Tak ada yang kubenci di rumah keluarga Rey selain bunyi jam antik mereka ketika tengah malam.
Suara dentangnya yang menggema seakan memberi kesan rumah ini tak bernyawa. Tak berpenghuni. Aku masih belum terbiasa dan selalu saja terlonjak sendiri kala kedua jarum jam menunjuk angka dua belas.
Tante Lili baru saja memberi kabar jika ia dan suaminya pulang agak telat. Ini berarti ekstra kafein. Kemarin aku tidak cukup tidur. Rasa kantuk mulai memberati kelopak mataku dan itu sangat tidak bagus. Aku berjingkat keluar dari kamar Rey, yang sepertinya sudah berkelana jauh di alam mimpi. Inilah kesempatanku kabur ke dapur untuk membuat segelas kopi. Atau barangkali teh. Kudengar kandungan kafein di dalam teh jauh lebih rendah dibanding kopi. Semoga saja malam ini aku tidak kesulitan tidur. Lagi.
Aku meraba-raba dinding dapur yang gelap, mencari sakelar. Permukaannya halus dan dingin di bawah telapak tanganku. Sedingin jiwa yang hilang. Saat cahaya akhirnya menyirami seisi ruangan, aku mendesah lega. Merasa sedikit konyol karena apa yang harus kutakuti di sini? Pak Wayan sedang berjaga di luar. Hanya ada aku dan Rey di dalam rumah yang besar, lengang, sunyi, dan sesepi kuburan ini.
Buru-buru kuraih cangkir dari dalam lemari dan membuat teh secepat yang kubisa.
Kepulan asap tipis melayang-layang dari permukaan cangkir saat aku berjalan kembali ke kamar Rey. Jangan lihat ke belakang, aku terus mewanti-wanti diri. Tidak ada apapun di dalam sini. Tidak ada siapapun. Tidak ada yang mengawasimu. Suara jarum detik yang berputar berlomba dengan detak jantungku.
Tirai pada jendela di samping tangga berayun pelan. Entah karena hembusan angin atau seseorang baru saja lewat di dekat sana.
Aku meraih kenop pintu kamar Rey, bergegas memutarnya, lalu melesat ke dalam tanpa menumpahkan setetes pun teh di dalam cangkir. Ini benar-benar konyol! Aku baru saja menakuti diri sendiri dengan pemikiran yang aneh-aneh. Menghela napas, kusandarkan punggung pada daun pintu. Mencoba menenangkan pikiran dan juga degup jantung yang rasanya meningkat dua kali lebih cepat.
Lalu kudengar suara petikan gitar.
Mula-mula kupikir itu Andra, yang sedang iseng main gitar tengah malam begini. Tapi saat aku mengintip dari celah tirai, rumahnya tampak segelap langit malam. Dan suara itu seperti berasal dari dalam rumah ini.
Aku meneguk ludah. Sensasi melilit pada dada membuat napasku sedikit sesak. Suara itu masih mengalun. Sayup-sayup. Seakan mengundang siapa saja pendengarnya untuk mendekat. Seperti ekor ular derik yang menarik perhatian mangsanya. Aku memutar tubuh dan membuka pintu. Benar-benar pelan dan hanya selebar lima sentimeter.
Suara petikan gitar itu terdengar dari lantai atas.
Aku masih terpaku di tempatku berdiri dengan bulu tengkuk yang meremang. Menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku naik ke atas sana dan mengecek, atau tetap berada di dalam kamar ini dan mati penasaran. Kulirik Rey yang sedang berbaring memunggungiku di atas ranjangnya. Tante Lili berpesan padaku jangan pernah meninggalkan anaknya sendirian. Tapi sekarang Rey sudah terlelap. Mungkin tidak apa-apa jika aku naik ke lantai atas sebentar.
Aku tahu ini salah. Mungkin juga aku akan menyesalinya. Tapi hasrat yang berkembang jauh di balik akal sehatku mengajak ke sana. Ia memaksaku untuk mencari tahu jika pikiranku masih waras.
Setelah membiarkan pintu kamar Rey setengah terbuka, aku pun memberanikan diri melangkah menuju tangga ke lantai atas. Suasana sepi dengan penerangan temaram, ditambah suara petikan gitar yang sayup terdengar, membuat atmosfer rumah ini jadi lebih mencekam. Debaran jantungku meningkat setiap kali kakiku menginjak satu persatu anak tangga. Menjauhi lantai dasar dan mendekati entah apa.
Kegelapan menyambut kedatanganku.
Aku berhenti pada dua anak tangga terakhir. Tiba-tiba saja merasa ragu. Atau lebih tepatnya takut. Siapa atau apa kiranya yang menciptakan nada semengerikan itu? Dinginnya pegangan tangga seakan menular ke telapak tanganku. Terus merambat ke dalam tulang hingga rasanya menusuk-nusuk gendang telinga. Suara petikan gitar itu kini terdengar lebih jelas. Seperti berasal dari balik dinding di depan sana.
Senandung malam yang suram.
Kunyalakan lampu flash ponsel sebagai penerang jalan. Dan jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik. Cahaya putih benderang itu langsung menyoroti sebuah benda pajangan yang tidak sedap dipandang: kepala kambing dengan mata membeliak. Aku menggigit bibir bawah untuk menahan umpatan yang hampir keluar.
Petikan senar gitar itu masih mengalun. Seraya mengatur napas, kulanjutkan langkah kaki yang tersendat-sendat menuju sebuah pintu yang kuduga dari sanalah suara itu berasal. Pintu kayu yang berpelitur itu tampak gelap dan megah. Permukaannya berpendar ditimpa cahaya lampu flash ponselku. Suara petikan gitar itu berhenti.
Apapun yang ada di dalam sana tentu sudah menyadari kedatanganku.
Sebelum aku sempat menjauhkan cahaya ponsel, knop pada pintu itu berputar, sangat lambat hingga aku menahan napas. Kesunyian mengapitku dari segala arah. Lalu terdengar suara pintu yang terbuka.
Bukan. Bukan pintu di hadapanku yang terbuka, tapi pintu di bawah sana. Seseorang telah masuk ke dalam rumah. Namun aku kehilangan kemampuan untuk berteriak. Ada bunyi klik pelan yang menggema ke dalam kepalaku. Dan pintu megah itu terayun ke belakang. Awalnya terbuka dengan sangat-sangat perlahan, lalu sebuah tangan menariknya kasar dan menampakkan sesosok wajah pucat dalam naungan jaket bertudung.
Tubuhku terasa ditarik ke suatu tempat yang jauh. Seperti sedang terjatuh. Tapi aku masih berdiri tegap, memandangi sosok pucat yang juga balas menatapku.
"Stela?"
Aku memaksakan diri untuk menoleh ke arah tangga, dimana bayang-bayang Hugo muncul dan mendekat.
"Kamu ngapain di atas sini?"
Saat aku berpaling pada sosok di depanku, pintu kayu itu telah kembali tertutup rapat.
"Tadi ... ada orang," suaraku terdengar serak dan bergetar, "di sana."
Hugo mengikuti arah pandangku, hanya sekilas.
"Cuma perasaan kamu aja kali, turun yuk?" ia menarik lenganku namun kedua kakiku masih terpaku di tempat.
"Tapi gue dengar suara gitar."
Hugo menghela napas pendek. "Mungkin itu efek kamu kecapekan, lagipula sekarang udah larut banget, bisa aja itu cuma halusinasi kamu."
Tapi sosok berwajah pucat tadi menatapku. Aku sangat yakin dengan apa yang kulihat.
"Mbak Lili bentar lagi pulang, kita tunggu di bawah aja, yuk?" ajaknya sekali lagi. Kali ini aku langsung menurut.
Langkah kaki kami menggema di bawah langit-langit yang tinggi. Aku menoleh ke belakang, memastikan pintu itu memang tertutup rapat.
Samar-samar terdengar bunyi kunci yang diputar.
***
Part yang ini agak pendek huhu.
Akhir-akhir ini sering hujan, mata dibuat ngantuk, lalu si Lori lebih sering cuci mata daripada ngetik.
Jari ini lagi khilaf :')
P.S: see ya di bab berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOSEN (TAMAT)
Horror(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya demi menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Safir, sebuah kelompok persaudaraan kuno yang tampa...