🌸 07 | Cinta yang Terbalaskan

528 32 7
                                    

"Alhamdulillah, ternyata cintaku bukan bertepuk sebelah tangan."

---🌸---

Sejak tadi pandanganku tak teralihkan dari jendela mobil. Mengamati jalan yang ramai berhias cahaya lampu, karena matahari sudah tenggelam beberapa jam lalu.

Tadi, sesudah Alfath kembali, dia menjelaskan padaku tentang perkataannya yang akan membeli tiket. Dia meralat, katanya bukan membeli, tapi mengambil dari temannya. Apa pun itu, sejujurnya aku tidak terlalu peduli. Tapi, aku sangat peduli dengan perkataannya yang selanjutnya!

"Aku udah minta cuti buat beberapa hari ke depan, jadi besok kita bisa berangkat. Tapi sebelum itu, aku udah bikin janji makan malam keluarga nanti." Begitu katanya. Jelas saja aku terkejut! Siapa yang siap pergi besok?

"Nis," Kepalaku refleks menoleh. "Ya?"

"Bosen ya?" tanyanya datar.

Aku menggeleng, sebelum kembali mengalihkan pandangan keluar jendela. Bukan bosan, tapi sedang bingung lebih tepatnya!

Astagfirullah, Alfath, kenapa kamu selalu membuatku begini sih?

Alfath menginjak rem mobilnya, lampu merah menyala di depan sana. Tepat di sebelah mobil yang kutumpangi, sebuah mobil ikut berhenti. Aku juga bisa melihat, keluarga bahagia ada di dalam sana. Supir duduk di depan seorang diri, sementara sepasang suami-istri duduk di belakang sambil bergurau dengan anak perempuan kembar yang menggemaskan. Kalau aku tebak, mungkin usianya masih 1 tahunan.

"Kenapa?" Aku menoleh seketika tubuhku membatu.

Sekali lagi, Alfath membuat jantungku berdebar tak keruan dengan jarak yang tercipta ini. Wajahnya berada tepat di depan wajahku dan matanya menatap tepat di manik mataku.

Kemudian, Alfath melirik ke arah jendela, sebelum kembali menatapku yang masih membatu di tempat. Dia tersenyum geli sebelum menjaga jarak lagi. Saat itulah aku menghela napas lega.

"Pipi kamu merah," katanya gamblang. Refleks saja aku menangkup kedua pipi sambil menunduk malu.

Terus saja menggodaku! Astagfirullah ... Kenapa dia jadi begitu menyebalkan?

Alfath kembali melajukan mobilnya begitu lampu berubah hijau. Saat itu juga aku segera mengalihkan pandangan ke arah jendela.

Kepalaku refleks menoleh begitu dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku menatapnya tak percaya, sementara dia hanya melirikku sekilas dan tersenyum kecil sesaat. Sialnya, yang bisa kulakukan hanya diam terpesona.

"Katanya, hal kayak gini juga bisa bikin tenang," suara Alfath terdengar lembut di telingaku. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang dingin dan datar itu.

Kalau dia terus begini, lama-lama aku benar-benar semakin jatuh cinta padanya. Tapi, apa dia juga akan merasakan hal yang sama denganku? Jatuh cinta.

"Kalau pegang tangan kamu kayak gini, nggak perlu izin lagi, kan?" Dia menoleh ke arahku sesekali.

"Hah?" Mulutku terbuka. Aku bingung ingin menjawab apa untuk pertanyaan yang itu.

"Kalau pegang tangan kamu kayak gini, aku nggak perlu minta izin lagi, kan?" Dia mengulang perkataannya sambil mempererat genggaman tangan.

Sekarang aku baru sadar, tangannya tidak sedingin kemarin malam. Lebih hangat dan lembut. Bahkan, seperti perkataannya tadi, genggaman tangannya berhasil membuat debaran di dadaku lebih teratur dan itu berhasil menenangkanku.

"Oh iya, kamu mau ke mana aja nanti?" Dia kembali buka suara setelah keheningan melanda kami.

"Sebelum itu, aku mau tanya sama kamu," kataku. "Pekerjaan apa yang kamu punya sampai harus ke sana?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang