chapter fourteen - Om Donghyun

1.2K 161 9
                                    


"Any man can be a father, but it takes a special person to be a dad."
***

Doyoung pernah bilang, kita memang punya kehidupan masing-masing yang pasangan kita nggak punya hak terlibat dalam hal itu. Dia nggak memaksa gue untuk selalu laporan perihal kegiatan apapun yang gue lakukan, begitu juga sebaliknya. Pacaran nggak melulu tentang bersama dalam kondisi apapun, tentu saja dalam pengertian berada dalam ruang dan waktu yang sama tiap detik, menit dan jam. Doyoung bukan pacar yang posesif, yang gue harus mengabarinya 24/7 dimana, sama siapa dan ngapain.

Namun kali ini gue maklum kalau dia marah, gue akan menerima kalau dia kecewa pada gue perihal 17 panggilan tidak terjawab. Pacar mana yang nggak marah kalau ceweknya hilang kabar hampir seharian tanpa bisa dihubungi? Apalagi kalau dia sampai tahu gue bareng cowok lain?

Ternyata, Doyoung sama sekali nggak marah. Katanya, "Nggak apa-apa, siapa tau kamu beneran sibuk atau sedang menikmati waktu bareng abang Chanyeol sama Haechan. Aku nggak mau ganggu. 17 panggilan itu aku cuma mau mastiin, lusa kamu punya waktu? Papa mau ngajak kamu makan malam."

Hadeeeeeh. Gue udah takut parah dia bakal ngamuk karena nggak ada kabar seharian. Dan gue merasa bersalah atas kejadian hari ini, mulai dari mengabaikan pesan dan panggilannya hingga tentang Taeyong.

Gue berjanji, suatu hari nanti gue bakal cerita semuanya kepada Doyoung. Nggak untuk saat ini, gue butuh waktu memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Lantas, gue menyetujui ajakan Doyoung untuk bertemu Papanya.

Selesai mematut diri di depan cermin, gue bergegas keluar kamar dan mengunci pintu. Nggak lupa sama tas kertas yang sudah jauh-jauh hari gue persiapkan. Itupun atas bantuan Yooa sama Bona. Tepat saat gue keluar dari pintu utama, Doyoung keluar dari mobilnya. Penampilannya rapi malam ini, walaupun gue sesering itu melihat dia berpakaian rapi, namun malam ini dia terlihat berbeda. Dia tampan dengan kemeja maroonnya. Dia ganteng dengan jeans gelapnya. Dia menarik dengan rambut hitam legamnya yang ditata rapi memamerkan jidat. Dan dia selalu terlihat istimewa dengan senyum manisnya.

Untuk beberapa saat gue membeku lalu tersipu, mencoba menutupi panas yang mulai menjalar di pipi.

"Selamat sore, cantik."

Duh, kan.

"Udah jam 7."

"Masih jam 7. Kalo selamat malam itu ucapan sebelum tidur."

Iya deh iya.

Dan ya, seperti biasa. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di kursi pengemudi. Sementara gue harus berjalan memutar untuk duduk di kursi penumpang depan. Nggak kok, gue nggak berharap dia membukakan pintu mobil :)

"Kok aku deg-degan, ya?" Sebelah tangan gue menyentuh dada bagian kiri, merasakan degup jantung yang bekerja melebihi irama seharusnya.

Doyoung menoleh setelah memastikan mobilnya sudah bergabung dengan kendaraan lain di jalan utama. "Kenapa? Karena mau ketemu Papa?"

Gue mengangguk lantas mengulum bibir.

"Itu... apa?" Doyoung mengarahkan dagunya pada tas kertas yang ada di pangkuan gue.

"Oh, ini ada sedikit hadiah buat Papa kamu."

"Hadiah?" Alisnya bertaut menyatu. "Papa kan nggak ulang tahun."

"Sesuatu. Emang ngasih hadiah pas ulang tahun aja, nggak kan?"

"Nggak perlu lah yang kayak gitu."

"Kenapa?" Disini gue mulai tersinggung, entah kenapa perasaan gue mulai nggak enak setelah mendengar kalimatnya. "Iya, aku tau. Papa kamu mungkin nggak butuh apa-apa dan mungkin ini sesuatu yang aku beli ini beliau udah punya, banyak malah."

Walk You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang