BUNTU

1.7K 274 12
                                    

"Mobil?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mobil?"

"Udah."

"Robot?"

"Udah."

"Susu?"

Rey menilik kembali isi ranselnya. "Gak ada?" ia mendongak dengan mata membulat.

Raut wajahnya yang begitu polos membuatku tak mampu menahan tawa. "Kak Ela becanda, kok." Kemudian kucubit pipinya yang menggembung.

"Kita mau jalan-jalan ke mana, kak?"

Aku menatap manik mata itu dengan perasaan bersalah. Tak sepantasnya aku melibatkan bocah lima tahun itu dalam pencarian ini. Seumpama mereka turut melukai Rey, aku benar-benar tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa menemui bu Rumini secepatnya.

"Rahasia," jawabku lirih.

Hugo sudah berbicara dengan om Ian via telepon–sekarang cowok itu sedang menunggu kami di depan bersama om Ian. Melalui pesan singkat yang baru kubaca pagi tadi, Hugo mengaku dirinya beralasan ingin membawa Rey jalan-jalan dengan mengunjungi sejumlah tempat pada lelaki itu. Permohonan pun diterima.

Ketukan di pintu menggema, aku dan Rey menoleh secara bersamaan.

"Semuanya sudah beres?

Aku memaksakan sebuah anggukan. "Udah, om, ini kita mau keluar." Bergegas kusampirkan tali ransel Rey pada bahu bocah itu. Aku tidak sedang dalam mood berbicara dengan ayahnya. Hanya dengan melihat sosoknya saja emosiku sudah bergelegak minta diluapkan.

Pria itu mendekati kami. Aku benar-benar membenci senyumnya yang tak kunjung pudar.

"Kalau kalian sudah sampai di tempat tujuan, tolong kabari saya," ucapnya lemah lembut padaku. "Dan Rey, kamu jangan nakal, ya? Kasihan kalau kak Ela-mu capek, nanti mainnya jadi gak seru lagi." Kemudian om Ian mengedipkan sebelah mata, Rey menutup mulutnya, terkikik pelan, seakan ia menemukan sesuatu yang lucu di balik ucapan sang ayah.

"Kita pamit, om." Kulangkahkan kaki tanpa perlu menunggu balasan 'hati-hati' darinya.

***

Aku merasakan serangan de javu saat memangku Rey di kursi depan. Hanya saja kali ini pengemudinya jauh lebih ramah. Hugo tersenyum padaku seperti biasanya. Mungkin ia telah pulih dari ucapanku yang cukup membuatnya syok.

"Kita ke rumah teman kak Stela dulu, ya?" Hugo berbisik pada Rey, "abis itu baru kita main sepuasnya, gimana?"

"Oke." Rey mengacungkan jempol mungilnya dengan semangat.

"Mana alamatnya?" Hugo menadahkan telapak tangan. Kuraih kertas tipis itu dari saku jaket denim yang kukenakan, lalu menyerahkannya pada cowok itu. Hugo memiringkan kepalanya saat ia membaca alamat yang tertera. Kedua alisnya bertaut. Firasatku mulai tak enak.

THE CHOSEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang