Akhirnya hari itu tiba. Hari yang tidak pernah dibayangkan oleh Shyifa bahkan dalam mimpi terpendeknya sekalipun. Dan hari ini, meski dulu pernah dimimpikan oleh Ahsan tapi tak pernah diharapkannya setelah kepergiannya ke Roma.
Entah bagaimana takdir mengabulkan doa-doa panjang dari Ahsan. Doa-doa yang kini justru diharapkannya untuk ditolak oleh Allah. Sebab, semua itu terwujud setelah hilangnya rasa akibat perjuangan panjang untuk melupakan.
Tapi Allah adalah sebaik-baik perencana. Tidak ada satu daun pun yang akan gugur ke bumi tanpa izinnya. Begitu juga urusan sakral seperti menikah ini. Tidak ada satupun akad yang berlangsung lancar tanpa seizinNya. Kisah Fatih dan Shyifa adalah salah satu contohnya. Kisah nyata yang harusnya dapat diambil hikmahnya oleh Ahsan dan Shyifa.
Tapi bagi mereka, terlalu berat untuk bisa mencerna hikmahnya. Di mana letak korelasi Shyifa yang gagal menikah dengan Fatih dengan Shyifa yang terpaksa menikah dengan Ahsan, yang notabene adalah bagian dari masa lalu terkelamnya.
" Ahsan Muhammad Ikhsan, aku kawinkan dan nikahkan engaku dengan putriku Asshyifa binti Muhammad Yusuf Anshari dengan seperangkat alat sholat dan buku Syurga Istri dibayar tunai."
Batal...
Batal...
Batal...
Hanya kata itu yang terus terusan terucap dari bibir Assyhifa. Dia tahu dia salah. Dia yang menjawab 'iya' saat Ahsan datang melamarnya. Tapi sekarang dia orang nomor satu yang aktif melancarkan doa ke langit agar Allah membatalkan pernikahannya.
Tentu saja, sepertinya tidak ada calon pengantin yang memiliki pemikiran buruk seperti Shyifa. Mungkin dirinya yang berhati baik dan lembut kini hanyalah menjadi topeng belaka. Sebab, dirinya sendiri yang telah menggoreskan luka.
Tok tok tok... suara ketukan pintu itu menghentikan Shyifa dari aktivitas 'zikir'nya. Kini Shyifa memang menunggu di kamar ditemani oleh mamanya dan ibu mertuanya.
" Iya?" tanya Mama Shyifa sambil membukakan pintu.
" Itu bu, akadnya sudah selesai. Neng Shyifa disuruh ke depan buat tanda tangan surat-surat." Mama Shyifa mengangguk dan mengajak putrinya untuk keluar.
" Ayo Shyifa." Tapi Shyifa menggeleng. Dia tidak ingin keluar dan akhirnya dipaksa melakukan ritual manten baru seperti mencium tangan suami dan dikecup keningnya. Shyifa menggeleng kuat, dia tidak sanggup membayangkan hal itu akan terjadi secepat ini.
" Kenapa Shyifa?" tanya Bu Sasa yang membaca raut keberatan dari mata Shyifa.
" Shyifa... Shyifa keluar cuman tanda tangan aja ya. Nggak pake yang lain-lain."
" Nggak pake yang lain gimana?" tanya mama Shyifa.
" Itu... yang kayak cium tangan suami sama cium kening," ucap Shyifa pelan sambil menyentuhkan ujung dua jari telunjuknya.
" Kenapa? Kan kalian juga sudah halal." Kali ini Bu Sasa yang bertanya.
" Hm... itu... anu... kan, Shyifa malu kalau diliat orang banyak. Walaupun secara teknis ini akad kedua yang Shyifa alamin, tapi kan nyatanya ini yang pertama buat Shyifa."
Bulir-bulir keringat mulai membanjiri pelipis Shyifa. Dia harap alasan yang baru saja dikarangnya dapat diterima oleh kedua ibunya.
" Ya sudah, nanti Mama bilangin ke Ayah. Biar para tamu nggak salah paham."
" Alhamdulillah, makasih Ma."
Akhirnya Shyifa melangkah keluar didampingi oleh Mamanya dan Bu Sasa yang kini sudah resmi menjadi ibu mertuanya.
Fatih yang sudah menunggu sedari tadi hanya diam dan memasang wajah datar saat melihat kehadiran Shyifa. Tidak ada ekspresi terkejut ataupun kagum atas kecantikan Shyifa hari ini.
" Bismillah," ucap Shyifa sambil menandatangani dokumen-dokumen di hadapannya. Bergetar tangan Shyifa saat akan menggenggam pena untuk tanda tangan. Dia tahu persis, bahwa pernikahan bukan sekedar tinta di atas kertas melainkan sumpah suci di hadapan Allah. Tapi dia tidak bisa menampik bahwa hatinya sangat tertutup untuk lelaki manapun bahkan untuk Ahsan yang sudah dikenalnya lama.
Setelah tanda tangan Shyifa langsung berdiri meninggalkan Ahsan yang kebingungan sambil diantar oleh Bu Sasa. Sedangkan Bu Najma yang merupakan mamanya Shyifa membisikkan sesuatu kepada suaminya yang diangguki paham oleh Pak Yusuf selaku ayah Shyifa.
Tok tok tok... ceklek.
Suara pintu yang diketuk itu membuat Shyifa terkejut. Dan yang lebih membuatnya terkejut adalah ketika mengetahui siapa yang datang dan memasuki kamarnya. Padahal, tadi mood nya sudah bagus setelah mengobrol banyak hal dengan Bu Sasa. Tapi sekarang mendadak semua sirna kala matanya mengangkap sosok suami.
" Ibu tinggal dulu ya sayang." Shyifa hanya bisa mengangguk tentu saja. Memangnya dia bisa membuat alasan apalagi untuk menghindar dari Ahsan.
Setelah keluar dan menutup pintu, kini Ahsan sudah duduk di hadapan Shyifa. Menatap setengah wajahnya yang tertutup cadar. Meskipun sudah tahu bagaimana rupa Shyifa. Tetap saja, dia sudah lama tidak menatap wajah yang dulu selalu dicuri pandang olehnya.
" Assalamualaikum Shyifa," ucap Ahsan dengan datar.
" Wa- waalaikum salam," jawab Shyifa dengan kegugupan yang luar biasa. Tiba-tiba, udara di sekitar terasa dingin dan gerah bersamaan. Shyifa tidak tahu harus melakukan apa.
" Bismillahhirrahmanirrahiim." Ahsan mulai meletakkan tangannya di atas ubun-ubun Shyifa dan membacakan doa untuk pernikahan. Shyifa menutup mata, merasakan getaran illahi atas ayat-ayat yang dibacakan Ahsan. Walaupun membenci pernikahan ini. Walaupun dunia dan seisinya berkonspirasi untuk menggagalkannya. Tapi lihatlah, jika Allah sudah berkehandak maka kun fayakun.
Setelah membaca doa Ahsan menjulurkan tangannya ke hadapan Shyifa untuk disalim. Maka bergetarlah tangan Shyifa. Bukan karena kegugupannya. Tapi karena dia teringat mimpinya yang meminta untuk menyalami tangan Fatih teteapi Fatih justru tidak kunjung ingin dikecup tangannya oleh dirinya. Karena saat itu, Fatih tidak pernah menjadi seseorang yang halal untuknya.
Mati-matian Shyifa menahan tangis dengan tangan yang bergetar. Dibawanya tangan Ahsan yang kini sudah sah menjadi suaminya untuk dikecupnya singkat. Yang itupun terhalang oleh kain cadarnya.
" Boleh aku buka?" Shyifa hanya terdiam atas pertanyaan Ahsan. Sebenarnya Ahsan berhak untuk membuka cadarnya tanpa meminta izin darinya. Meskipun enggan, Shyifa sadar diri akan siapa dirinya saat ini. Jadi dia menganggukkan kepalanya dengan pelan.
Ahsan maju mendekat untuk melepas ikatan cadar di belakang kepala Shyifa. Betapa terkejutnya Ahsan melihat kecantikan yang ada di hadapannya kini. Wajah Shyifa yang begitu putih mulus tanpa cacat sedikitpun membuat Ahsan mengucapkan takbir tanpa sadar. Meskipun dia sudah meyakinkan hatinya untuk tidak mencintai Shyifa. Tapi Ahsan tidak bisa menampik bahwa dia merasa sangat beruntung menjadi suami dari perempuan secantik Shyifa.
Ahsan pun memajukan wajahnya. Diciumnya dengan khidmat kening istrinya. Dan tanpa sadar ciuman itu turun perlahan. Tapi sebelum mencapai bibir istrinya, Ahsan merasakan basah pada tangannya. Dilihatnya air mata Shyifa yang semakin lama semakin menderas.
Mati-matian Shyifa menahan tangisnya agar tidak didengar oleh Ahsan. Tapi isakan itu justru menjadi-jadi. Rasa sakit yang terlalu dalam menyulitkan Shyifa untuk berhenti menangis. Terlebih potongan demi potongan kenangan dengan Fatih terus bergerilya di kepalanya. Membuat rasa sakit dan bersalah Shyifa semakin bertambah-tambah.
Ahsan pun memundurkan wajahnya dan pergi meninggalkan Shyifa bersama isak tangisnya yang tak kuasa dia tahan.
Ahsan menyegarkan tubuh dan pikirannya dengan guyuran air dingin. Dia tahu persis bahwa Shyifa tidak pernah mencintainya bahkan jika dia sudah mendapatkan Shyifa seutuhnya, hati istrinya tetap kepada orang lain yang jelas-jelas sudah berada di alam berbeda dengan mereka.
Namun, walau bagaimanapun Ahsan tidak ingin memaksa Shyifa. Dia juga tidak ingin memaksa hatinya untuk menyusun kepingan yang sudah lama terserak dan tekubur dalam-dalam. Tentu sulit untuk menyatukan kembali serpihan kaca yang sudah ternggelam di tumpukan jerami.
Iya. Ahsan tahu yang akan dia lakukan adalah salah. Tapi dia rasa ini adalah yang terbaik. Daripada sama-sama tersiksa, bukankah lebih baik berpisah?
YOU ARE READING
ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2
SpiritualKamu bulan dan aku matahari. Kamu senja dan aku fajar. Kamu gelapnya malam dan aku terangnya siang. Kita beda, jauh, dan berada di waktu yang berbeda. Kita bahkan sama-sama menolak untuk bersama. Tapi kita berada di langit yang sama. ... Dia tahu, b...