#9: Satu Alasan

156 16 4
                                    


" Beri saya satu jawaban. Kenapa waktu itu kamu menerima pernikahn ini?" Shyifa terdiam dengan wajah habis menangisnya. Hidung merah dan mata sembabnya tak dihiraukan oleh Ahsan. Dia butuh jawaban untuk dijadikannya satu alasan agar dia bisa meyakinkan hatinya bahwa cerai adalah jawaban terbaik untuk keduanya.

" Karena..." Shyifa menunduk. Tidak berani menatap wajah Ahsan yang menatapnya intens.

" Karena kakak adalah jawaban dari istikharahku." Ahsan terpaku. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini. Bukan ini yang Ahsan harapkan. Bukan jawaban ini yang ingin dia dengar.

Kalau begini caranya. Bagaimana bisa dia menceraikan Shyifa?

***

Daripada pusing memikirkan perceraian. Ahsan memilih untuk berdamai sementara. Toh juga mereka benar-benar baru menikah. Belum ada hitungan minggu. Tiga hari pertama ini, Ahsan dan Shyifa masih tinggal di rumah ibunya Ahsan, Bu Sasa.

" Kerjaan kamu gimana Shyifa? Sekarang lagi sibuk apa?" tanya Bu Sasa di sela-sela makannya.

" Sekarang Shyifa sebagai freelance Bu, penulis lepas. Shyifa belum memikirkan buat masuk ke perusahaan lagi."

" Baguslah kalau begitu. Ibu harap kamu begitu saja terus. Tidak perlu bekerja, kamu fokus saja jadi ibu rumah tangga dan mengurus cucu ibu."

" Iya bu," jawab Shyifa sambil tersenyum.

Ahsan yang melihat itu hanya bisa bernafas lega. Setidaknya untuk saat ini semua tampak baik-baik saja.

" Kok cepet banget sih San, kan ibu masih pengen main sama mantu ibu." Saat ini Ahsan dan Shyifa sedang bersiap-siap menuju ke rumah mereka sendiri. Rumah itu memang sudah ada sebelum Ahsan menikah. Dulu, niatnya menabung untuk membeli rumah itu yah untuk dihuni oleh dirinya dan Shyifa, istri impiannya. Tak disangka niatnya itu akhirnya terealisasikan meskipun dalam kondisi yang berbeda.

" Tenang aja bu, Shyifa pasti bakal sering-sering ke tempat ibu. Kalau kangen ibu boleh telpon Shyifa kapanpun ibu mau." Nah ini dia. Meskipun terkadang masih kesal dengan perkara masa lalu. Tapi bu Sasa tidak bisa menampik kalau Shyifa selalu berhasil meluluhkan hatinya.

Bu Sasa memeluk Shyifa dengan erat. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Di satu sisi, bu Sasa bersyukur karena akhirnya doa-doa yang dulu dia panjatkan akhirnya terkabul. Tapi di sisi lain, bu Sasa khawatir akan kondisi Shyifa sendiri. Apakah dia benar-benar bahagia menjalani pernikahan ini. Tetapi bu Sasa juga percaya dengan kalimat 'cinta tumbuh karena biasa'. Semoga saja, menantu kesayangannya ini mendapatkan kebahagiaannya dengan menjadi istri anaknya.

" Kami berangkat dulu ya bu." Ahsan mencium tangan ibu dan ayahnya. Tepat setelah itu, semuanya dimulai.


***

Wah, sudah lama sekali ya. Karena terlalu sibuk jadi aku mulai mengabaikan cerita ini, padahal aku tahu ada yang nungguin kisah Shyifa ini. Nah, meskipun pendek tapi aku harap ini akan menjadi awal keaktifanku di dunia oren ini lagi. Mohon dukungannya semua.

Terima Kasih.

Luv,

ASMARA

ASMARA (Assakinah, Mawaddah, Warahmah) Sekuel CIMI 2Where stories live. Discover now