud saya untuk mencoreng nama baik keluarga tante, juga melecehkan harga diri Cinta." Saya berhenti sejenak. Entah kenapa kerongkongan ini terasa begitu kering. Dengan segera saya tandaskan kopi panas yang ada di hadapan saya.

" Ya ampun bang, itu kan panas," ucapnya dengan nada khawatir. Saya sendiri bahkan tidak merasakan sedikitpun rasa panas ketika meminumnya dalam sekali teguk. Baru terasa ketika gelas itu benar-benar kosong.

" Sebentar ya, adek ambilkan air putih dulu," Ucapnya sambil berlalu pergi.

" Nak Ahsan, beritahu tante sesungguhnya apa yang ingin kamu sampaikan." Saya tidak tahu harus memulai dari mana setelah melontarkan kata maaf pada pembukaan.

" Sebenarnya..." tante Shabil menatap saya dengan intens. Membuat kegugupan itu semakin menjadi-jadi.

" Sebenarnya..."

" Katakan dengan jelas Ahsan. Kamu itu laki-laki. Harus berani dalam bertindak dan mengambil keputusan."

" Sebenarnya saya ingin membatalkan proses taaruf dengan Cinta tante." Dapat ku lihat dengan jelas keterkejutan tante Shabil di wajahnya. Namun apa daya, ada hal yang memang harus diluruskan. Dan seperti kata tante Shabil, laki-laki harus tegas dan berani mengambil keputusan.

" Maaf tante. Saya tahu ini sungguh keputusan yang mendadak dan tentu saja menyakiti tante dan Cinta. Tapi saya harus mengakhirinya tante."

" Beri saya satu alasan."

" Karena saya akan menikah dengan wanita lain."

" Bangsat!" Prang!!! Gelas dan teko yang berisikan air dingin itu pecah begitu saja ke lantai. Cinta yang menghempaskannya.

" Ternyata semua laki-laki sama aja." Mata teduh itu seketika dipenuhi gelombang amarah dan kesedihan. Cinta melempar nampan minuman yang masih berada digenggamannya ke arah tembok. Membuat benda itu terbentur keras dan jatuh.

" Istighfar Cinta!" teriak saya dengan refleks melihat kemarahan yang tak wajar pada diri Cinta. Saya tidak pernah melihat sosoknya yang seperti ini. Yang saya tahu, Cinta itu wanita periang yang selalu bersemangat. Tapi kali ini, Cinta benar-benar bukan Cinta yang saya kenal.

Dia pun pergi ke kamarnya dan membanting pintu sekeras mungkin. Allahurabbi... apa yang telah saya lakukan? Saya mengusap wajah kasar dan berlutut di hadapan tante Shabil. Sungguh. Bukan kejadian seperti ini yang saya harapkan. Tidak ada sedikitpun niatan di hati saya untuk menyakiti hati seorang wanita barang sejengkal.

" Maafkan Ahsan tante."

" Sudahlah San. Maaf kamu tidak akan mengubah apa-apa. Kamu sukses membuka kartu Cinta." Tante Shabil menuntun saya untuk berdiri. Dilihatnya ke arah pintu kamar Cinta dan kaca yang berserakan di lantai.

" Apakah kamu mencintai Cinta?" saya hanya bisa terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.

" Tante tanya ke kamu sebagai laki-laki yang sudah tante anggap anak sendiri. Apakah kamu mencintai anak tante Cinta? Pernahkah rasa itu hadir walau secuil untuknya San?"

" Tante... tante kan tahu kalau-"

" Iya. Tante tahu. Kamu sudah ribuan kali mengatakan kalau cinta akan datang setelah menikah. Cinta sebelum menikah itu hanya nafsu belaka. Tapi apakah di sini benar-benar kosong San? Setelah satu bulan proses taaruf kalian." Saya msih diam. Bingung harus menjawab apa. Yang saya rasakan hanyalah keraguan yang semakin membentang antara saya dan Cinta.

" Kalau begitu apa kamu mencintainya? Apa kamu mencintai orang yang akan kamu nikahi ini?" kali ini pun saya masih memberikan jawaban yang sama. Diam.

" Kamu harus bisa memilih Nak. Tante tidak akan memberikan restu untuk pernikahan kamu dengan wanita itu. Tante tidak akan ridho melepaskan kamu dari Cinta sebelum kamu kasih kepastian ke tante. Apa kamu sungguh-sungguh mencintai perempuan yang akan kamu nikahi ini?" dan entah setan mana yang merasuki saya, hingga refleks kepala saya bergerak membuat sebuah anggukan.

" Baiklah. Pergilah San. Doa dan restu tante akan selalu menyertai kamu." Tante Shabil tersenyum. Dan senyuman itu justru membuatku semakin sakit.

" Jaga dia. Jaga perempuan itu. Tentang Cinta, biar tante yang urus. Tante ini ibunya. Tante yang paling tahu bagaimana harus menghadapinya."

Allahuakbar! Apakah hati seorang ibu memang seperti itu? Betapa beratnya beban yang ditanggung tante Shabil. Padahal, dulu niat saya menerima tawaran taaruf dengan anaknya adalah untuk meringankan bebannya juga. Tapi lihatlah, saya justru orang pertama yang melempar batu beban ke bahunya.

" Tante..."

" Pergi sekarang San. Dan jangan pernah muncul lagi di hadapan tante ataupun Cinta. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal."

" Tapi tan-"

" Cukup kamu hancurkan Cinta. Jangan kamu hancurkan juga kepercayaan tante, karena tante masih punya hati untuk menganggap kamu sebagai anak." Saya menelan ludah dengan berat.

Akhirnya. Mau tidak mau saya harus melangkahkan kaki dari sini. Pergi dari kehidupan dua wanita yang sudah saya hancurkan hatinya. Apakah cinta seberat ini? Bukankah cinta adalah perihal terindah yang Allah anugerahkan kepada setiap hambanya?

Apakah ini adalah balasan dari apa yang telah saya tanam di masa lalu? Saya sadar, saya banyak mempermainkan hati wanita di masa lalu. Tanpa sedikitpun berpikir untuk mengerti perasaan mereka. Dengan begitu justru membuat saya merasa tanpa beban ketika melihat raut luka di wajah mereka.

Tapi kali ini. Saya adalah orang yang berbeda. Pantang bagi saya untuk melihat tangisan air mata meluncur di wajah bening para bidadari itu. Itulah kenapa saya merasa sakit.

Dan pernikahan. Seharusnya ibadah sakral seperti itu terjadi dengan penuh rahmat dan barokah. Tapi pernikahan yang akan saya jalani sudah menghadapi jurang pertamanya yang begitu dalam. Apakah setelah ini saya masih sanggup menjalankan ibadah terlama ini bersamanya? Walau saya tidak lagi mencintainya.

Tapi kenapa tadi kamu mengangguk saat ditanya Ahsan?!?!

***

Dont 4get 2 vote and comment...

Luv,

ASMARA


ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2Where stories live. Discover now