😊

37 5 1
                                    

Setelah beberapa hari gue pulang. Gue memutuskan buat mencari pekerjaan karena secepat mungkin gue harus menikahi Siska. Yaa semoga aja dengan niatku untuk menikahi dia menjadi obat buat dia atas penyakitnya.

Hari demi hari gue habiskan buat melamar pekerjaan di beberapa tempat.

"Kaa.." panggil gue di suatu pagi.

"Hm?" dia sedang merapikan tumpukan baju-baju yang baru saja selesai dilaundry. "apaan?"

"Gue besok lusa interview nih..."

Dia menghentikan kegiatannya, kemudian menatap gue lekat-lekat. Untuk beberapa saat wajahnya tak berekspresi, tapi kemudian sebuah senyum lebar mengembang di wajahnya. Dia kemudian menghambur ke gue dan memeluk gue erat.

"Selamat ya sayaaaang...." ucapnya senang sambil memeluk gue. Sesaat kemudian dia melepaskan pelukannya. Wajahnya berseri-seri.

"Hehehe..." gue hanya bisa tertawa menanggapinya.

"Belajar gih, biar lancar ntar tesnya..."

"gue udah belajar 2 tahun lebih kok, ka, belajar bahasa indonesia itu..”

"Ya tapi tetep harus belajar ah, minimal dibaca-baca lagi kan lumayan jadi apal terus..." katanya setengah mengomel.

"iya iyaaa..." gue menjulurkan lidah. "Bawel..."

"Tapi sayang ga?"

"Sayang banget gue sama lo, Kaa..."

Dia hanya mencibir sambil mengeluarkan suara lucu. Memang itu gayanya dia yang membuat gue jatuh hati. Kadang manja, kadang gengsian. Tak jarang juga dia cemberut di depan gue, tapi dibalik itu dia senyum-senyum secara sembunyi-sembunyi. Hahaha, gue selalu tahu ciri khas lo, Kaa, apapun itu. Rasanya mustahil buat gue untuk membenci lo semarah apapun gue sama lo.

"pake baju item putih?" tanyanya. "biar gue siapin ntar..."

gue mengangguk.

"pake dasi juga kan?" tanyanya lagi. "punya dasi?"

gue menggeleng. "ntar pinjem Rizal aja, ntar gue telepon dia deh..."

"Apa beli dulu aja?"

"Yah males gue Kaa kalo pergi cuma buat beli dasi. Udah ntar gue pinjem Rizal aja, dia kemaren kapan gitu udah tes dia kok, pake dasi juga dia..."

"Ya udah kalo gitu..." dia mengangguk-angguk pelan. 

"kangen gue sama anak-anak..." katanya pelan sambil kembali merapikan baju. Raut wajahnya berubah menjadi sendu. "kangen kuliah gue..."

Gue merangkulnya erat, dan mencium keningnya lembut untuk menenangkan perasaannya. Sungguh iba rasanya gue melihat dia sekarang. Secara fisik dia jauh membaik, bahkan seperti kembali normal lagi. Tapi secara mental dia merasa sudah jauh tertinggal dengan teman-temannya, dan ada ketakutan bahwa dia ga bisa mengimbangi ritme dunia perkuliahan lagi dengan keterbatasannya sekarang.

"mau sekolah lagi?" tanya gue lembut. Gue tersenyum memandangnya.

"ya pengen sih..." dia menarik-narik ujung kaos gue. "Boleh?"

Gue terdiam dan berpikir. Perasaan gue antara iba melihat keinginannya untuk bergabung kembali bersama teman-teman dan masa mudanya, tapi juga ketakutan dengan resiko yang mungkin harus dihadapi. Cukup lama gue berpikir.

"kalo ga boleh juga gapapa kok..." katanya pelan. Nadanya semakin membuat gue iba. Secara refleks gue memeluknya erat-erat.

"besok pas gue selesai tes ikut dulu aja yuk, kita lihat ntar lo gimana disekolah. Oke?" kata gue lembut. Bagi gye, itulah jalan tengah terbaik yang bisa gue tawarkan kepadanya saat itu.

"Siap boss..." dia melakukan gesture menghormat, kemudian terkikih sendiri. Gue hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli melihat kelakuannya ini. Ah, malaikat gue...

Dua hari kemudian.

Gue akhirnya bisa melewati masa interview dengan baik, tanpa ada kurang satu apapun. Banyak hal yang gue dapatkan selama sekolah 3 tahun ini. Mulai dari ilmu, pengalaman, teman, hingga gue memiliki seorang tunangan.

Segala idealisme, retorika dan ide-ide kritis gue selama berkecimpung di dunia persekolahan, sepertinya harus gue endapkan dulu untuk sementara. Gue tahu, di kehidupan berikutnya gue harus lebih fleksibel, harus lebih luwes untuk menjalani berbagai macam rupa emosi kehidupan. Gue merasa gue harus lebih banyak mendengarkan daripada berucap. Dan sekali lagi adalah Siska yang selalu menyadarkan gue untuk berbuat demikian.

Di malam hari setelah tes gue itu, gue dan Siska tidur berdampingan sambil menatap langit-langit kamar rumah gue yang semakin lapuk dimakan usia. Suasana begitu hening, hanya dihiasi dengan suara detik jam dinding yang selalu setia menemani. Pikiran gue menerawang, begitu pula Siska. Sepertinya kami sedang asyik dengan alam pikiran kami masing-masing. Satu-satunya yang menghubungkan kami hanyalah ujung-ujung jemari tangan kami saling terjalin.

"udah selesai ya semuanya...." ujarnya lirih memecah kebisuan panjang. "Akhirnya..."

"ya, akhirnya..." gumam gue mengamini.

"selamat ya..." katanya sambil menoleh sedikit ke arah gue. Dia tersenyum tipis. Gue bisa membaca berbagai rupa perasaan ada disana.

"perjalanan kita baru dimulai, sayang..." sahut gue pelan. Wajah gue tetap serius, dan pikiran gue berkecamuk. Satu persatu lakon kehidupan gue harus gue jalani, bagaikan sebuah skrip sandiwara.

"dan karena itulah gue ada disini bersama lo..." dia menggenggam tangan gue erat. Gue menatapnya dari sudut mata gue, dan tersenyum.

"percayalah bahwa janji yang lo ucapkan beberapa bulan lalu itu bukan janji kosong. Hidup gue sekarang untuk lo..." katanya lagi.

Gue dan dia hanya bisa sama-sama menyunggingkan senyum lemah, kemudian kembali membisu menatap langit-langit kamar untuk entah kesekian kalinya. Yang muncul di benak gue adalah, satu fase hidup gue baru saja berakhir, dan gue harus memulai satu fase yang baru, yang harus gue jalani. Berulangkali di dalam pikiran gue muncul bayangan-bayangan negatif tentang kegagalan dan kesulitan di masa mendatang. Namun pada akhirnya gue menyadari satu hal, usaha tak akan pernah mengkhianati. Awal yang baik, akan selalu berakhir dengan baik. Dan setiap permulaan selalu diawali dengan satu langkah kedepan, yang akan membawa kita kemanapun menuju.

"Kaa...!!" panggil gue.

"Yaa?"

"Lo percaya keajaiban?"

Dia menarik napas panjang.

"Setiap pagi gue bangun, membuka mata dan bisa melihat lo disamping gue itu sudah merupakan keajaiban bagi gue. Jadi mana bisa gue ga percaya?" jawabnya tersenyum simpul.

Gue hanya tersenyum atas jawabannya itu.

~~~~~~~~~

Mr.x : yan. Gimana cerita yang kamu tulis?

Gue : rencananya sih gak mau gue lanjutin.

Mr.x : nanggung bro. Apa sih tujuan elu nulis di situ?

Gue : entahlah

Mr.x : yaelah. Lo harus lanjutin itu bro. Siapa tau ceritamu bisa bermanfaat bagi orang. Kalo gak lo lanjutin sama aja lo permainkan orang yang udah rela buang waktunya buat baca kisahmu.

Yaa semacam itulah percakapan gue dengan teman gue😆 jadi pertanyaan kalian di WA "kenapa gak update?" Gue jawab disini. "Karena gue gak sanggup dan gak ada semangat buat lanjutin ini cerita".
Dan akhirnya aku ketemu sama si kampret yang memberi aku semngat lagi😆


Spesial :

jika menunggu itu membosankan?
Lantas, Apakah pindah hati itu menyenangkan?


BrokeNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang