[6]

3.3K 276 10
                                    

Kubentangkan tangkai demi tangkai bunga yg baru saja kupetik di atas kain katun putih. Di sekitarnya bergulung-gulung pita putih dan hitam, dan juga kertas tipis pembungkus yg sering digunakan untuk membuat buket.

Pekerjaanku setelah pensiun sebagai dosen adalah sebagai pemilik toko bunga sekaligus perancang buket. Secara pribadi akulah yg membuatkan buket bunga yg dipesan oleh pelanggan.

Kali ini, aku membuat buket bunga bukan dan pesanan pelanggan. Melainkan dari keinginanku sendiri. Sudah seperti kebiasaan yg harus kulakukan setiap bulannya. Tidak ada kata terpaksa karena aku melakukannya dengan sepenuh hati.

Daisy putih dan babybreath dijadikan satu dengan pita hitam sebagai penyatunya. Kemudian dibungkus cantik dengan kertas berwarna kertas putih gading dan sedikit tambahan plastik membungkus setengah buket. Tak lupa satu kartu ucapan yg ditulis dengan pena tinta khusus.

"Untuk yg tersayang. Aku mencintaimu setiap hari."

Selesai sudah buketnya. Senyumku mengembang. Lalu terkekeh sendiri membayangkan bagaimana wajah manis kekasih sehidup sematiku terpekik senang melihat buket kesukaannya datang. Kemudian aku akan mendengarkan cerita-ceritanya sambil menggenggam tangannya dan mengecup sayang.

Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk. Badanku terputar setengah ke arah pintu dan mendapati Jungkook sudah berada di ambang pintu.

"Hai, tampan," sapaku sambil tersenyum.

Jungkook membalas senyumanku. "Sudah siap, hyung? Rumah sakit menelponku tadi. Katanya kau harus segera datang."

Aku terdiam sebentar. Tidak biasanya rumah sakit mendesakku begini. Aku berusaha untuk terus berpositif. Bisa saja dia terlalu merindukanku sampai membuat para suster kewalahan meladeninya.

Lalu kulihat wajah Jungkook yg sedikit sendu dibalik senyumnya yg merekah. Pun aku mengangguk dan berjalan mendekatinya.

"Sebentar. Aku ambil mantel dulu. Tolong panggil Jimin. Suruh dia datang ke rumah sakit segera."

Aku berusaha untuk terus berpikir positif sembari memikirkan cerita apa saja yg harus kukatakan pada Seokjin. Pasangan sehidup sematiku. Manusia yg sudah dengan sabar menemaniku selama empat puluh tahun.

Kami cukup ringkih untuk saling berjalan bersama. Tapi tidak pernah ada kata bosan yg terlontar. Tidak ada kata lelah untuk saling menggenggam tangan. Pun masih suka menggoda satu sama lain dengan gombalan omong kosong yg berakhir saling mencium, menyalurkan kasih sayang yg teramat dalam tanpa ada habisnya.

Bahkan sampai Seokjin tidak dapat berjalan lagi, aku masih tetap setia datang mengunjunginya ke rumah sakit dan menemaninya sampai jam besuk selesai. Aku juga tidak pernah mengatakan aku bosan mendengarkannya meski cerita yg dia sampaikan selalu hal yg sama. Aku hanya perlu melihatnya tersenyum dan tertawa. Karena dengan itulah aku tahu dia baik-baik saja.

Aku tidak bisa menyalahkan Tuhan ketika Dia memberikan penyakit kepada Seokjin. Aku tidak bisa memaki Tuhan ketika Dia memisahkan kami di tempat yg berbeda. Pun, aku tidak bisa terus-terusan meminta kepada Tuhan agar penyakit Seokjin dilimpahkan saja kepadaku.

Tuhan tahu Seokjin membutuhkanku agar terus ada bersamanya. Meski kaki selalu sakit setiap mengambil bunga, meski tangan sudah keriput, dan pandangan mulai mengabur, Tuhan seolah mengatakan kepadaku agar terus bersyukur karena nikmat sehat yg diberikan untukku agar aku bisa menjaga Seokjin sembari memberinya kekuatan.

Pun, Tuhan tahu kalau Seokjin sudah sangat sering meminta dicabutkan saja nyawanya ketika merintih minta diampuni saat dia kambuh. Tuhan terkadang kejam membuat Seokjin kesakitan. Tapi aku berusaha positif kalau itu adalah caraNya untuk membuat Seokjin tegar dan mulai mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Aku tidak bisa menyalahkan Tuhan ketika Dia memerintahkan salah satu malaikatnya untuk menjemput Seokjin. Karena di saat terakhirnya, aku masih bisa melihatnya tersenyum dan mengecup bibir itu untuk terakhir kalinya. Tangannya yg hangat mulai mendingin di genggamanku, di saat itulah aku tahu Seokjin mulai merapalkan doa minta diringankan jalan menuju akhirat.

Tangis Jimin dan Jungkook pecah seketika. Kamar yg awalnya tegang dan mencekam penuh kewaspadaan, langsung berubah riuh dengan suara mereka. Untung ada Hoseok dan Yoongi yg langsung memeluk mereka sekaligus memberikan pundak untuk dibanjiri. Taehyung mengusap pundakku yg lemah dan menepuknya.

"Menangis lah, hyung. Aku tahu kau sedang menahannya sekarang."

"Tidak, Tae," balasku cepat. "Kalau aku menangis, Seokjin tidak akan bisa pergi sendiri menuju tempat Tuhan. Dia akan mulai memaki Tuhan dan menyalahkanNya. Aku sudah bisa mendengar omelannya sekarang." Satu tawa rendahku keluar dan mataku menatap tangan kami yg masih bersatu.

Kueratkan genggamanku padanya, lalu kuangkat untuk kucium. Lama sekali kecupannya. Tanpa sadar setitik air mata mengalir turun melewati pipiku. Aku langsung ingat kata-kata Seokjin yg terpaksa harus kuturuti.

"Nanti kalau aku pergi meninggalkanmu lebih dulu, tolong jangan terisak. Aku tidak mau memaki Tuhan ketika aku bertemu denganNya di akhirat nanti."

Tapi sepertinya aku mengingkari itu hari ini.

Maafkan aku, Sayang.

"Aku mencintaimu. Selalu."
            
               
          
              
             
           
alpakakoala, 2019

Untitled | NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang