#14: Peraturan Nomor Dua

118 15 1
                                    


Padahal, belum lama tujuh perjanjian yang mereka buat ditanda tangani dan hari ini mereka sudah melanggar salah satunya. Bukan salah Shyifa ataupun Ahsan, tapi keadaan yang memaksa keduanya.

Dalam perjalanan pulang, mega mendung memang sudah menggantung di langit. Atmosfer yang seharusnya cerah menjadi gelap disebabkan langit yang berwarna kelabu. Meskpiun tahu akan turun hujan, Shyifa tetap optimis dia bisa sampai di rumah tepat waktu. Gini-gini, Shyifa juga punya keahlian khusus. Meskpiun tidak berani ngebut di atas kecepatan 180, Shyifa punya skill nyalip yang sudah tidak bisa diragukan lagi.

" Eh... eh... kok?" baru seperempat jalan tiba-tiba saja motor Shyifa nge jem. Mati mendadak. Untung saja jalanan tidak terlalu ramai. Shyifa pun meminggirkan motornya dan mencoba men starter ulang.

" Kok gak mau hidup?" Shyifa mencoba cara lain. Diangkatnya motor tersebut buat menaikkan kaki cagak dua dan diengkolnya motor matic warna biru muda itu.

Zrasssss.... hujan turun dengan derasnya tanpa bisa dibendung. Ini sudah ke delapan kalinya Shyifa mengengkol motornya dengan segenap tenaga, tapi tetap saja tidak mau hidup. Karena hujan yang deras, Shyifa terpaksa mendorong motornya untuk menepi ke salah satu ruko yang berada di tepi jalan itu.

Duh, Shyifa sebenarnya malu setengah mati. Dia tidak berani menatap ke sekitar. Khawatir akan pandangan orang-orang yang melihatnya aneh. Jelas saja, Shyifa dengan gamis, kerudung lebar, cadaran, basah-basahan, mendorong motor yang tidak mau hidup meskipun sudah diengkolnya dengan tenaga samson.

Tinnnn... suara klakson mengejutkan Shyifa yang hampir mencapai tepian ruko. Dilihatnya seorang laki-laki dengan jas hujan layang disertai helm fullface berhenti di sampingnya. Takut kalau ternyata orang itu akan berbuat yang aneh, Shyifa semakin melajukan langkahnya dan memarkir motornya di depan ruko yang sedang tutup itu.

Tinnnn... motor itu masih setia mengikutinya. Shyifa jadi jengkel sendiri. Malas meladeni orang aneh.

" Motor kamu kenapa?" tunggu! Shyifa merasa kenal dengan suara ini.

" Yeee... kok ngelamun?" orang itu membuka kaca helmnya dan menampakkan wajah yang sangat tidak asing bagi Shyifa.

" Kok kakak di sini?" ternyata yang daritadi ngeklakson suaminya sendiri. Kok Shyifa bisa tidak kenal ya.

" Harusnya saya yang nanya, kamu ngapain hujan-hujan?" Ahsan memarkirkan motornya dan mendekati Shyifa yang sedang berteduh di bawah ruko tersebut.

" Itu motornya mati."

" Udah diengkol?" Shyifa mengangguk mantap. Tapi Ahsan tidak yakin, jadi dia meminta kunci motor Shyifa dan mencoba menghidupkannya. Nihil. Motor matic biru Shyifa tetap tidak bergeming.

" Aki nya kering kali." Shyifa cemberut mendengar penjelasan Ahsan.

" Udah pulang bareng saya aja, kita kan searah."

" Bukan searah lagi, tapi serumah!"

" Hehehe... itu tau." Ahsan terkekeh melihat wajah cemberut Shyifa.

" Ayo!" Ahsan mengajak Shyifa untuk ikut bersamanya.

" Eits, kamu lupa sama perjanjian kita?"

" Kamu mau nunggu di sini sampai malam? Atau mau jalan kaki aja ke rumah? Angkot sama bis nggak lewat jalan ini lho." Shyifa tampak berpikir mencari alasan lain.

" Tapi nanti motor aku gimana? Masa ditinggal gitu aja?"

" Titip aja dulu, nanti ngomong ke pak satpam yang jaga ruko-ruko di sini. Ntar saya ambil terus bawa ke bengkel."

" Tapi-"

" Hitungan tiga saya tinggal. Satu..."

" Iya iya." Akhirnya dengan terpaksa Shyifa harus ikut bersama Ahsan yang artinya mereka harus berboncengan. Mana lagi hujan. Mantel cuman satu. Shyifa harus berbagi mantel dengan Ahsan. Yah... walaupun mantelnya besar dan cukup untuk berdua. Tapi...

" Pegangan!"

" Ih ogah, modus!"

" Yeee... suami sendiri dikatain modus. Ya udah, terserah." Tanpa aba-aba Ahsan melajukan motornya dengan kencang. Nah, kalau skill Shyifa sebatas nyalip, maka skill Ahsan sudah another level. Dia bisa bawa motor laju-laju sambil menyalip. Jadilah Shyifa terpaksa memegang kemeja Ahsan kuat-kuat. Shyifa masih nggak mau memeluk Ahsan ala-ala gitu. Belum lagi tangan sebelahnya sibuk menahan mantel yang berkibar-kibar membawa masuk air.

" Aduh Shyifa, kemeja saya kusut nanti." Protes Ahsan saat mereka sedang di lampu merah.

" Biarin. Kan aku juga yang gosokin." Mendengar itu Ahsan inisiatif memindahkan tangan Shyifa yang semula mencekram kemeja belakangnya jadi melingkar di pinggangnya. Bukan apa-apa, masalahnya kalau Shyifa mencekram kemeja belakangnya, Ahsan merasa dicekik dari depan. Itu kemeja tadi dikancing penuh sama Ahsan.

" Nggak usah pegang-pegang." Shyifa memukul punggung Ahsan yang barusan mencoba membuatnya memeluknya dari belakang.

" Makanya jangan narik kemeja aku. Kecekek ini."

" Makanya jangan ngebut." Sudahlah. Cewe selalu benar. Mau pakai alasan apapun Ahsan akan selalu kalah sama istrinya yang cerewet dan lumayan galak ini.

Alhasil, demi keselamatan bersama Ahsan membawa motornya dalam mode santai. Air hujan yang sekarang mulai mereda – membuat tangan Shyifa tidak perlu lagi memegang mantel yang berkibar-kibar, belum lagi angin sepoi-sepoi karena Ahsan membawa motornya dengan santai membuat rasa kantuk melanda Shyifa. Dia menyenderkan kepalanya ke punggung Ahsan yang kokoh. Shyifa paling tidak kuat sama rasa kantuk. Jadilah dia hampir-hampir tertidur dalam perjalanan.

Ahsan yang bisa merasakan kepala Shyifa menyender pada punggungnya tersenyum manis.

" Emang ya, bilangnya modus. Nggak tau dianya sendiri malah mulai duluan." Ahsan bergumam pelan sambil tetap mengendari motornya dengan pelan. Berharap mereka akan sampai lebih lama dari biasanya.

ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2Where stories live. Discover now