#7: Melamar

338 26 1
                                    

" Aku nggak mau Ma." Ini sudah kesekian kalinya aku menolak pinta dari mamaku perihal menikah. Sungguh, tidak akan kubantah satupun yang mama minta asalkan bukan perihal menikah.

" Mau sampai kapan kamu kayak gini sayang? Ingat, seorang muslim itu harus menjalankan sunnahnya. Terutama kamu itu perempuan, yah harus menjalankan fitrah kamu sebagai perempuan. Kamu kan lebih paham daripada mama." Benar. Sangat benar apa yang dikatakan mama. Tapi aku belum siap sama sekali.

" Aku pasti akan menikah Ma. Tapi nggak sekarang."

" Shyifa... kali ini aja. Kamu ketemu dulu sama orangnya ya. Selama ini kamu selalu menolak bahkan sebelum mengenal orang itu lebih dulu. Mama yakin, kali ini kamu pasti bakalan suka sama pilihan mama." Mama tetap keukuh dengan pilihannya.

" Cuman ketemu kan?"

" Iya."

" Kalau aku nggak suka boleh dong langsung tolak."

" Apasih yang jadi standar suami kamu? Ganteng? Kaya?" aku menggeleng atas pertanyaan mama. Tentu saja aku tidak pernah memandang laki-laki dari visual dan materinya.

" Terus apa dong?"

" Yah agamanya dong ma. Yang punya satu ideologi sama aku. Yang punya satu visi dan misi yang sama dengan aku."

" Nah, kalau ada laki-laki yang baik agamanya untuk mengkhitbah seorang wanita. Maka, apakah yang harus dilakukan oleh wanita itu?"

" Menerimanya," jawabku dengan lantang.

" Nah, itu dia." Mama langsung mencolek hidungku dan tersenyum penuh arti. Yah... kejebak deh.

" Siap-siap ya sayang, mungkin mereka sebentar lagi akan datang."

" APA???" tanyaku tidak percaya.

" Nggak usah pura-pura kaget deh. Mama kan udah kasih tahu dari kemarin-kemarin." Dan aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Tok tok tok...

" Assalamualaikum." Suara ketukan pintu dan salam itu terdengar lantang dari luar. Mama sudah berteriak dari arah dapur untuk menyuruhku membukakan pintu. Duh, padahal lagi enak-enakan baca novel. Dengan segera aku menyambar cadar hitam yang tergeletak di sebelahku. Untung saja sedari tadi aku belum melepas gamisku.

" Shyifaaa..." teriak Mama dari dapur karena aku yang tak kunjung keluar dari kamar.

" Iya, tunggu sebentar." Aku masih sibuk memakai kaos kaki dengan gerakan kilat. Setelah itu, dengan segera berlari keluar dan menyambar gagang pintu.

" Bismillah," ucapku sebelum akhirnya membukakan pintu untuk tamu yang datang.

" Assalamualikum." Aku mengerjapkan mataku berkali-kali melihat siapa yang datang. Seorang laki-laki ditemani kedua orang tuanya.

" Shyifa?" seorang perempuan paruh baya menyebutkan namaku. Masyaallah, ternyata Bu Sasa.

" Bu Sasa?" aku langsung memeluk beliau. Masyaallah, ini sudah lama sekali. Tidak kusangka beliau dan keluarga akan berkunjung ke rumahku.

" Masyaallah ibu apa kabar?" tanyaku dengan antusias.

" Alhamdulillah baik sayang."

" Ehem..." seseorang berdehem di belakangku, membuatku tersadar kalau kami masih berada di teras luar.

" Oh iya, silahkan masuk Bu, Pak." Aku mempersilahkan mereka semua masuk dan menunggu di ruang tamu.

" Ibu kok bisa ke sini? Shyifa kangen banget sama Ibu. Udah lama nggak ketemu. Pasti tau rumah aku dari kak Ahsan ya." Bu Sasa hanya tersenyum simpul melihat ke arahku. Mungkin beliau juga terkejut dengan penampilanku yang sekarang.

" Oh iya lupa." Aku menepuk jidatku sendiri, menyadari kelalaianku dalam menerima tamu.

" Ibu mau minum apa?"

" Apa aja Nak."

" Kakak mau minum apa? Mau aku bikinin kopi susu kesukaan kakak nggak? Mau ya!" aku begitu antusias menyambut kehadiran keluarga Bu Sasa yang sudah sangat baik kepadaku semasa aku menjadi anak rantau di Bandung.

Tapi kak Ahsan tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menundukkan wajahnya sedari tadi. Tapi tak masalah, aku yakin selera kak Ahsan tidak berubah. Dengan segera aku ke dapur, menghampiri Mama yang tengah memasak.

" Eh, anak gadis ngapain ke dapur?" tanya Mama sambil menata lauk di meja makan.

" Mau bikin minuman."

" Udah mama aja yang bikin."

" Tapi kak Ahsan itu sukanya kopi susu ma. Apalagi kalau cuaca lagi dingin-dingin gini. Kak Ahsan nggak terlalu suka nge teh."

" Kamu tahu banget kayaknya."

" Yaiyalah. Kan udah kenal lama Mama." Mamaku hanya tersenyum sambil membersihkan diri.

" Ya udah, mama ke depan dulu. Kayaknya ayah kamu udah pulang tuh." Aku memberikan dua jempol kepada mama sembari menyiapkan minuman.

" Ini minumannya, silahkan diminum," ucapku sambil menata gelas minuman di atas meja. Semua mendapatkan teh hangat kecuali kak Ahsan yang mendapatkan kopi susu.

" Sini duduk dulu Shyifa." Ayah menyuruhku untuk duduk di samping Mama.

" Mereka ini adalah keluarga yang sudah diceritakan mama kamu." Aku bingung dengan perkataan Ayah. Perasaan mama nggak ada cerita apa-apa deh tentang keluarga kak Ahsan.

" Ini lho, yang tadi siang ibu ceritain. Ahsan ini laki-laki yang akan melamar kamu hari ini."

" Melamar?" tanyaku tak percaya sambil melihat bolak-balik antara mama dan kak Ahsan.

" Hahahaha..." seketika tawaku pecah. Aku tahu ini tidak sopan. Tapi sungguh, ini prank yang sangat tidak lucu.

" Shyifa!" ayah menegurku karena berkelakuan tidak sopan di hadapan tamu.

" Maaf yah," ucapku sambil mencoba untuk berhenti tertawa dan itu kelihatan sangat canggung sekali. Apa hanya aku yang merasa bahwa kejadian ini sungguh janggal.

" Yah nggak mungkinlah ma. Aku itu udah kenal kak Ahsan lama banget, dari jaman SMA malah. Apalagi Bu Sasa, dia itu yang selalu ngebantu aku waktu di Bandung. Jadi mustahil kalau kak Ahsan masih menyimpan rasa sama aku. Cerita kita udah tertinggal di masa lalu." Jelasku dengan penuh perhatian kepada kedua keluarga, berharap mereka akan segera mengakhiri segala tipu daya ini.

" Saya serius Shyifa." Aku tertegun mendengar suara bariton ini. Suara yang sudah lama tidak ku dengar.

" Saya serius ingin melamar kamu. Apa... apakah kamu mau menjadi teman, sahabat, kekasih saya di dunia sampai ke syurga?" Aku terdiam ketika pandangan kami bertemu. Aku tahu betul, kalau kak Ahsan yang sekarang sudah berubah dari kak Ahsan yang dulu dan aku percaya itu. Yang tidak ku percaya kalau perasaan kak Ahsan yang sekarang masih sama dengan perasaannya yang dulu.

Lagipula, dia tahu betul siapa laki-laki yang telah memenangkan hatiku. Bukankah dia juga kuundang di hari pernikahan kami waktu itu. Lalu apa mau dia dengan mengatakan kalimat romantis seperti itu? Mungkin wanita lain akan meleleh mendengar tutur kalimatnya. Tapi aku justru membenci kata-kata yang keluar dari mulutnya.

" Saya tahu saya masih belum sempurna. Pun begitu juga dengan kamu. Tapi saya siap untuk menjadi imam kamu, insyaallah."

" Bagaimana nak Shyifa?" aku tahu yang bertanya itu ayahnya kak Ahsan. Pun aku juga bisa merasakan tatapan harapan dari Bu Sasa. Tapi tidak sedikitpun pandanganku teralihkan dari wajah yang kini sudah menunduk itu.

" Beri saya waktu untuk istikharah dulu Bu." Entah apa yang aku pikirkan. Bukannya langsung menolak, aku malah mencoba-coba dengan jalah istikharah.

Bukankah sesuatu itu harus ditentukan berdasarkan jawaban dan pilihan Allah? Begitu juga dengan perihal menikah. Aku yakin jawabannya adalah tidak. Namun aku butuh istikharah hanya untuk lebih memantapkan hatiku untuk mengatakan tidak.

Tapi... bagaimana jika Allah memberikan pertanda setuju?

ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2Where stories live. Discover now